Rabu, 28 November 2012

--

Judul: Sarongge
Penulis: Tosca Santoso
Penerbit: Dian Rakyat, 2012
Tebal: 370 Halaman
Harga: 95.000

Selasa, 23 Oktober 2012

Kisah Jurnalis di Balik Berita


Judul: Jurnalis Berkisah
Penulis: Yus Aryanto
Penerbit: Metagraf
Tahun: 2012
Tebal:  227 halaman
Harga: Rp. 47.000


Wartawan adalah profesi yang memiliki risiko tinggi. Intimidasi serta ancaman kekerasan adalah hal yang mengintipnya setiap saat. Hanya idealisme dan keterpanggilan yang membuat seorang juru berita bertahan dengan profesi itu.
Menjabarkan semua itu dalam sebuah manuskrip yang teoritis hanya akan menghasilkan sebuah pemahaman yang kering. Berbeda jika hal itu dideskripsikan ataupun dituturkan si juru berita.
Itulah yang membuat buku ini menarik disimak sebagai sebuah teks yang menggambarkan mozaik kecil jagat jurnalistik, khususnya di Indonesia. Dari sini pembaca tidak hanya mencerap ikhwal kerja jurnalistik, melainkan juga berbagai dinamika yang terjadi di dalamnya.
Buku yang menceritakan kembali pengalaman para wartawan memang bukan barang baru. Seperti dikutip dalam pengantar buku ini, pernah terbit buku Jagat Wartawan Indonesia yang ditulis oleh Soebagijo IN di tahun 1980-an. Pernah juga terbit Pistol dan Pembalut Wanita yang merupakan antologi pengalaman wartawan media cetak yang bertugas di Bandung di tahun 2007.
Namun yang membedakan Jurnalis Berkisah dengan buku-buku tersebut ialah disertakannya satu ataupun dua "kasus", berkenaan dengan profesi yang mereka jalani. Inilah yang membuat cerita mengenai para wartawan ini semakin bernas.
Misalnya saja Mauluddin Anwar yang terbang ke Lebanon untuk meliput perang yang terjadi di Beirut. Petikan kisah mereka saat berada di medan pertempuran akan menjadi hal menarik tersendiri bagi pembaca.   
Memakai sudut pandang para wartawan dari berbagai jenis media, buku ini bagaikan sebuah representasi dunia media. Lihat saja, di dalamnya ada penuturan Najwa Shihab yang mewakili televisi berita, Telni Rusmitantri yang bergelut di tabloid hiburan, Tosca Santoso yang malang melintang di jurnalisme radio, Erwin Arnada yang pernah memimpin Palyaboy Indonesia, ataupun Linda Christanty yang membangun sindikasi Aceh News Service.
Satu hal yang mengikat kesepuluh jurnalis dalam buku ini, yakni kesetiaan pada profesi dan kebenaran. Memang ada petikan kisah-kisah heroik dari para wartawan tersebut. Namun itu bukan titik sentral, namun sebagai pintu masuk pada persoalan yang lebih besar.
Memang, juru berita adalah manusia biasa. Mereka memiliki ketakutan, mereka sempat gentar, pernah terpojokkan. Sebut saja kutipan kisah Linda Christanty yang sempat merasa ragu ketika mendapat tawaran untuk untuk tinggal di Aceh. Memang, Aceh sebagai medan konflik bukanlah tempat yang dimimpikan banyak orang. Tapi toh semua itu ditepisnya. Kepedulianlah yang membawanya terbang ke Aceh.
Benar saja, ketika tiba di Serambi Mekkah, banyak hal yang dapat dilakukan oleh Linda. Memberikan penyadaran melalui berbagai medium adalah hal yang diupayakannnya. Termasuk memberdayakan banyak orang muda untuk berbuat lebih banyak bagi Aceh lewat dunia jurnalistik.
Lewat buku ini pembaca tidak hanya akan menjumpai romantisme dunia jurnalistik, melainkan kompleksnya dunia jurnalistik terutama ketika ia berbenturan dengan berbagai kepentingan. Di sini neralitas dan keberpihakan harus mencari bentuknya kembali.***

Senin, 24 September 2012

Mengamati Poster Propaganda Revolusi Kebudayaan Mao Tse Tung

Dari: Taschen.Com

 Judul:  Chinese Propaganda Posters
Essay: Anchee Min, Duo Duo, dan Stefan R Landsberger
Penerbit: Taschen, Jerman,  2011
Halaman: 320 halaman
Harga; HK $ 128

Buku ini  memang lebih memiliki banyak gambar ketimbang teks. Namun gambar yang termuat di dalam bukanlah gambar biasa. Gambar tersebut tak lain poster-poster propaganda Mao Tse Tung ketika ia memgang kekuasaan di Cina.

Seperti halnya banyak pemegang kekuasaan, Mao pun ingin mempertahankan statusnya sebagai pemimpin partai. Apalagi ia mencetuskan Revolusi Kebudayaan di negeri itu hingga tahun 1970-an. Ia menyebutanya Great Leap.

Dari poster propaganda tersebut, Mao tidak hanya mempopulerkan Revolusi Kebudayaan, melainkan juga berusaha untuk mengultuskan dirinya. Usahanya boleh dibilang berhasil. Buktinya hingga kini masih banyak orang yang percaya dengan kebenaran ajaran Mao.

Dalam poster-poster yang termuat dalam buku ini, Mao menggambarkan dirinya sebagai sosok yang dicintai oleh rakyatnya, dan  dapat membawa Cina ke arah yang kebih baik, Cina yang lebih makmur di bawah pemerintahan partai komunis.

Bahkan beberapa poster memperlihatkan pentingnya “melupakan” kepentingan diri sendiri, bahkan nyawa, untuk kepentingan partai.

Tapi toh dari beberapa catatan litartur yang ada, usaha Mao ternyata hanya isapan jempol. Usaha untuk memakmurkan Cina justru membawa penderitaan bagi rakyat. Bagaimana tidak, ketika Mao berkuasa kemiskinan semakin menjadi-jadi, kebebasan menjadi barang langka, dan tekanan terjadi kepada mereka yang dianggap memiiki orientasi ke Barat.

Poster-poster yang ada dalam buku ini paling tiak menjadi sebuah “monumen” yang mengingatkan kembali kepada siapa saja bahwa kekuasaan cenderung melanggengkan diri, dengan menghalalkan segala cara.

Kekurangan buku ini, menurut hemat saya, tidak adanya sebuah analisa yang memadai atas poster-poster tersebut. Poster-poster tersebut hanya memiliki data seputar pembuatnya, judul, dan latar belakang dibuatnya poster tersebut. Jika saja poster tersebut dilengkapi dengan kajian yang mendalam dengan melibatkan metodologi tertentu, semisal semiotik, maka buku ini akan menjadi lebih bernas.***

Salah satu contoh poster dalam buku, dari www.taschen.com
Contoh poster lain dalam buku: www.taschen.com

*) Catatan: buku ini diperoleh penulis dalam perjalanan menuju Hong Kong pada bulan September 2012. Tidak ada catatan apakah buku dijual di Indonesia atau tidak. info: www.taschen.com 

Selasa, 18 September 2012

Mendengarkan Konsumen di Media Sosial


Judul: Likeable Social Media
Penulis: Dave Kerpen
Penerbit: Mc Graw Hill
Halaman: 260 halaman
Harga: US $ 20

Media sosial itu seksi! Demikian sering disebut oleh para marketer. Bagaimana tidak, dengan media sosial, para marketer dapat menjangkau target yang sangat spesifik dengan biaya yang relatif lebih murah ketimbang media tradisional seperti televisi.
Persoalannya, bagaimana seorang marketer harus menyusun strategi agar kampanye yang dilakukan lewat media sosial dapat memberikan efek yang positif.
Buku Likeable Social Media ini memberikan semacam pedoman bagai mereka yang ingin menggunakan media sosial seperti Facebook ataupun Twitter. Penulis buku ini, Dave Kerpen, memberikan segudang tips agar sebuah produk mendapat respon yang baik sehingga dapat memberikan efek viral yang sempurna.
Beberapa tips yang disampaikan dalam buku ini antara lain dengan memosisikan para dengan calon pelanggan. Ia harus dapat mengerti kemauan dan keinginan para calon konsumen.
Artinya, marketer harus dapat mendengar keinginan pelanggan. It's about listening! Begitu dikatakan oleh Dave Kerpen. Mendegarkan konsumen dan calon konsumen menjadi hal yang esensial. Konsumen harus didengarkan, baik pujian hingga cacian mengenai produk yang kita tawarkan.
Mengapa demikian? Karena esensi dari media sosial marketing adalah mendengarkan dan memberikan respon. Tanpa hal ini, sulit bagi marketer untuk meningkatkan brand enggagemnet konsumen.
Nah, jika anda adalah peminat social media marketing, liriklah buku ini.


Rabu, 25 Juli 2012

Serba-serbi Masyarakat Kolonial Batavia

Judul: Batavia, Masyarakat Kolonial Abad XVII
Penulis: Henderik E Niemeijer
Penerbit: Masup Jakarta
Terbit: Juli, 2012
Halaman:
Harga: Rp. 180.000 (hard cover)



Memahami Jakarta pada masa kolonial yang kala itu masih disebut Batavia memang menarik. Pasalnya, dari situlah kita dapat melihat dimensi-dimensi sosiologis-politis yang kemudian membentuk Jakarta masa kini. Buku ini rasanya adalah salah satu referensi yang dapat menambah derajat pemahaman kita mengenai dimensi-dimensi tersebut.

Pada bagian awal buku ini pembaca mungkin akan terperangah mengetahui bahwa Batavia pada abad 17 ternyata tidak lebih dari sebuah kota perbudakan. Kala itu  perbudakan mendapat tempat yang subur karena memiliki payung legalitas dari pemerintah kolonial. Penyebabnya  pemerintah memiliki kepentingan untuk menempatkan pekerja murah untuk mengembangkan Batavia menjadi kota dagang.

Akibatnya budak tidak hanya didatangkan dari berbagai pulau di luar Jawa seperti Maluku, Sulawesi atupun Bali, melainkan juga dari luar negeri seperti India, Srilanka, hingga Filipina. Para budak ini kemudian diperjualbelikan oleh tuan-tuan mereka. Di kemudian hari kedatangan para budak di batavia memunculkan masalah kemasyarakatan tersendiri di Batavia, mulai dari pergundikan, kriminal, hingga kekerasan (hal. 31-57).

Kemunculan budak dan pendatang ke Batavia telah menjadikan kota ini sebuah kuali adukan (melting pot). Namun itu pun memunculkan potensi gesekan. Kehadiran kelompok etnis Cina misalnya, telah memicu konflik tersendiri. Salah satu yang tercatat dalam buku ini adalah kebiasaan berjudi yang kerap berujung pada keributan. Akibatya pemerintah harus membatasi perjudian.

Namun, situasinya menjadi dilematis. Pasalnya, di satu sisi, pemerintah yang berkuasa memperoleh pendapatan dari perjudian tersebut. Setiap rumah judi ataupun pesta-pesta yang menyelenggarakan perjudian, diharuskan menyerahkan semacam pajak kepada pemerintah Batavia.

Masalah lain yang juga sering muncul ke permukaan pada abad 17 adalah konflik antar pemeluk agama. Hal ini terjadi antara penganut Kristen dan Katolik. Kala itu para pendeta Kristen terang-terangan menolak misi yang dijalankan oleh pemuka agama Katolik. (hal. 239-254). Bahkan tanpa segan mereka menganggap ibadah ataupun ritus yang dipimpin oleh pemuka Katolik dianggap ilegal.

Hal yang harus dicatat mengenai hubungan antar pemeluk agama pada masa kolonial adalah kenyataan Islam yang terus berkembang dan memegang peranan penting. Bahkan kemudian pemerintah Hindia Belanda lebih membuka kesempatan untuk perkembangan Islam ketimbang agama Katolik.

Pada halaman 217-220 bahkan disampaikan bahwa Islam tidak dianggap sebagai “bahaya”, sebaliknya banyak ulama Islam yang dianggap dapat bekerja sama dengan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memiliki posisi khusus.

Hal  berbeda dialami oleh praktik-praktik relijius yang dilakukan oleh etnis Cina. Dalam buku ini praktik keagamaan yang dilakukan oleh etnis Cina cenderung dianggap membuat keributan. Tidak mengherankan jika pemerintah perlu untuk melarang kegiatan tersebut.

Buku ini menarik untuk memahahami kehidupan masyarakat kolonial Batavia. Sayangnya, catatan yang banyak didasarkan pada dokumen administrasi pemerintahan ini, tidak diformulasi dengan cara yang lebih cair. Padahal cara yang lebih cair akan membuat pembaca lebih asyik mengikuti “perjalanan ke masa lalu” ini.

Simak saja buku Semerbak Bunga di Bandung Raya (1998) yang ditulis oleh Haryoto Kunto.  Banyak cerita dan fakta tentang Kota Bandung yang didasarkan pada literatur masa lalu, namun disampaikan dengan cara yang “renyah”, menawan , dengan bumbu-bumbu yang jenaka di sana-sini. Akhirnya, jadilah sebuah buku yang menarik untuk dinikmati.***

Kamis, 05 Juli 2012

Teladan Bagi Calon Pemimpin Jakarta

Judul               : AliSadikin, Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi
Penulis             : Ramadhan KH
Penerbit           : Ufuk
Terbit               :  I, Juni 2012
Halaman          : xviii + 612 halaman
Harga              : Rp. 74.000

Membuat perbaikan di Kota Jakarta bukan perkara gampang. Landasan teori planologi maupun teori kemsyarakatan tidak sepenuhnya dapat menuntaskan persoalan yang telah lama bercokol. Sebaliknya, keinginan yang kuat, idealisme, serta kerja keras merupakan modal utama untuk melakukan perubahan.
Tampaknay para calon gubernur Jakarta periode mendatang perlu menengok kembali sepak terjang Ali Sadikin ketika ia mulai melakukan berbagai pembenahan di Jakarta pada awal masa kepemimpinannya. Seperti diketahui, kala itu Jakarta menyimpan setumpuk masalah.

Jalanan yang tidak memadai, kurangnya jumlah sekolah, angka pengangguran yang tinggi, minimnya fasilitas kesehatan, adalah sebagian kecil persoalan yang dihadapi Jakarta ketika Ali Sadikin mulai menjabat gubernur Jakarta. Ditambah lagi kondisi keuangan pemerintah kota yang sangat tidak mendukung untuk dilakukannya perubahan dengan segera.

Semua itu telah membuat Ali Sadikin berpikir keras untuk membalikkan keadaan. Baginya salah satu hal yang harus dilakukan adalah memikirkan sumber pendapatan untuk memperoleh dana pembangunan. Salah satu sektor yang digenjonya kala itu ialah sektor pajak.

Dengan kata lain ia merevitalisasi sektor pajak agar kebocoran dikurangi sambil mencari sumber pajak lain yang dapat dimaksimalisasi. Salah satunyanya ialah pajak judi yang biasa dilakukan oleh komunitas etnis tertentu. Namun ide ini kemudian mengundang kontroversi.

Meski mengundang kontroversi, terutama dari golongan agamis, Ali Sadikin tidak urung melaksanakan niatnya. Pasalnya ia tahu bahwa kebijakan ini memiliki landasan yuridis. Dengan kata lain, pungutan pajak ini pada dasarnya legal.

Selain itu, bagi Ali Sadikin persoalan masyarakat tidak dapat dilihat hanya dari balik meja. Ia harus turun langsung ke lapangan, berinteraksi dengan warga, dan mengalami langsung kesulitan yang dihadapi oleh warganya.

Itu sebabnya ia tidak segan untuk berdesak-desakan di dalam bis kota untuk merasakan betapa tidak nyamannya sarana transportasi yang ada kala itu  (Hal. 129).  Karenanya juga ia menjadi tahu bagaimana harus melakukan pembenahan moda transportasi, mulai dari perlunya pemberhentian bis agar moda ini lebih tertib, hingga perlunya penambahan dan pembenahan terminal. Bahkan ia juga mengambil langkah berani meminjam dana dari Amerika untuk menambah armada bis.

Menariknya, Ali Sadikin seakan ingin memangkas birokrasi. Ia enggan kebijakannya direalisasikan dalam waktu yang lama. Itu sebabnya ia kerap melakukan instruksi langsung  di tempat secara spontan. Bahkan hal itu sering bernada perintah yang harus dilakukan segera. Ini dilakukan semata-mata agar warga tidak lebih lama menderita.

Berbagai aspek kehidupan warga kota begitu diperhatikan oleh Ali sadikin. Ia ingin warga merasa lebih diperhatikan dan dimanusiakan. Ini berarti ia ingin warga Jakarta lebih beradab. Kekerasan hatinya sajalah yang dapat mencapai itu semua. Bukan untuk kepentingan sekelompok orang apalagi dirinya sendiri, melainkan untuk kepentingan warga.

Buku ini dapat menjadi teladan bagi para calon pemimpin Jakarta. Ali Sadikin boleh saja disebut masa lalu. Namun ada pepatah mengatakan, siapa enggan melihat masa lalu, ia buta melihat masa kini.***




Kamis, 28 Juni 2012

Tembakau dan Realitas Sosial

Judul: Kisah Tentang tembakau
Editor: Irawan Saptono
Penerbit: ISAI
Terbit: Juni 2012
Halaman: 225 halaman

Jumat, 01 Juni 2012

Etnis Tionghoa dan Keindonesiaan




Judul: Peranakan Tionghoa di Indonesia
Penulis: Iwan Santosa
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tebal: xx+ 316 halaman
Tebit: Juni, 2012



Eksistensi etnis Tionghoa memiliki tempat tersendiri dalam sejarah bangsa Indonesia.  Mereka tidak hanya memiliki andil dalam pertumbuhan dan perkembangan masyarakat,  melainkan juga berkontribusi bagi pergerakan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.

Pertanyaannya, bagaimana eksistensi etnis Tionghoa dalam konteks kekinian? Pertanyaan ini diajukan karena etnis Tionghoa masih memiliki identitas kultural yang tidak mungkin lenyap begitu saja.

Seperti halnya identitas Jawa yang tidak bakal hilang ketika seorang Jawa melebur dalam kenyataan Indonesia. Sama halnya dengan identitas Padang yang tidak bakal hilang ketika orang Padang menyatakan diri menjadi anak sah dari Indonesia.

Artinya, memperbincangkan keberadaan etnis Tionghoa tetap menarik meskipun sesungguhnya dalam entitas Indonesia, tidak ada lagi identitas mayoritas ataupun minoritas,yang ada hanyalah identitas Indonesia.

 Buku mencoba untuk memberikan sebuah gambaran umum mengenai kondisi masyarakat Tionghoa kontemporer. Tidak hanya terbatas pada etnis Tionghoa yang berada di perkotaan,  namun juga keturunan Tionghoa yang berada di pinggiran, misalnya saja mereka yang disebut dengan Cinta Benteng yang bermukim di Tangerang, Banten.

Keberadaan warga Cina Benteng mematahkan anggapan umum  bahwa keturunan Tionghoa selalu hidup berkecukupan. Warga Cinta Benteng justru sebaliknya. Mereka tidak berbeda dengan warga marjilan  pada umumnya yang selalu tersisihkan, terancam penggusuran, bahkan sering menerima tindakan-tindakan diskriminatif.

Konteksnya tentu bukan soal tuntutan privelese bagi keturunan etnis Tionghoa, namun tuntutan untuk dihargai, diperlakukan, dan diberikan hak yang sama seperti warga Indonesia lainnya. Toh pada dasarnya mereka sudah turun-temurun berada di Indonesia, menghirup udara Indonesia, dan bahkan melalukan kewajiban sebagai warga negara pada umumnya.

Buku ini juga seperti ingin memperlihatkan betapa tidak ada alasan untuk mempraktikkan diskriminasi terhadap masyarakat keturunan Tionghoa. Apalagi sejak jauh-jauh hari mereka mencoba mempraktikkan akulturasi. Perlakukan diskriminatif hanya akan membuat jurang yang kian menganga antar etnis.

Tidak hanya memotret keberadaan masyarakat keturunan Tionghoa di Jakarta, buku ini juga mengungkapkan sisi kehidpan etnis Tionghoa di wilayah lain di di Indonesia,  seperti di Semarang, Yogyakarta, Simgkawang, Padang hingga Aceh.
Dari Semarang buku ini melaporkan Pecinan Semarang yang tidak pernah mati. Salah satunya adalah Jalan Semawis yang selalu diramaikan oleh gerai-gerai kuliner di malam hari. Keramaiannya memuncak terutama pada malam minggu.
Jalan Semawis bukan sekadar tempat wisata kuliner, melainkan juga simbol geliat keguyuban masyarakat keturunan Tionghoa di kota itu. Seperti ingin diperlihatkan bahwa masyarakat Tionghoa masih hidup dan tetap dapat hidup berdampingan dengan warga Semarang lainnya.
Pendeknya buku ini ingin menunjukkan serbaneka kehidupan masyarkat keturunan Tionghoa di Indonesia. Meskipun tidak dapat mengungkapnya secara komprehensif, namun dari sini kita dapat terbuka ruang-ruang perspektif untuk melihat bagaimana masa depan masyarakat keturunan Tionghoa dan identitas keindonesiaan.***

Selasa, 22 Mei 2012

Membaca "Kita" dalam Laci sketsa


Judul: Mangan Ora Mangan Kumpul
Penulis: Umar kayam
Penerbit: Grafiti Pers
Terbit: VII, 2012
Halaman: 458


Menyampaikan persoalan yang terjadi dalam masyarakat tidak harus dilakukan dengan gaya yang serius ataupun "berat". Gaya yang sederhana dan penuh seloroh dapat juga digunakan agar pesan dapat lebih mudah dikomunikasikan.

Itu yang dapat ditangkap ketika membaca kolom-kolom Umar Kayam yang terdapat dalam buku Mangan Ora Mangan Kumpul ini. Gaya tulisannya tidak sekadar santai melainkan juga ringan dan renyah. Tak jarang pembaca juga akan dibuat tersenyum saat "mengunyah" isi tulisan di dalamnya.

Buku ini banyak mengetengahkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat kontemporer. Di dalamnya terdapat masalah politik, birokrasi, kemasyarakatan, ekonomi, hingga persoalan kultural.

Umar Kayam seakan berusaha untuk memeras realitas tersebut sehingga sari pati setiap persoalan dapat keluar untuk kemudian dinikmati oleh pembaca. Lusinan masalah dan persoalan ia ungjkapkan dalam kolom-kolomnya. Nukan sekadara m,salah, namun hal-hak yang nyata menuntut penyelesaian.
Umar Kayam
 id.wikipedia.org

Lewat kolom-kolom itu Umar Kayam bukan mengguggat, ataupun melakukan kritik secara langsung, ia hanya melakukan dekodefikasi, untuk kemudian ia sampaikan kepada pembacanya dengam racikan yang lebih "sedap" bagi pembaca.

Formula racikan itu bisa dapat bermacam-macam, salah satunya adalah sentuhan kultur Jawa-- apalagi kolom-kolomnya terbit di harian Kedaulatan Rakyat yang terbit di Yogyakarta.
Dalam kolom-kolomnya Umar Kayam tidak memosisikan dirinya sebagai guru atau sosok yang lebih tahu dari orang lain,  melainkan sosok yang orang  biasa. Karenanya ia dapat lebih bebas mengomentari setiap hal yang dilihatnya.

Sampul cetakan pertama, 1991.
Dalam kolom-kolomnya,  Umar Kayam menampilkan tokoh-tokoh yang dekat dengannya. Bukan tokoh yang kelewat hebat dan terhormat, melainkan pembantu rumah tangga atau batur. Pembantu yang selalu berpikir serba sederhana itu justru ia gunakan untuk melakukan "pembalikan", merontokkan yang serba mapan, serba tinggi dan serba tidak tersentuh.

Pemberian nama tokoh-tokh pembantunya tersebut pun sudah meriupakan sebuah pembalikan, yakni Rigen dan Nansiyem, yang merupakan plesetan nama presiden Amerika Serikat dan istri, Ronald Reagan  dan Nancy Reagan.

Membaca kolom-kolom Umar Kayam, pembaca akan seperti melihat diri sendiri, persoalan sendiri, bahkan mentertawakan diri sendiri, karena memang kita lekat dengan persoalan-persioalan yang dikemukakan oleh Umar Kayam.***


Senin, 07 Mei 2012

Menegaskan Peran Sultan dalam Sejarah


 
Judul   : Sepanjang Hayat Bersama Rakyat
Penulis : Tim Kompas
Editor  : Julius Pour dan Nur Adji
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Terbit   : I, April 2012
Halaman :  xii + 347 Halaman



Problema utama historiografi ialah subjektivitas. Inilah menyebabkan historiografi cenderung tampil sebagaimana diinginkan oleh penulisnya dengan mengabaikan evidensi-evidensi objektif.

Cara memandang peristiwa sejarah yang keliru, orientasi penulisan yang sentralitis, serta berbagai tarikan kepentingan, cenderung  menghasilkan sebuah sejarah yang mistifikatif. Oleh karena itu, pelurusan sejarah menjadi sesuatu yang tidak boleh dihindari.

Begitu pula dengan sejarah Serangan Umum (SU) 11 Maret 1949 di Yogyakarta yang dilakukan oleh tentara gerilya. Peristiwa ini menjadi kontroversial karena berbagai tulisan sejarah memiliki versi yang berbeda-beda mengenai subjek penggagas serangan tersebut.

Banyak literatur menyebutkan, SU digagas oleh Letkol Soeharto, yang kelak menjadi presiden Republik Indonesia. Namun kemudian bantahan muncul yang menyebutkan bahwa peristiwa yang terjadi di Yogyakarta itu adalah inisiatif Sultan Hamengku Bowono IX.

Perbedaan itulah yang banyak dibahas pada bagian awal buku ini. Berbagai kutipan serta pandangan dari pelaku maupun ahli sejarah disampaikan untuk memberikan perspektif yang berbeda, terkait dengan SU.

Dari tulisan yang ada, seakan ingin ditegaskan bahwa Sultan Hamengku Buwono IX-lah yang pertama-tama melihat arti strategis SU bagi eksistensi bangsa Indonesia. Itu sebabnya ia kemudian meminta Letkol Soeharto untuk mengomandoi sebuah operasi yang dicetusnya.

Ketika peristiwa sejarah ini diputarbalikkan, Sultan tidak banyak berkomentar. Penyebabnya,  ia tidak memiliki ambisi untuk dikenang dalam sejarah. Kepentingannya hanya satu yakni kepentingan rakyat.

Selain itu, buku ini juga ingin mempertegas posisi Sultan Hamengku Buwono IX. Baik perannya dalam sejarah bangsa Indonesia, maupun posisinya di hati rakyat. Apalagi Sultan dikenal sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat.

Dalam buku ini diungkapkan sebagian kecil hal yang telah dilakukan oleh Sultan pada masa-masa awal berdirinya Republik Indonesia. Misalnya saja Sultan mempersilakan pusat pemerintahan Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta. Sultan juga  menyumbangkan harta Keraton Yogyakarta untuk membiayai penyelenggaran pemerintahan Republik Indonesia.

Dengan demikian, wacana untuk meniadakan keistimewaan Yogyakarta adalah hal yang ahistoris. Sebagai bangsa yang besar, tidak pantas rasanya menghilangkan ataupun melupakan sejarah.

Bukan hanya kisah besar mengenai Sultan yang diungkapkan dalam buku ini, melainkan juga kisah-kisah human interest yang memperlihatkan karisma dan kesederhanaan seorang Raja Jawa.
Misalnya, ketika Sultan berkunjung ke New York. Suatu kali, di tengah perjalanan kembali ke hotel, ia meminta Joop Ave, yang bertugas sebagai konsul di Konjen RI di New York,  meninggalkannya tanpa pengawalan untuk berjalan-jalan dan berbelanja di  Bloomingdale Department Store.

Joop Ave yang saat itu ditugasi menemani Sultan tidak dapat berbuat banyak. Ia pun meninggalkan Sultan sendirian dengan cemas.

Buku yang diterbitkan untuk  mengenang 100 tahun Sultan Hamengku Buwono IX ini kembali mengingatkan kita, bahwa pemimpin sejati adalah pemimpin yang mengayomi dan mendengarkan rakyat. Hanya dengan cara itu ia dicintai dan selalu memiliki tempat di hati rakyat.***

Seni dan Benda Seni di Mata Seorang Kolektor

Judul  : Seni dan Mengoleksi Seni
Penulis  : Oei Hong Djien
Penerbit  : Kepustakaan Populer Gramedia dan
Terbit   : I, April 2012
Halaman    :  xli + 537 Halaman
Harga    : Rp. 150.000.



Menilai sebuah benda seni dapat dilakukan oleh siapa saja, baik oleh seniman ataupun kritikus seni. Sebab, karya seni sebagai sebuah artifak, adalah objek yang “terlepas” dari kreatornya, dan setiap orang bebas untuk memaknai.

Namun, bagaimana pencinta ataupun kolektor benda seni memandang sebuah karya seni? Apakah semata untuk kepuasan pribadi, status sosial, atau komoditi investasi? Buku ini menjawab pertanyaan tersebut.

Adalah Oei Hong Djien, salah satu kolektor benda seni terkemuka Indonesia yang reputasinya diakui dunia.  Saat ini ia tidak hanya “gandrung” mengoleksi benda seni,  melainkan ikut “menyelamatkan” sejarah seni rupa modern Indonesia.

Saya katakan “menyelamatkan” karena selain menyimpan ribuan lukisan karya maestro Indonesia dan sejumlah karya kontemporer, ia juga ikut melestarikannya dengan merestorasi benda-benda seni tersebut sepanjang diperlukan.

Bahkan ia juga telah “mengembalikan” karya pelukis legendaris Indoneisa yang sudah berada di tangan kolektor di luar negeri. Cara-cara seperti ini tentu bukan gaya seorang kolektor yang menganggap karya seni sebagai komoditi, melainkan kolektor yang sungguh-sungguh mencintai karya seni, sekaligus memiliki tanggung jawab terhadap “aset” bangsa.nilai koleksinya kemudian bertambah, itu hanya sekadar keuntungan lain. Apalagi ia tidak berniat untuk menjual kembali koleksinya.

Mengenai pasar, Hong Djien memiliki sejumlah catatan. Hasil pengamatannya menunjukkan, kadang-kadang  pasar bereakasi tidak rasional. Di sini ia mempersoalkan harga pasar yang dapat melambung tinggi secara tidak wajar.

Lukisan seniman yang belum memiliki pengalaman misalnya, dapat terjual dengan harga yang sangat tinggi. Padahal kreativitas dan konsistensinya belum teruji. Hal ini dapat membawa kerugian tidak hanya bagi seniman itu sendiri melainkan juga bagi dunia seni Indonesia secara umum.

Pada kondisi  demikian, akan muncul seniman yang selalu berusaha memenuhi selera pasar. Dengan begitu, makna sebuah karya akan tereduksi, sebab ia tidak ada bedanya dengan craft yang harus diproduksi secara masal agar dapat terserap pasar.

Hong Djien sendiri menyadari, pasar adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan begitu saja. Tanpa pasar,  seniman memang tidak bisa hidup. Tanpa transaksi  atau kegiatan jua-beli karya seni rupa tidak akan dapat berkembang. Keduanya harus saling bersinergi. Namun, kualitas sebuah karya seni harus menjadi yang utama.

Itu sebabnya Hong Djien selalu mengingatkan kepada para kolektor untuk bereaksi wajar terhadap karya seni. Menjadikan karya seni sebagai komoditi yang hanya dilihat dari sisi untung-rugi tidak akan membawa dampak positif kepada dunia seni.

Lewat buku ini Hong Djien juga berbagi pengalaman selama berinterkasi dengan seniman, mulai yang legendaris seperti Affandi hingga seniman yang jauh lebih muda seperti Made Sukadana.  Kedekatan dengan seniman dan memahami proses kreatifnya membuat ia semakin mengerti bagaimana menilai, menikmati dan menghargai sebuah karya seni.***

Senin, 16 April 2012

Cara Nekat Naik Haji





Judul: Haji Nekat
Penulis: Haji Bahari
Halaman: 494 halaman
Penerbit: Pena Semesta
Terbit: I, Maret 2012



Berangkat berhaji lewat udara adalah hal biasa. Namun, akan luar biasa jika perjalanan tersebut dilakukan lewat darat. Pasalnya, tantangan dan persoalan yang dihadapi saat berhaji lewat darat, jauh lebih pelik dan nyaris sulit diatasi.

Tetapi itu tidak menjadi halangan bagi Bahari. Lelaki yang berprofesi sebagai wartawan itu nekat pergi menunaikan ibadah haji lewat darat. Kedengarannya tidak masuk akal. Tetapi kenekatan itu didukung oleh rekan-rekan kerjanya.

 Persiapan serta perhitungan yang matang dilakukan agar gagasan ini tidak menemui kegagalan. Penentuan rute-rute jalan darat yang aman adalah sebagian kecil dari persiapan yang dimaksud.  Hal ini penting terutama jika penulis harus melalui wilayah-wilayah konflik.

