Kamis, 29 Desember 2011

Potret Benturan Kultural





Judul : Antara Jimbaran dan Lovina
Penulis : Sunaryono Basuki Ks
Penerbit : Cakra Press, Denpasar
Tahun : Oktober 2011
Tebal : x + 158 halaman
Harga : Rp. 35.000





Jika sastra adalah asbtraksi realitas, rasanya Antara Jimbaran dan Lovina adalah salah satu karya yang sanggup melakukan hal tersebut. Pasalnya, cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen ini berhasil menguak sebagian realitas masyarakat Bali kontemporer.

Dalam kumpulan cerpen ini, Sunaryono Basuki Ks, mencoba untuk mengidentifikasi dan merepresentasikan kompleksitas dan problem kultural masyarakat Bali. Pergeseran nilai dan krisis identitas, adalah tema-tema yang acap kali diangkat dalam cerpen-cerpen dalam antologi ini.

Dalam konteks Bali, masalah-masalah ini menjadi menarik. Hal ini disebabkan Bali sebagai salah satu tujuan wisata favorit, terbuka untuk hadirnya masalah-masalah tersebut. Perjumpaan dengan berbagai budaya, yang dibawa oleh wisatawan dari berbagai penjuru dunia, memungkinkan terjadinya benturan kultural dalam masyarakat.

Dalam sejumlah cerpen, hubungan seks yang dianggap tabu bagi pasangan belum menikah serta perselingkuhan misalnya, digambarkan telah menjadi hal yang lumrah terjadi di kalangan anak muda. Hal ini menjadi sebuah paradoks ketika masyarakat Bali dikenal sebagai masyarakat yang taat menjalankan ritus agama.

Sunaryono memang tidak menuliskan hal tersebut dengan nuansa gugatan atau protes. Ia juga tidak menggurui sehingga terkesan menjadi polisi moral. Namun, penggambaran ini menunjukkan adanya kegelisahan terhadap fenomena tersebut. Wajah masyarakat Bali yang sederhana dan taat beragama, seakan tergantikan dengan lukisan muram moralitas.

Cerpen-cerpen ini seakan mempertanyakan, apakah Bali memang telah mengalami perubahan. Jika jawabannya “ya”, tentu ini sebuah harga yang mahal yang harus dibayar untuk komodifikasi budaya yang sedang terjadi di Pulau Dewata itu.

Selain itu, benturan nilai budaya lokal dengan rasionalitas, tergambar pula dalam sejumlah cerpen dalam kumpulan ini. Sebut saja cerpen Gung Ayu Ariani. Dalam cerpen ini digambarkan seorang perempuan bernama Gung Ayu Ariani yang berani melawan tradisi sehingga disisihkan dari kehidupan bangsawan Bali.

Dalam cerpen tersebut digambarkan secara jelas sebuah perlawanan terhadap konservatisme dan feodalisme. Perlawanan ini bukan perkara mudah. Kerasnya adat membuat Ayu Ariani benar-benar tidak mendapat tempat dalam keluarga besarnya. Alhasil ia berjalan sendirian dengan keyakinan atas apa yang telah ditempuhnya.

Menyimak cerpen ini, pembaca seperti diajak untuk merenungkan kembali, apakah adat harus dipertahankan meskipun di satu sisi terjadi dehumanisasi. Ataukah harus dilakukan reinterpretasi agar tradisi tetap kontekstual?

Kumpulan cerpen ini semakin kaya dengan hadirnya tema-tema spiritual seperti reinkarnasi serta moksa. Ini terlihat dalam cerpen Dadong, Respati Telah Mati, Rajah, ataupun Sebuah Pura di Air Terjun Gigit.

Dalam cerpen-cerpen tersebut seakan diprlihatkan adanya dimensi metafisika yang misterius. Kemisteriusan ini yang mendorong manusia untuk merenungkan kembali adanya kehidupan lain setelah kematian. Bahkan Sunaryono seperti ingin menyadarkan pembaca bahwa hakikat kehidupan di dunia adalah misteri.***

Rabu, 28 Desember 2011

Suara Guru Muda dari Pelosok Indonesia





Judul : Indonesia Mengajar
Penyunting : Ikhdah Henny dan Retno Widyatuti
Penerbit : Bentang
Tahun : November 2011
Tebal : xviii + 322 halaman
Harga : Rp. 54.000



Keharuan dan kekaguman. Itulah yang terasa jika pembaca menyimak kisah-kisah dalam buku ini. Bagaimana tidak, para guru muda yang ditempatkan untuk mengajar di daerah-daerah terpencil di Indonesia, telah menemukan berbagai pengalaman yang memberikan makna lain pendidikan.

Mereka tidak lagi bicara soal teori pedagogi ataupun jargon-jargon yang diungkapkan oleh otoritas terkait mengenai pendidikan. Sebaliknya, mereka melakukan sebuah tindakan konkret dalam dunia pendidikan. Inilah yang sebetulnya dibutuhkan oleh Indonesia pada saat ini.

Lewat program Indonesia Mengajar yang digagas oleh orang-orang yang ingin melakukan tindakan nyata untuk kemajuan Indonesia, para sarjana dari berbagai perguruan tinggi, diundang untuk menjadi guru di berbagai pelosok daerah di Indonesia.

Rasanya, hanya “keterpanggilan” saja yang membawa para sarjana dari berbagai disiplin keilmuan itu mau berada di tempat-tempat jauh dari tempat berdiskusi para pemegang otoritas pendidikan. Mereka tidak sekadar mencari pengalaman apalagi uang, melainkan datang untuk berbuat sesuatu yang nyata bagi Ibu Pertiwi.

Sulit rasanya mengatakan bahwa mereka adalah sekelompok anak muda yang sekadar mengisi waktu sebelum bekerja di instansi tertentu. Sebab pada dasarnya anak-anak muda ini memiliki prestasi serta pencapaian di atas rata-rata. Jadi sesungguhnya tidak sulit bagi mereka untuk bekerja di lembaga atau instansi yang "menjanjikan".

Lalu, apa yang mereka dapatkan selama satu tahun berada tempat mereka ditugaskan? Apalagi kalau bukan sebuah pengalaman batin, pengalaman kemanusiaan dan pengalaman keindonesiaan.

Pengalaman-pengalaman itu sering kali bukan didapat dari peristiwa-peristiwa besar atau bernuansa heorik. Pengalaman semacam itu justru dari hal-hal sederhana, terutama dari hasil interaksi mereka dengan murid-murid dan orang-orang yang ada di sekitar mereka.

Kisah mengenai “anak nakal” yang ternyata pandai dalam mata pelajaran matematika (hal. 55) misalnya, menunjukkan bahwa anak-anak yang dianggap sebagai “preman” di kelas, terkadang memiliki kemampuan di atas rata-rata di bidang lain.

Di sinilah tugas seorang pendidik sesungguhnya. Pendidik bukanlah memberikan label buruk pada si anak, justru harus menemukan cara agar kemampuannya dapat berkembang, sekaligus mengubah perilaku yang secara umum dianggap “mengganggu”.

Hal yang serupa juga terjadi dalam kisah Syahrul Si Asisten Guru (hal. 61) yang ditulis oleh Intan nuni wahyuni, Munarsih (hal. 64) yang ditulis oleh Bayu Adi Persada, Ibu Guru Laini (hal.69) yang ditulis oleh Junarih, maupun Semua Tentang Rizky (hal. 85) yang dikisahkan oleh Dwi Gelegar G Ramadhan.

Tidak semua pengalaman yang dikisahkan dalam buku indah. Kekesalan, tekanan, bahkan rasa hampir frustrasi juga dialami oleh para pendidik muda ini. Itu semua karena berhadapan dengan siswa dan lingkungan baru selalu memunculkan masalah. Tidak mulusnya proses adaptasi adalah salah satu sumbernya.

Hal ini memperlihatkan bahwa pendidik muda tersebut memiliki titik lemah. Itulah sisi kemanusiaan. Persoalannya, apakah meraka sanggup melewatinya? Perjalanan selama setahun membuktikan bahwa mereka sanggup. Ini membuktikan bahwa integritas dan mentalitas mereka sudah teruji.

Dari setiap pengalaman yang disampaikan oleh para guru yang terlibat dalam program ini, terlihat bahwa mendidik bukan sekadar mengajarkan materi-materi pelajaran yang telah digariskan dalm kurikulum, melainkan juga menjadikan murid menemukan dirinya sendiri.

Selain itu, hal yang lebih penting adalah, usaha untuk terus menumbuhkan optimisme kepada para murid. Di tengah fasilitas serta ketersediaan dana yang terkadang serba terbatas dan tidak mencukupi, guru harus menumbuhkan semangat dan optimisme kepada para murid untuk berbuat sesuatu bagi diri maupun masa depannya.

Buku ini seharusnya menjadi inspirasi bagi guru-guru di daerah lainnya. Mendidik bukan sekadar menabungkan ide atau gagasan secara sistematis, melainkan memberikan bekal kepada mereka untuk menemukan dan mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya.***

Selasa, 13 Desember 2011

Sejarah Virtual dan Virtualitas




Judul: Virtual

Penulis: Rob Shield

Penerbit: Jalasutra

Tebal: 270 halaman

Ketika jaman menyeret setiap orang ke dunia digital, terminologi yang sering disebut adalah "virtual". Kata itu pun sering dipadukan dengan kata benda seperti "organisasi virtual", "kantor virtual", ataupun "kota virtual".

Namun kemudian terjadi kesalahkaprahan dalam memaknai virtual. Virtual seakan-akan menjadi sesuatu yang selalu terkait dengan teknologi maupun kemajuan. Padahal makna virtual tidak selalu seperti itu.

Dalam buku ini disebutkan, virtual adalah sesuatu yang riil namun tidak konkret. Ia hanya sebuah kualitas dan bukan sesuatu yang aktual. Virtual bahkan berbeda dengan abstrak.

Penulis buku ini, Rob Shields, mengungkapkan bahwa virtual merupakan sebuah kualitas yang merupakan efek dari sesuatu, namun ia bukan "sesuatu" dari yang dimaksud. Ia adalah sebuah simulasi, semacam penyimpangan dari yang aktual.

Dalam sejarahnya, virtual sudah hadir dalam lukisan-lukisan Barok yang menggambarkan sebuah peristiwa historis. Lukisan-lukisan tersebut bukanlah sebuah peristiwa historis, namun ia menghadirkannya kembali di masa kini. Oleh sebab itu, masa lalu pun digolongkan sebagai sesuatu yang virtual.

Kemudian, virtualitas pun muncul dalam peristiwa-peristiwa relijius. Dalam buku ini dicontohkan sakramen ekaristi dalam ritus agama Katolik. Roti yang digunakan dalam ritus ini adalah roti biasa. Namun di sana terjadi transubtansiasi sehingga keberadaan Kristus dipercaya hadir di situ.

Pada perkembangannya, seiring dengan perkembangan dunia komputer, virtualitas semakin mendapatkan tempat. Namun istilah virtual menjadi tumpang tindih, yakni antara yang merujuk pada skematisasi realitas atas sebuah artifak, dengan suatu ruang yang dihasilkan oleh digital oleh teknologi virtual (halaman 59). Oleh sebab itu perlu pembedaan antara realitas virtual (virtual reality) dan lingkungan virtual (virtual environment).

Buku ini juga menjelaskan sejumlah konsekuensi ataupun dampak dari virtualitas, terutama virtual environment yang dimediasikan oleh teknologi komputer dan digital. Salah satu yang disebutkan dalam buku ini adalah pekerjaan yang tervirtualisasi.

Pekerjaan yang tervirtuliasasi teleh menciptakan dehumanisasi hubungan. Ini disebabkan terjadinya pergerseran diskursif tempat bekerja. Hal ini dapat berujung pada menurunnya komunikasi antar manusia, dan bermuara pada situasi alienasi atau keterasingan.

Buku pertama-tama adalah sebuah usaha untuk meluruskan perjalananan sejarah virtualitas. Dari situ terdapat sebuah pemahaman utuh mengenai virtualitas beserta konsekuensi-konsekuensinya di era kontemporer.

Selain itu, buku ini juga mempertanyakan apakah virtualitas akan membawa masyarakat kepada sebuah halusinasi konsensual yang mengawali dehumanisasi. Atau sebaliknya, akan membawa kita pada sebuah tatanan masyarakat senantiasa inovatif dan adapatif pada penciptaan virtualitas digital global.***


Rabu, 07 Desember 2011

Satire Turisme Bali








Judul : Jangan Mati di Bali
Penulis : Gde Aryantha Soethama
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun : I, 2011
Halaman : 316 halaman
Harga : Rp. 54.000


Industrialisasi selalu membawa perubahan pada kehidupan sosial. Begitu juga dengan industri pariwisata di Bali. Di pulau nan elok itu, kesakaralan, kearifan lokal, dan pemaknaan atas spiritualitas, telah mengalami perubahan.

Apakah hal itu semata-mata karena pariwisata di Bali digenjot habis-habisan demi keuntungan. Atau karena masyarakat Bali kini lebih realistis, dalam arti mereka lebih memilih uang ketimbang nilai-nilai lokal yang sebelumnya sulit untuk diusik.

Inilah yang dipertanyakan oleh Gde Aryantha Soethama dalam kumpulan tulisannya, Jangan Mati di Bali. Tidak hanya mempertanyakan, Gde Aryantha juga melakukan kritik atas perubahan-perubahan sosial yang terjadi di Bali.

Banyak sisi mengenai Bali yang "disentuh" oleh Gde Aryantha, mulai dari adat, kesenian, makanan, wisata, hikayat, hingga polah orang Bali. Semuanya ia sajikan dalam tulisan yang ringan, santai, sesekali dibumbui humor, tanpa kehilangan daya kritisnya.

Dari apa yang diungkapkan oleh Gde Aryantha, pembaca akan melihat bahwa perubahan-perubahan dalam masyaratak telah terjadi secara memprihatinkan. Ironisnya, perubahan itu tidak disadari oleh masyarakat Bali itu sendiri.

Salah perubahan yang tertangkap oleh Gde Aryantha adalah pengabaikan kesakaralan tampat-tempat tertentu, sebut saja pantai. Dalam kosmologi masyarakat Bali, pantai adalah tempat pertemuan dengan Sang Pencipta.

Tetapi turisme telah mengubah semuanya. Keindahan pantai tempat seseorang merenungkan keagungan Sang Pencipta telah menjadi komoditi. Tidak mengherankan jika sebuah upacara suci menjadi tontonan bagi turis asing yang tengah berbikini setengah telanjang.

Ironisnya lagi, tidak jarang satpam yang membentak orang Bali yang hilir mudik di pantai dekat hotel. Padahal dia adalah orang asli Bali yang mewarisi keindahan pantai di Bali.

Kemudian soal desakralisasi kesenian Bali, misalnya saja tarian. Demi memperkenalkan tarian Bali ke publik secara luas, tarian sakral Bali dikemas dengan cara yang berbeda. Alhasil, tarian sakral penuh makna menjadi "tarian pop" yang lebih mudah dicerna dan dikonsumsi oleh publik.

Perubahan sosial karena persentuhan dengan budaya luar secara teoritis sulit untuk dihindari. Namun ini bukanlah justifikasi untuk membiarkan Bali berubah. Apalagi trend perubahan itu menjurus ke arah lenyapnya lokalitas Bali. Padahal, lokalitas tersebut merupakan daya tarik wisata.

Lewat buku ini Gde Aryantha seolah ingin mengingatkan bahwa masyarakat Bali harus mewaspadai kecenderungan-kecenderungan negatif akibat komodifikasi budaya Bali. Menyerahkan diri kepada permintaan pasar turisme jutru akan membuat persoalan kian pelik
.
Secara umum buku ini sesungguhnya menjadi peringatan bagi kawasan potensial wisata lain di Indonesia. Kekeliruan dalam menerjemahkan kebutuhan industri wisata bukan tidak mungkin akan memunculkan masalah sosial dan budaya yang kian pelik.

Sudah saatnya semua pihak yang berkepentingan memajukan wisata nasional harus memiliki strategi yang tepat. Sebuah strategi yang dapat menjawab kebutuhan persaingan wisata, tanpa mengorbankan identitas lokal yang potensial mencabut masyarakat dari akar budayanya.***



Jumat, 25 November 2011

Mengenang Romo Bowo


 

Judul: Liber Amicorum I Wibowo

Penyusun: Natalia Soebagjo (editor)

Penerbit: Komunitas Bambu, November 2011

Tebal: 224 halaman

Harga: Rp. 45.000

 

Buku ini berisi sejumlah tulisan kenangan mengenai Romo Ignatius Wibowo. Penulisnya adalah sahabat, kerabat, kakak, adik, mahasiswa hingga koleganya. Siapakah I Wibowo hingga orang perlu menulis semacam obituari untuknya?

I Wibowo adalah salah satu dari sedikit ahli China di Indonesia. Tidak mengherankan jika ia menjadi salah satu “kamus berjalan” tentang China. Ia bahkan sering menjadi “rujukan” jika seseorang ingin melakukan kajian atauy penelitian tentang China.

Saya sendiri tidak pernah mengenal secara pribadi I Wibowo. Saya hanya mengenal ia dari tulisan-tulisannya di harian Kompas dan buku-bukunya tentang China.

Dari buku ini saya dapat lebih “mengenal”—sedikit tahu—sosok rohaniawan tersebut. Ia ternyata seorang pengajar yang banyak dikenang oleh mahasiswanya, paling  tidak, karena kedisiplinannya. Soal keilmuan, jangan ditanya. Dari kesaksian para penulis dalam buku ini, kepakaran I Wibowo tidak dapat dipungkiri lagi.

Beberapa kenangan tentang I Wibowo dalam buku ini sempat saya catat, misalnya saja pria yang “gila” membaca ini adalah seorang guru yang dikagumi. Ia memang ketat dan keras dalam mendidik, namun ia dapat saja begitu cair saat berada di luar kelas. Bahkan ada kesaksian yang menyebutkan bahwa dosen ini  rela memberikan bantuan kepada mahasiswa yang memerlukan bantuannya.

Romo Bowo, begitu sebagian orang memanggilnya karena ia seoran pastor, memang bersikap terbuka, cair, penuh toleransi. Ia tidak segan atau sungkan bergaul dengan siapa saja. Bahkan dengan orang-orang dengan orientasi relijius yang berbeda pun ia masih dapat bergaul dengan akrab.

Dari buku ini kita dapat lebih tahu banyak sisi tentang I Wibowo. Sebagian dari cita-citanya, gagasan, bahkan kegelisahannya. Bahkan kecemasan menghadapi kematian hingga kepasrahannya kepada Sang Khalik pun ia sempat ungkapkan. Ini  dapat kita lihat dari ungkapan beberapa penulis dalam buku ini.

Kehadiran buku ini membuktikan, “gema” mereka yang berarti bagi orang banyak, tak hilang bahkan ketika ia telah tiada.***

 

 

 

 

 

Kamis, 17 November 2011

Di Balik Klab Para Jawara Bulutangkis





Judul: Baktiku Bagi Indonesia


Penulis: Broto HAppy W


Penerbit: Penerbit Buku Kompas, 2011


Halaman: 498 halaman


Harga: Rp. 150.000



Kamis, 10 November 2011

Senja Peradaban Citarum




Judul : Ekspedisi Citarum
Penulis : Tim Kompas
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Terbit : I, September 2011
Halaman : xxiii + 358 Halaman
Harga : Rp. 48.000.


Deforestasi atau pengurangan lahan hutan di hulu sungai sudah menjadi persoalan lama di Indonesia. Sungai-sungai besar di pulau-pulau utama di Indonesia mengalami hal yang sama.

Jika otoritas terkait tidak mengambil langkah cepat, maka masa depan sungai bakal terancam. Jika wilayah sekitar sungai disebut awal peradaban, maka peradaban manusialah yang terancam.

Buku ini mengetengahkan persoalan-persoalan yang tengah dihadapi oleh Citarum. Sungai yang mengalir sepanjang 269 kilometer itu, ternyata telah telah lama mengidap "penyakit" kronis.

Air yang terkontaminasi bahan kimia berbahaya, adalah sebagian kecil penyakit kronis yang diderita oleh sungai dengan berbagai mitos itu. Belum lagi limbah rumah tangga maupun industri yang terus mengalir menuju Citarum.

Di bagian hulu saja misalnya, masih sekitar 700 meter dari danau Situ Cisanti, sungai yang menggerakkan turbin bendungan Jatiluhur, Saguling dan Cirata tersebut, sudah tercemar oleh limbah kotoran ternak sapi. Padahal aliran air sungai masih jernih di situ.

Hal ini diperparah dengan semakin berkurangnya vegetasi yang dapat menahan resapan hujan di sepanjang Citarum. Salah satu penyebabnya ialah berubahnya fungsi hutan, dari penahan resapan air menjadi lahan pertanian yang dikelola tanpa memerhatikan perubahan fungsi ini.

Di bagian lebih ke hilir, kondisinya lebih parah. Limbah industri tekstil, mengalir sepanjang siang dan malam menuju Citarum. Tidak mengherankan jika warna air sungai ini berubah di bagian hilir karena zat kimia. Hal ini jelas-jelas akan mengancam keberadaan ekosistem sungai.

Penyebabnya, pengelola industri tekstil tidak peduli terhadap lingkungan. Ini terbukti dengan dilanggarnya peraturan untuk melakukan pengolahan air limbah sebelum dialirkan ke sungai.

Tak ayal, sekitar 270 ton air limbah memasuki Citarum setiap harinya. Ini belum terhitung pabrik tekstil yang secara sembunyi-sembunyi membuang limbahnya pada malam hari lewat saluran air menuju sungai. Selain mencemari sungai, limbah ini telah mengganggu lingkungan sepanjang saluran air.

Dengan demikian beban Citarum kian berat. Limbah dan sampah yang dibawa anak-anak sungai Citarum menambah beban ini. Akibatnya, sungai yang seharusnya dapat memberikan kehidupan bagi penduduk Jawa Barat hingga Jakarta, terancam punah.

Persoalan paling mendasar dari semua ini adalah kurangnya pemahaman masyarakat terhadap arti penting Citarum. Sosialisasi setengah hati dari pihak terkait telah mendorong percepatan disfungsi sungai.

Pemulihan Citarum tidak dapat dilakukan dalam semalam. Butuh proses yang panjang untuk membenahi kerusakan yang terjadi merata dari hulu ke hilir. Hanya kemauan kuat dari pemegang otoritas yang dapat mengubah keadaan ini.

Selain laporan mengenai kondisi Citarum, buku ini juga mengungkapkan sejumlah potensi daerah. Sebut saja usaha comring (comro kering) di Cimahi yang dapat memberdayakan perempuan di wilayah tersebut.

Ekspedisi Citarum bukan sekadar laporan mengenai kondisi lingkungan hidup, melainkan juga sebuah renungan mengenai mengenai peradaban yang eksistensinya terancam.***

Dimuat di HU Koran Jakarta, 17 November 2011

Jumat, 04 November 2011

Pengalaman Unik dan Jenaka Wartawan Bandung



Judul: Pistol dan Pembalut Wanita (trik dan Pengalaman Liputan)
Penyunting: Enton Supriyatna dan Taufik Abriansyah
Penerbit: Forum Diskusi Wartawan Bandung (2007)
Halaman: xi + 300 halaman

Sosok wartawan sering terkesan “serius” dan “kritis”. Tidak heran jika banyak orang yang “alergi” terhadap wartawan, terutama pejabat yang punya masalah tertentu, sebut saja masalah hukum.

Namun di buku ini, kesan tersebut sedikit-banyak, ditepis. Pasalnya lewat kumpulan pengalaman wartawan di Bandung ini, wartawan tampak sebagai pribadi yang cair, terbuka, bahkan jenaka tanpa kehilangan sikap kritisnya.

Buku berujudul Pistol dan Pembalut Wanita ini berisi puluhan catatan pengalaman ringan mengenai tugas-tugas jurnaliastik mereka di lapangan. Penulisnya wartawan dari berbagai media, baik elektronik maupun cetak, yang bertugas di Kota Kembang tersebut.

Pengalaman-pengalaman yang mereka ceritakan memang unik, menarik, penuh romantisme, berbau mistis, bahkan lucu. Dari situ pembaca dapat belajar bagaimana seorang wartawan sebaiknya melakukan tugas sebagai pewarta.

Salah satu kisah menarik yang disampaikan dalam buku ini adalah Interview Sambil Hajat Kecil yang ditulis oleh Taufik Abriansyah, wartawan Majalah Nebula.

Dalam tulisannya Taufik mengisahkan wawancaranya dengan Sofyan Lubis yang saat itu menjabat sebagai Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Menariknya, wawancara itu terjadi terjadi di tempat khusus, namun di kamar kecil.

Ceritanya, ketika menunggu Sofyan Lubis memberikan seminar, Taufik masuk ke dalam kamar mandi untuk melepaskan hajat kecilnya. Pada saat yang bersamaan ia juga melihat sosok yang sedang mengambil posisi yang sama untuk buang air kecil. Sosok itu adalah Sofyan Lubis.

Tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, Taufik pun langsung menanyakan pendapat Sofyan Lubis mengenai “wartawan bodrex” (wartawan tanpa surat kabar yang jelas dan berkecenderungan mengambil keuntungan pribadi) yang marak bermunculan. Alhasil wawancara dilakukan dalam posisi tersaebut.

Lain lagi dengan cerita Irfan, wartawan harian Republika. Ketika tengah melepas kepenatan bersama istri dengan kendaraan roda duanya di jalanan kota BANDUNG, ia dikejutkan oleh raungan ambulan yang diikuti oleh dua buah bus.

Instingnya sebagai wartawan mencium sesuatu. Ia menduga ada pejabat yang meninggal dunia. Demi mendapatkan berita, ia mengikuti rombongan ambulan yang melaju kencang tersebut hingga akhirnya memasuki halaman Gedung Sate. Begitu ambulan terhenti Irfan langung menanyakan siapa yang telah meninggal kepada sopir ambulan.

Dari sopir ambulan terdapat keterangan bahwa tidak ada pejabat yang meninggal. Lalu kenapa ia membunyikan sirinenya? Menurut si sopir ambulan, sirine ambulan dibunyikan untuk menggantikan pengawalan polisi yang hari itu tidak dapat mengawal.

Saat itu ambulan memang tengah “mengawal” rombongan teladan dari berbagai kota dan kabupaten untuk mengikuti gladi bersih upacara peringatn 17 Agustus. Gagal sudah Irfan memperoleh berita eksklusif tentang pejabat yang meninggal.

Ada banyak kisah yang menarik untuk diikuti oleh pembaca dalam buku ini. Memang kisah ringan, namun dari sini pembaca bisa mengetahui banyak hal yang terjadi di balik sebuah berita.***


Senin, 24 Oktober 2011

Revolusi Proletar di Negara Marxis



Judul: Negara Marxis dan Revolusi Proletariat
Penulis: Nur Sayyid Santoso Kristeva
Penerbit: Pustaka Pelajar Yogyakarta
Harga: Rp. 175.000



Tewasnya diktator Muammar Qadhafi disebut-sebut sebagai puncak dari revolusi Libya. Benarkah ini revolusi sosial, ataukah sebuah gerakan yang didorong oleh kekuatan eksternal tertentu.

Teori-teori dalam buku ini dapat dijadikan pisau analisa untuk menjawab pertanyaan di atas. Dengan berbagai teori yang digagas oleh Karl Marx, pembaca dapat melihat bagaimana sesungguhnya anatomi revolusi.

Bagi Karl Marx, negara adalah lembaga yang reperesif. Lembaga ini ditungganggi oleh kelas menengah dan kaum borjuis demi kapital. Akhirnya, negara menjadi penindas yang efektif untuk melanggengkan kekuasaan kaum borjuis.

Oleh sebab itu, menurut Marx, negara merupakan penjelmaan pertentangan kekuatan ekonomi. Negara digunakan oleh pemilik alat-alat produksi, untuk menindas golongan yang lemah secara ekonomi.

Oleh sebab itu, perlu sebuah revolusi sosial untuk mengubah hal tersebut. Revolusi ini merupakan sebuah cara yang untuk mengubah tendensi eksploitatif negara. Hanya dengan revolusi saja perubahan mengakar dapat terjadi.

Lalu, apakah hakikat revolusi? Menurut Marx, revolusi sendiri tidak semata-mata perubahan yang terjadi secara cepat. Revolusi, sebagai perubahan sosial yang sangat mendasar, tidak menyisakan apa pun dari keadaan sebelumnya.

Revolusi harus menyangkut perubahan yang sangat fundamental, menyeluruh dan bersifat multidimensional. Di sini, seluruh sendi politik, hukum hingga pemerintahan, digantikan secara radikal.

Persoalannya, siapa yang harus melakukan revolusi sosial? Bagaimana revolusi itu harus berjalan? Apa saja syarat-syarat revolusi? Buku ini menggambarkan hal ideal mengenai hal-hal tersebut.

Dalam buku in disampaikan bahwa kelas proletarlah yang harus melakukan revolusi. Kelas proletar adalah kelompok yang tersingkirkan, termiskinkan oleh sistem ataupun organisasi kontemporer dan produksi industri (hal. 515).

Revolusi menjadi pilihan karena Marx yakin bahwa perbaikan kelas tertindas tidak dapat dilakukan hanya dengan kompromi. Hal yang dapat dilakukan adalah melakukan perjuangan kelas.

Lalu bagaimana kesadaran kolektif kelas dapat terakumulasi untuk mencapai kondisi matang untuk revolusi? Buku memberikan jawabannya. Hal itu terjadi manakala kaum buruh proletar berada dalam keadaan kondisi yang kurang manusiawi secara kolektif.

Jika kekuatan ini terkonsentrasi dengan jaringan komunikasi yang memadai, maka ia akan menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Kata Marx, semakin menderita dan tertekan kaum proletar, semakin cepat pula masyarakat kapitalis menemukan ajalnya
.
Namun buku ini menyampaikan pula kritik terhadap pemikiran Marx. Penulis buku menyampaikan pemkiran Tom Bottomore. Menurutnya, ada dua faktor yang telah dilupakan Marx dalam kaitannya dengan revolusi, yakni faktor non-kelas.

Faktor non-kelas tersebut diantaranya ialah agama dan nasionalisme. Menurut Bottomore kedua faktor ini potensial menimbulkan revolusi. Ia mencontohkan Revolusi Islam di Iran yang terjadi pada tahun 1977-1979.

Buku ini telah memberikan sebuah cakrawala baru mengenai hakikat serta sisi filsafati revolusi. Bukan untuk membakar revolusi, namun untuk memahami peta dan roh dari revolusi itu sendiri.***

Rabu, 19 Oktober 2011

Melacak Jejak Kebudayaan Lewat Komik



Judul: Panji Tengkorak, Kebudayaan dalam Perbincangan
Penulis: Seno Gumira Adjidarma
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun: 2011

Dari sebuah artifak budaya dapat dilihat bagaimana sebuah kebudayaan berlangsung. Artinya, kompleksitas budaya dapat dilihat dengan melakukan pembacaan terhadap artifak ataupun teks. Berbagai kekuatan maupun kekuasaan yang melatari sebuah budaya dapat ditelusuri lewat proses ini.

Begitu pula dengan komik. Komik sebagai sebuah artifak yang lahir dalam sebuah masyarakat, diyakini merepresantasikan kedalaman sebuah budaya. Ia tidak hanya sebuah karya seni, melainkan juga sebuah sejarah panjang ideologis, termasuk komik Indonesia.

Dikatakan sejarah panjang karena tidak ada satu pun komikus Indonesia, terutama komikus di tahun 1960-an hingga tahun 1970-an. yang membuat komik tanpa mempelajari gagasan, cara bertutur, gaya maupun teknik menggambar dari berbagai macam komik yang memasuki Indonesia, misalnya saja komik Amerika.

Hal ini memperlihatkan bahwa komik-komik asing memengaruhi perkembangan komik Indonesia. Jika ini dikaitkan dengan dinamika pemasaran, ataupun tarikan ideologi maupun politik identitas kekuasaan, maka komik Indonesia menjadi sebuah wilayah pertarungan ideologi.

Dalam buku ini, Seno Gumira ingin membuktikan hal itu lewat risetnya atas komik Indonesia. Untuk itu ia mengambil pilihan komik Panji Tengkorak. Panji Tengkorak karya Hans Jaladara pernah populer di tahun 1960-an.

Komik ini kemudian mengalami perubahan dalam setiap penerbitan ulangnya, baik dari segi visual maupun tekstual. Perubahan itu terjadi pada tahun 1985 dan tahun 1996. Dengan begitu, komik Panji Tengkorak yang ditampilkan sebagai perbandingan ialah komik dengan tahun terbitan 1968, 1985 dan 1996.

Kajian budaya yang dilakukan oleh Seno ini adalah sebuah strategi untuk membongkar aneka tarikan ideologi yang terdapat di dalamnya. Bahkan pergulatan sang autor pun dapat ditelusuri dengan metode kajian budaya ini.

Dari “pembacaan” terhadap ketiga komik tersebut, ada sejumah catatan yang dihasilkan Seno. Pertama komik adalah sebuah konstruksi realitas. Artinya dalam Panji Tengkorak terdapat tanda-tanda yang mengacu pada realitas, yakni jejak kebudayaan itu sendiri.

Komik juga berusaha melepaskan diri pembebanan wacana dominan dan pengalamiahan kebudayaan. Sebab pada dasarnya kebudayan adalah proses yang dirancang, dan bukan terjadi dengan sendirinya.

Selain itu, yang menarik, dari komik Panji Tengkorak adalah, dapat diketahuinya identitas serta kompleksitas sang pengarang, yakni Hans Jaladara, yang bernama asli Liem Tjong Han.

Dalam komik Panji Tengkorak, Hans Jaladara memang terkesan anonimistik, enggan menyebutkan identitasanya sebagai keturunan Tionghoa. Barangkali ini diakibatkan iklim diskriminatif tethdap kaum keturunan Tionghoa.

Namun, ditemukannya istilah maupun penamaan terhadap jurus silat tertentu, tampaklah isyarat bahwa pembuat komik Panji Tengkorak dekat dengan kultur Tionghoa.

Dari buku ini dapat terlihat bahwa pelacakan jejak budaya lewat kajian budaya, dapat diketahui bagaimana sebuah budaya terbetuk, serta bagaimana ideologi serta kepentingan saling bertarung di dalamnya.***


Minggu, 09 Oktober 2011

Pemaknaan Hidup Jakob Oetama



Judul: Syukur Tiada Akhir
Penulis: St. Sularto
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Terbit: September 2011
Halaman: 669

Kepekaan terhadap realitas, ketajaman menganalisa, kekritisan melihat fenomena, dan kejernihan dalam berpikir, merupakan hal yang harus dimiliki wartawan. Jika tidak, ia tidak dapat berbuat banyak untuk kemanusiaan.

Itulah yang berkali-kali ditekankan oleh Jakob Oetama. Bagi tokoh pers yang lebih dari setengah abad membuktikan kesetiaannya terhadap profesi jurnalistik itu, tugas wartawan adalah kesetiaan pada obyektivitas, kebenaran dan pembangunan manusia.

Bagaimana idealisme itu terbentuk? Dalam buku ini dijelaskan, latar belakang pendidikannya di seminari, persentuhan dengan sastra Barat, serta pertemuan dengan filsafat telah menjadi ladang persemaian kepekaan dan orientasi nilainya dalam menjalankan profesi wartawan.

Bagi Jakob, pers harus bertindak bijaksana dalam masyarakat yang terus berubah. Pers harus dapat melihat gejala-gejala dan kecenderungan-kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat.

Dengan begitu, pers dapat memberikan sumbangan yang maksimal bagi masyarakat. Sebab, esensi pers ataupun media massa adalah manusia dan peristiwa kemanusiaan. Jadi, pilihan orientasinya pun harus kemanusiaan.

Baginya, pers juga harus menjadi wahana dialog antara pemerintah dan masyarakat. Tujuannya, agar pembangunan terus bergerak maju, serta dapat menjaga terselenggaranya demokrasi yang sehat.

Terkait hubungan antara pers dan kekuasaan, Jakob sempat diancam oleh pemerintah untuk menghentikan kegiatan surat kabar yang dipimpinnya. Ini terjadi pada 5 Februari 1978. Harian itu, Kompas, boleh terbit kembali jika Jakob mau menandatangani surat permintaan maaf dan kesetiaan terhadap pemerintah.

Butir yang termasuk dalam kesetiaaan tersebut diantaranya adalah tidak mempersoalkan Dwi Fungsi ABRI, tidak menurunkan berita yang memperuncing konflik, dan tidak menulis tentang asal-usul kekayaan Presiden Soeharto (hal. 24). Dengan berat hati, Jakob menandatangani surat tersebut. Hal ini mengundang pro dan kontra.

Namun Jakob punya alasan. Pertama, dengan sikap yang terkesan kompromistis itu, ia masih dapat berbuat sesuatu untuk masyarakat. Jika media sudah menjadi mayat, ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi, begitu ia mengistilahkan.

Kedua, saat itu ia memikirkan hidup 2.000 karyawannya yang bergantung kepada harian itu Belum lagi mereka yang secara tidak langsung memperoleh berkah dari terbitnya harian Kompas seperti agen koran ataupun pengecer koran.

Jika saja hari itu Jakob mengikuti kehendak PK Ojong, salah satu pendiri Kompas, untuk tidak menandatangani surat itu, mungkin sejarah pun berbeda. Barangkali harian itu kini tinggal sejarah.

Namun, bagi sosok yang lebih senang disebut wartawan ketimbang pengusaha itu, apa yang ia lakukan saat itu bukanlah semata-mata hasil keputusannya, namun karena penyelenggaraan Allah (providentia dei). Itu sebabnya Jakob menekankan perlunya untuk bersyukur tiada henti untuk semua yang telah terjadi.

Buku ini tidak hanya berisi bagaimana wartawan harus menjalankan profesinya, namun juga bagaimana setiap orang harus memaknai segala peristiwa dan pencapaian dalam hidupnya sebagai anugerah dan berkat dari yang di Atas.***