Judul: Peranakan Tionghoa di Indonesia
Penulis: Iwan Santosa
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tebal: xx+ 316 halaman
Tebit: Juni, 2012
Eksistensi etnis
Tionghoa memiliki tempat tersendiri dalam sejarah bangsa Indonesia. Mereka tidak hanya memiliki andil dalam
pertumbuhan dan perkembangan masyarakat,
melainkan juga berkontribusi bagi pergerakan bangsa Indonesia menuju
kemerdekaan.
Pertanyaannya,
bagaimana eksistensi etnis Tionghoa dalam konteks kekinian? Pertanyaan ini
diajukan karena etnis Tionghoa masih memiliki identitas kultural yang tidak
mungkin lenyap begitu saja.
Seperti halnya
identitas Jawa yang tidak bakal hilang ketika seorang Jawa melebur dalam kenyataan
Indonesia. Sama halnya dengan identitas Padang yang tidak bakal hilang ketika orang
Padang menyatakan diri menjadi anak sah dari Indonesia.
Artinya, memperbincangkan
keberadaan etnis Tionghoa tetap menarik meskipun sesungguhnya dalam entitas
Indonesia, tidak ada lagi identitas mayoritas ataupun minoritas,yang ada
hanyalah identitas Indonesia.
Buku mencoba untuk memberikan sebuah gambaran
umum mengenai kondisi masyarakat Tionghoa kontemporer. Tidak hanya terbatas
pada etnis Tionghoa yang berada di perkotaan,
namun juga keturunan Tionghoa yang berada di pinggiran, misalnya saja
mereka yang disebut dengan Cinta Benteng yang bermukim di Tangerang, Banten.
Keberadaan warga
Cina Benteng mematahkan anggapan umum bahwa
keturunan Tionghoa selalu hidup berkecukupan. Warga Cinta Benteng justru
sebaliknya. Mereka tidak berbeda dengan warga marjilan pada umumnya yang selalu tersisihkan, terancam
penggusuran, bahkan sering menerima tindakan-tindakan diskriminatif.
Konteksnya tentu
bukan soal tuntutan privelese bagi keturunan etnis Tionghoa, namun tuntutan
untuk dihargai, diperlakukan, dan diberikan hak yang sama seperti warga
Indonesia lainnya. Toh pada dasarnya mereka sudah turun-temurun berada di
Indonesia, menghirup udara Indonesia, dan bahkan melalukan kewajiban sebagai
warga negara pada umumnya.
Buku ini juga
seperti ingin memperlihatkan betapa tidak ada alasan untuk mempraktikkan
diskriminasi terhadap masyarakat keturunan Tionghoa. Apalagi sejak jauh-jauh
hari mereka mencoba mempraktikkan akulturasi. Perlakukan diskriminatif hanya
akan membuat jurang yang kian menganga antar etnis.
Tidak hanya
memotret keberadaan masyarakat keturunan Tionghoa di Jakarta, buku ini juga
mengungkapkan sisi kehidpan etnis Tionghoa di wilayah lain di di
Indonesia, seperti di Semarang,
Yogyakarta, Simgkawang, Padang hingga Aceh.
Dari Semarang
buku ini melaporkan Pecinan Semarang yang tidak pernah mati. Salah satunya
adalah Jalan Semawis yang selalu diramaikan oleh gerai-gerai kuliner di malam
hari. Keramaiannya memuncak terutama pada malam minggu.
Jalan Semawis
bukan sekadar tempat wisata kuliner, melainkan juga simbol geliat keguyuban
masyarakat keturunan Tionghoa di kota itu. Seperti ingin diperlihatkan bahwa masyarakat
Tionghoa masih hidup dan tetap dapat hidup berdampingan dengan warga Semarang
lainnya.
Pendeknya buku
ini ingin menunjukkan serbaneka kehidupan masyarkat keturunan Tionghoa di
Indonesia. Meskipun tidak dapat mengungkapnya secara komprehensif, namun dari
sini kita dapat terbuka ruang-ruang perspektif untuk melihat bagaimana masa
depan masyarakat keturunan Tionghoa dan identitas keindonesiaan.***
1 komentar:
ada diskon buku, katalognya bisa di download disini: http://tokoafandi.com/index.php?route=information/information&information_id=10
Posting Komentar