Pengalaman selama melakukan perjalanan menuju Tanah Suci itulah yang dikumpulkan dalam buku ini. Sebelumnya, tulisan-tulisan itu dimuat sebagai tulisan berseri di surat kabar harian tempatnya bekerja.

Sebagai perjalanan yang sarat nuansa petualangan, hal yang menarik dari tulisan-tulisan Bahari adalah kisah-kisahnya saat melintasi berbagai negeri dengan birokrasi, kebijakan, serta kebiasaan yang berbeda.

Kesulitan dan ketidaknyamanan ketika menempuh perjalanan, juga acap kali disampaikan oleh Bahari. Ini membuat pembaca bersyukur karena berangkat berhaji di masa ini jauh lebih mudah.

Sebut saja ketika Bahari berada di Bangkok dan harus menempuh perjalanan dari Monywa ke Kalay. Karena kehabisan tiket, ia terpaksa menumpang sebuah bis yang hanya menyisakan ruang sempit di bagian belakang. Ini membuatnya kesulitan untuk sekadar menyelonjorkan kaki.

Jalanan yang rusak dan bis yang sering mengalami gangguan mesin, telah membuat perjalanan ke Kalay itu ditempuh lebih dari 21 jam. Dapat dibayangkan bagaimana penulis harus bertahan selama itu dengan  kondisi yang tidak nyaman.

Selain itu, ketegangan pun kerap dialami oleh Bahari. Ini terjadi ketika ia memasuki wilayah Myanmar. Di wiayah ini orang asing selalu diawasi secara ketat atau dilarang sama sekali.

Bahari pun mengalami hal yang sama. Alhasil ia harus segera meninggalkan wilayah tersebut dengan berbagai ancaman.

 Ketegangan juga terjadi ketika penulis berada di wilayah Pakistan. Di sana ia harus berhadapan dengan petugas yang menaruh curiga kepadanya. Tak ayal, bawaan penulis diperiksa, termasuk file yang tersimpan dalam laptop.

Di sini identitas Bahari sebagai wartawan terbongkar. Ia pun diusir dari Gwadar untuk kembali ke Karachi. Dari sana ia harus meninggalkan Pakistan karena kedapatan melakukan kegiatan jurnalistik.

Dari Pakistan Bahari harus terbang ke Oman untuk kemudian menuju Jeddah, Arab Saudi. Perjalanan udara ini dilakukan karena untuk pemegang visa haji kuota, calon haji harus masuk Jeddah melalui pintu imigrasi bandara King Abdul aziz. Dari Jeddah penulis  akhirnya tiba diMakkah.

Di Makkah Bahari menuliskan beragam feature menarik, mulai dari soal kuliner, polah calon haji, hingga ”keajaiban” yang dialami. Tulisan-tulisan itu diracik sedemikian rupa sehingga pembaca seakan berada dalam situasi yang sama dengan penulis. Tidak mengherankan kalau pembaca tidak bosan untuk terus menyimak kisah-kisahnya.***

Kamis, 05 April 2012

Menangkap Gejala, Menyemai Kreativitas




Judul : Brand Gardener


Penulis : Handoko Hendroyono


Penerbit : Literati


Tebal : 342 halaman


Terbit : I, Maret 2012



Perubahan-perubahan yang terjadi di berbagai bidang, telah memaksa praktisi komunikasi pemasaran untuk meresponnya dengan cepat. Jika tidak, kematian sebuah produk ataupun brand yang sedang ditangani, akan datang lebih cepat.

Persoalannya, gejala apa yang harus ditangkap? Lalu, bagaimana dan dimana gejala-gejala itu bisa ditangkap? Apa yang harus dilakukan oleh seorang praktisi komunikasi pemasaran untuk menanggapi isu-isu kontemporer di dunia marketing?

Buku berjudul Brand Gardener ini memberikan inspirasi bagi pembaca untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Penulisnya mengetengahkan berbagai fenomena serta fakta hasil pengamatan secara acak yang dapat mendorong praktisi komunikasi untuk memikirkan ulang cara mereka berkomunikasi kepada pasar.

Salah satu hal yang disampaikan alam buku ini adalah insight, yakni informasi yang diterima oleh seorang praktisi komunikasi pemasaran untuk menentukan formulasi ataupun bentuk komunikasi yang paling tepat.

Bagi penulis buku ini, insight adalah hal yang harus terus digali jika menginginkan sebuah komunikasi yang efektif. Semakin kaya insight yang dimiliki, semakin mudah formulasi komunikasi dibentuk.

Lalu bagaimana insight didapat? Dengan mencermati dan mengamati segala hal yang terjadi di sekitar. Kecenderungan komunitas tertentu dalam berperilaku, pola golongan tertentu dalam menggunakan uangnya, hingga culture trend di kalangan kelompok masyarakat, merupakan insight yang dapat dicermati di lingkungan.

Insight yang kaya dan berwarna tidak mungkin didapat hanya dengan melakukan perenungan di kamar ataupun melakukan perdebatan di dalam ruang meeting, namun seseorang harus melangkah keluar dan melihat fenomena yang ada.

Praktisi komunikasi tidak bisa tinggal diam, ia harus terus mencari, melihat semua gejala, merumuskan persoalan, melakukan simplifikasi realitas sehingga dapat melakukan komunikasi yang tidak hanya efektif, melainkan yang dapat menularkan kebaikan.

Mengapa kebaikan? Karena banyak kegiatan komunikasi pemasaran yang dianggap mendorong orang untuk konsumtif, melakukan pemborosan, bahkan menipu. Akibatnya perlu dilakukan sebuah upaya untuk mengubah persepsi ini. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menebarkan kebaikan lewat program komunikasi pemasaran yang dilakukan.

Buku ini berupaya mendorong pembaca untuk menangkap peristiwa-peristiwa sederhana yang seringkali luput dari pengamatan. Alasannya, peristiwa tersebut merupakan sumber insight yang tidak pernah kering untuk dieksplorasi.

Tak hanya itu, buku ini juga ingin memperlihatkan bahwa memahami audiens adalah hal yang seharunya pertama kali dilakukan. Memahami bagaimana audiens berinteraksi, bersosialisasi, serta berkepresi, adalah hal esensial sebelum merancang sebuah bentuk komunikasi pemasaran.

Kelebihan buku ini ialah gaya penulisannya yang santai dan tanpa kesan menggurui. Meskipun di sana-sini acap muncul terminologi pemasaran maupun periklanan, buku ini tetap dapat dikonsumsi secara ringan bagi siapa saja.

Gaya "bercerita" yang digunakan, membuat buku lebih dari sekadar menyampaikan kisah, melainkan juga seakan mengajak kita berjalan-jalan di taman komunikasi pemasaran yang dipenuhi kuncup-kuncup kreativitas.***

Kamis, 15 Maret 2012

Buku Pintar Pegiat Literasi



Judul : Gempa Literasi, Dari Kampung untuk Nusantara

Penulis : Gol A Gong dan Agus M Irkham

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia

Tebal : xvi + 519 halaman

Terbit : I, Februari 2012


Persoalan literasi atau keberaksaraan bukanlah minimnya jumlah warga negara yang melek huruf. Namun bagaimana mereka sapat melibatkan “aksara” secara aktif, untuk memperkaya wawasan, menambah pengetahuan, hingga membuat kualitas hidupnya lebih baik.

Sayangnya, dari berbagai temuan, tingkat literasi masyarakat memang masih rendah. Apalagi jika hal tersebut dikaitkan ataupun disandingkan dengan tingkat kemiskinan. Artinya, tingkat melek huruf yang terus meningkat di Indonesia, tidak membawa perubahan pada angka kemiskinan.

Inilah salah satu kondisi yang mendorong berdirinya berbagai gerakan literasi di masyarakat. Gerakan yang muncul tidak hanya merangsang masyarakat untuk mendapatkan kesempatan mengakses bacaan yang bermanfaat serta kaya, melainkan juga dapat memanfaatkan bacaan tersebut untuk mengembangkan dirinya. Namun niat ini tidak selalu berhasil.

Buku ini mencoba memberikan gambaran sejumlah situasi yang membuat gerakan literasi terhambat. Salah satunya ialah kesadaran para birokrat, misalnya saja pemerintah kota, terhadap arti penting perpustakaan. Ketidakpahaman pemerintah kota terhadap manfaat jangka panjang sebuah perpustkaan, membuat mereka lebih senang memberikan ijin pembukaan mal, ketimbang menambah koleksi judul buku di perpustakaan. Bandingkan saja, berapa jauh perbedaan tingkat pertumbuhan mal ataupun pusat belanja di Jakarta, dengan pendirian perpustakaan daerah.

Di sini, perpustakaan dearah yang memang tidak memberikan dampak langsung terhadap pendapatan derah, dianggap tidak penting. Mereka menganggap perpustakaan hanya akan menambah pengeluaran, tanpa menghasilkan pendapatan. Akhirnya, sebuah kota hanya menjadi pusat belanja ketimbang pusat edukasi.

Apalagi sebuah perpustakaan yang ideal tidak hanya harus menambah koleksi buku setiap saat, namun juga harus memiliki dana untuk menambah fasilitas yang memudahkan masyarat memperoleh informasi. Tidak mengherankan apabila kondisi perpustaakan daerah acap kali memprihatinkan, sehingga fungsi idealnya tidak menemui kenyataan.

Kondisi lainnya adalah, orang-orang yang bekerja di perpustakaan tidak memiliki pemahaman yang baik mengenai perpustakaan. Ironisnya, ada pegawai perpustakaan yang tidak gemar membaca dan tidak menyukai buku.

Akibatnya, pengelolaan perpustakan tidak maksimal. Jangankan mencari cara agar perpustkaan dapat diakses atau didatangi oleh lebih banyak orang, untuk membenahi katalogisasi saja masih amburadul.

Namun, di tengah situasi literasi yang serba memprihatinkan tersebut, masih ada komunitas yang peduli melakukan usaha untuk membenahinya. Dengan caranya sendiri mereka berusaha meluaskan gerakan literasi di daerah, salah satunya dengan mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM).

Mereka juga melakukan sejumlah kegiatan literasi. Di Banten misalnya digagas gerakan Banten Membaca. Kemudian di Cipanas, Lebak, diusung gerakan Cipanas Iqra. Di Yogyakarta misalnya diciptakan gerakan Yogya Membaca, dan di Surabaya, Jawa Timur, dibuat gerakan Surabaya Membaca.

Gerakan-gerakan semacam inilah yang seharusnya mendapat dukungan dari siapa saja yang mengaku peduli dengan dunia literasi. Sebab rasanya sudah sulit mengharapkan dukungan dari otoritas terkait.

Masih berkait dengan literasi, buku ini juga membahas sejumlah hal yang berkaitan dengan bisnis buku di tanah air. Masalah pengelolaan toko buku, penerbitan, hingga hal-hal yang berkaitan dengan usaha pemasaran buku, adalah topik-topik yang dibahas di dalamnya.

Masalah literasi, dari usaha menyebarkan gairah membaca di masyarakat, hingga upaya menanamkan budaya menulis, dibahas dari berbagai sisi dalam buku ini. Oleh karena itu, tidak berlebihan rasanya jika buku ini diklaim sebagai usaha untuk membongkar karut marut dunia literasi.***


dimuat di HU KORAN JAKARTA, 26 Maret 2012