Judul : Catatan Perang Korea
Penulis : Mochtar Lubis
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun : I, Desember, 2010
Halaman : xxvii + 154 halaman
Harga : Rp. 40.000
Penulis : Mochtar Lubis
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun : I, Desember, 2010
Halaman : xxvii + 154 halaman
Harga : Rp. 40.000
Mochtar Lubis terkenal sebagai wartawan yang setia kepada profesionalitas dan idealisme. Ini yang membuatnya dijuluki muckraker journalist alias wartawan yang berani membongkar skandal, penyimpangan, dan ketidakadilan, tanpa bergeser dari kaidah-kaidah jurnalistik yang benar.
Itu juga yang tercermin dalam buku Catatan Perang Korea. Buku ini disusunnya setelah ia mengunjungi Korea pada tahun 1950 untuk meliput perang yang terjadi di negeri ginseng itu.
Dalam buku ini tampak jelas bagaimana Mochtar Lubis yang meninggal pada 2 Juli 2004 lalu itu, tidak sekadar meliput peristiwa yang memakan korban jiwa, namun juga memperlihatkan dimensi lain dari perang.
Lewat tulisan-tulisannya, Mochtar Lubis memperlihatkan bahwa perang selalu menyisakan kepiluan dan kehancuran. Di sini ada semacam ironi, manusia yang selalu mengganggap diri sebagai pembentuk peradaban, justru menghancurkan dan memusnahkannya.
Dalam laporannya Mochtar menjadi saksi mata bagaimana ledakan bom, muntahan peluru, dan pecahan mortir, menghancurkan kehidupan manusia. Kenyataan yang tersisa hanyalah penderitaan.
Di sini Mochtar merenung, apakah semua itu ada gunanya? Apakah semua itu ada manfaatnya? Baginya, pemandangan manusia sekarat, bau amis darah, dan aroma busuk nanah bermakna kehancuran kemanusiaan.
Pada buku yang sama, mantan pemimpin Indonesia Raya tersebut menuliskan bahwa Perang Korea bukanlah semata-mata konflik antara Korea Utara maupun Korea Selatan. Sebaliknya, ada kekuatan eksternal yang memungkinkan kedua negara itu berada dalam konflik panjang.
Menurut Mochtar, pada dasarnya Korea Utara maupun Korea Selatan tidak memiliki sejarah konflik. Pertentangan terjadi karena ada perebutan kepentingan dari luar. Apalagi Korea adalah negeri yang kaya dengan sumber alam.
Lalu, siapa pihak yang paling bertanggung jawab atas peperangan yang terjadi? Mochtar menyimpulkan, Perang Korea tidak mungkin dipisahkan dari peran Amerika Serikat yang mencoba untuk menekan kekuatan komunisme dari Korea Utara memasuki Korea Selatan.
Untuk kepentingan tersebut Amerika Serikat bersama Perserikatan Bangsa-bangsa menurunkan pasukan di negeri itu. Ini yang menjadikan Amerika Serikat kemudian memiliki mesin perang yang besar, kuat dan efisien di Korea.
Menurut Mochtar, jika saja kedua negeri itu segera menyadari adanya campur tangan pihak asing daalam perang yang mereka lakoni, niscaya kerugian tidak bakal sehebat seperti yang dialami.
Meskipun perang antara Korea Utara dan Korea Selatan seperti yang dikisahkan dalam buku ini ditulis lebih dari setengah abad yang lalu, namun isi buku ini tetap relevan. Buku ini tidak hanya mengajarkan bagaimana seorang wartawan seharusnya bersikap, tetapi juga sebuah renungan mengenai dehumanisasi perang.
Hal yang lebih penting lagi, buku ini mengingatkan kepada pembaca bahwa sebuah pergolakan sosial, konflik politik, pertikaian antar golongan, gelombang aksi yang meluas, hingga kejatuhan sebuah rezim, mungkin bukanlah sebuah peristiwa tunggal, melainkan karena adanya kuasa ataupun kekuatan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan.
Itu juga yang tercermin dalam buku Catatan Perang Korea. Buku ini disusunnya setelah ia mengunjungi Korea pada tahun 1950 untuk meliput perang yang terjadi di negeri ginseng itu.
Dalam buku ini tampak jelas bagaimana Mochtar Lubis yang meninggal pada 2 Juli 2004 lalu itu, tidak sekadar meliput peristiwa yang memakan korban jiwa, namun juga memperlihatkan dimensi lain dari perang.
Lewat tulisan-tulisannya, Mochtar Lubis memperlihatkan bahwa perang selalu menyisakan kepiluan dan kehancuran. Di sini ada semacam ironi, manusia yang selalu mengganggap diri sebagai pembentuk peradaban, justru menghancurkan dan memusnahkannya.
Dalam laporannya Mochtar menjadi saksi mata bagaimana ledakan bom, muntahan peluru, dan pecahan mortir, menghancurkan kehidupan manusia. Kenyataan yang tersisa hanyalah penderitaan.
Di sini Mochtar merenung, apakah semua itu ada gunanya? Apakah semua itu ada manfaatnya? Baginya, pemandangan manusia sekarat, bau amis darah, dan aroma busuk nanah bermakna kehancuran kemanusiaan.
Pada buku yang sama, mantan pemimpin Indonesia Raya tersebut menuliskan bahwa Perang Korea bukanlah semata-mata konflik antara Korea Utara maupun Korea Selatan. Sebaliknya, ada kekuatan eksternal yang memungkinkan kedua negara itu berada dalam konflik panjang.
Menurut Mochtar, pada dasarnya Korea Utara maupun Korea Selatan tidak memiliki sejarah konflik. Pertentangan terjadi karena ada perebutan kepentingan dari luar. Apalagi Korea adalah negeri yang kaya dengan sumber alam.
Lalu, siapa pihak yang paling bertanggung jawab atas peperangan yang terjadi? Mochtar menyimpulkan, Perang Korea tidak mungkin dipisahkan dari peran Amerika Serikat yang mencoba untuk menekan kekuatan komunisme dari Korea Utara memasuki Korea Selatan.
Untuk kepentingan tersebut Amerika Serikat bersama Perserikatan Bangsa-bangsa menurunkan pasukan di negeri itu. Ini yang menjadikan Amerika Serikat kemudian memiliki mesin perang yang besar, kuat dan efisien di Korea.
Menurut Mochtar, jika saja kedua negeri itu segera menyadari adanya campur tangan pihak asing daalam perang yang mereka lakoni, niscaya kerugian tidak bakal sehebat seperti yang dialami.
Meskipun perang antara Korea Utara dan Korea Selatan seperti yang dikisahkan dalam buku ini ditulis lebih dari setengah abad yang lalu, namun isi buku ini tetap relevan. Buku ini tidak hanya mengajarkan bagaimana seorang wartawan seharusnya bersikap, tetapi juga sebuah renungan mengenai dehumanisasi perang.
Hal yang lebih penting lagi, buku ini mengingatkan kepada pembaca bahwa sebuah pergolakan sosial, konflik politik, pertikaian antar golongan, gelombang aksi yang meluas, hingga kejatuhan sebuah rezim, mungkin bukanlah sebuah peristiwa tunggal, melainkan karena adanya kuasa ataupun kekuatan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar