Kamis, 15 Maret 2012

Buku Pintar Pegiat Literasi



Judul : Gempa Literasi, Dari Kampung untuk Nusantara

Penulis : Gol A Gong dan Agus M Irkham

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia

Tebal : xvi + 519 halaman

Terbit : I, Februari 2012


Persoalan literasi atau keberaksaraan bukanlah minimnya jumlah warga negara yang melek huruf. Namun bagaimana mereka sapat melibatkan “aksara” secara aktif, untuk memperkaya wawasan, menambah pengetahuan, hingga membuat kualitas hidupnya lebih baik.

Sayangnya, dari berbagai temuan, tingkat literasi masyarakat memang masih rendah. Apalagi jika hal tersebut dikaitkan ataupun disandingkan dengan tingkat kemiskinan. Artinya, tingkat melek huruf yang terus meningkat di Indonesia, tidak membawa perubahan pada angka kemiskinan.

Inilah salah satu kondisi yang mendorong berdirinya berbagai gerakan literasi di masyarakat. Gerakan yang muncul tidak hanya merangsang masyarakat untuk mendapatkan kesempatan mengakses bacaan yang bermanfaat serta kaya, melainkan juga dapat memanfaatkan bacaan tersebut untuk mengembangkan dirinya. Namun niat ini tidak selalu berhasil.

Buku ini mencoba memberikan gambaran sejumlah situasi yang membuat gerakan literasi terhambat. Salah satunya ialah kesadaran para birokrat, misalnya saja pemerintah kota, terhadap arti penting perpustakaan. Ketidakpahaman pemerintah kota terhadap manfaat jangka panjang sebuah perpustkaan, membuat mereka lebih senang memberikan ijin pembukaan mal, ketimbang menambah koleksi judul buku di perpustakaan. Bandingkan saja, berapa jauh perbedaan tingkat pertumbuhan mal ataupun pusat belanja di Jakarta, dengan pendirian perpustakaan daerah.

Di sini, perpustakaan dearah yang memang tidak memberikan dampak langsung terhadap pendapatan derah, dianggap tidak penting. Mereka menganggap perpustakaan hanya akan menambah pengeluaran, tanpa menghasilkan pendapatan. Akhirnya, sebuah kota hanya menjadi pusat belanja ketimbang pusat edukasi.

Apalagi sebuah perpustakaan yang ideal tidak hanya harus menambah koleksi buku setiap saat, namun juga harus memiliki dana untuk menambah fasilitas yang memudahkan masyarat memperoleh informasi. Tidak mengherankan apabila kondisi perpustaakan daerah acap kali memprihatinkan, sehingga fungsi idealnya tidak menemui kenyataan.

Kondisi lainnya adalah, orang-orang yang bekerja di perpustakaan tidak memiliki pemahaman yang baik mengenai perpustakaan. Ironisnya, ada pegawai perpustakaan yang tidak gemar membaca dan tidak menyukai buku.

Akibatnya, pengelolaan perpustakan tidak maksimal. Jangankan mencari cara agar perpustkaan dapat diakses atau didatangi oleh lebih banyak orang, untuk membenahi katalogisasi saja masih amburadul.

Namun, di tengah situasi literasi yang serba memprihatinkan tersebut, masih ada komunitas yang peduli melakukan usaha untuk membenahinya. Dengan caranya sendiri mereka berusaha meluaskan gerakan literasi di daerah, salah satunya dengan mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM).

Mereka juga melakukan sejumlah kegiatan literasi. Di Banten misalnya digagas gerakan Banten Membaca. Kemudian di Cipanas, Lebak, diusung gerakan Cipanas Iqra. Di Yogyakarta misalnya diciptakan gerakan Yogya Membaca, dan di Surabaya, Jawa Timur, dibuat gerakan Surabaya Membaca.

Gerakan-gerakan semacam inilah yang seharusnya mendapat dukungan dari siapa saja yang mengaku peduli dengan dunia literasi. Sebab rasanya sudah sulit mengharapkan dukungan dari otoritas terkait.

Masih berkait dengan literasi, buku ini juga membahas sejumlah hal yang berkaitan dengan bisnis buku di tanah air. Masalah pengelolaan toko buku, penerbitan, hingga hal-hal yang berkaitan dengan usaha pemasaran buku, adalah topik-topik yang dibahas di dalamnya.

Masalah literasi, dari usaha menyebarkan gairah membaca di masyarakat, hingga upaya menanamkan budaya menulis, dibahas dari berbagai sisi dalam buku ini. Oleh karena itu, tidak berlebihan rasanya jika buku ini diklaim sebagai usaha untuk membongkar karut marut dunia literasi.***


dimuat di HU KORAN JAKARTA, 26 Maret 2012

Minggu, 04 Maret 2012

Catatan dari Himalaya



Judul: Nyanyian Angin di Celah Gemunung Himalaya
Penulis: Sieling Go
Penerbit: Grasindo, 2010
Tebal: 404 Halaman

Perjalanan menjangkau tempat-tempat terpencil dan nyaris tidak dapat ditinggali manusia, selalu menyisakan pengalaman tidak terlupakan. Bukan hanya karena menyaksikan pemandangan alam yang menakjubkan, melainkan juga karena pengalaman kemanusiaan dan spiritual.

Itu juga yang dialami oleh Sieling Go, 51 tahun yang melakukan perjalanan seorang diri menuju Himalaya, Nepal, pada tahun 2007. Dia adalah orang Indonesia. Kemauannya yang keras membawanya berada selama lebih dari dua puluh hari melalui daerah bersuhu ekstrim untuk mencapai puncak gunung itu.

Selama melakukan perjalanan menuju puncak Himalaya, Seiling membuat sejumlah catatan. Hal ini lazim dilakukan oleh para pendaki untuk merekam apa saja yang mereka temui selama perjalanan. Catatan itulah yang kemudian disusun menjadi buku Nyanyian Angin di Himalaya ini.

Dari catatan yang dibuat tersebut, pembaca dapat ikut merasakan perjuangan Sieling dalam menaklukan alam. Suhu yang ekstrem, perubahan cuaca yang mendadak, serta medan yang berat, merupakan pengalaman sehari-hari yang ditemui untuk mencapai puncak Himalaya.

Namun hal itu tidak membuat niat ibu dari dua orang anak itu surut. Sebaliknya, ia menghadapi semua tantangan itu dengan penuh keberanian. Kadang-kadang, karena terlalu bersemangat, ia tidak menghiraukan peringatan para pemandunya. Tak pelak, kecelakaan kecil terjadi padanya yang mengakibatkan cedera ringan.

Perjalan yang penuh bahaya ini nyaris menyeret Sieling ke lubang kematian (hal. 247). Ia sempat terperosok ke dalam jurang. Hal ini terjadi ketika ia kembali Cchukhung dari Imja Base Camp.

Pendamping yang berjalan jauh di depannya tidak melihat hal ini. Usahanya untuk membawa tubuhnya ke tempat yang lebih tinggi gagal. Sebaliknya ia terperosok lebih dalam sebelum kemudian pasrah untuk menunggu pertotolongan.

Untung saja tim yang mendampinginya segera menyadari kejadian ini. Mereka pun kembali untuk menyelematkan Sieling. Mereka berhasil menyelamatkan Sieling kendati tubuhnya dipenuhi luka.

Dari sini Sieling belajar bahwa rasa kebersamaan dalam tim sangat diperlukan. Keahlian dan pengetahuan dari sebauh anggota tim memang penting. Namun semuanya tidak banyak berguna jika kerja sama yang baik dalam tim tidak ada.

Dalam catatan yang ditulisnya, terlihat Sieling mencoba untuk merekam apa yang ditemuinya. Hal ini terutama sangat berguna bagi mereka yang gemar mendaki gunung, terutama mereka yang berencana untuk mengikuti jejak Sieling hingga ke Himalaya.

Namun sayangnya, buku ini tidak dilengkapi dengank isah lain mengenai kehidupan masyarakat di wilayah yang ia lewati. Padahal sedikit kedalaman mengenai hal itu akan membuat buku ini lebih kaya sebagai sebuah catatan perjalanan. Cerita mengenai adat, kebiasaan, mitos, serta pengaruh kehidupan politik misalnya, akan membuat perjalanan Sieling semakin menarik dan bernas.

Catatan lain mengenai buku ini ialah, gaya penulisan Sieling yang lebih mirip dengan catatan harian. Jika saja Sieling mengemasnya dengan gaya penulisan feature ataupun jurnalistik gaya baru (the new journalism), maka tulisannya akan lebih enak untuk dibaca.***