Rabu, 15 Februari 2012

Paradok Superioritas Laki-laki




Judul: Cerita Cinta Enrico
Penulis: Ayu Utami
Penerbit:Kepustakaan Populer Gramedia

Terbit: Februari, 2012
Harga: Rp. 42.000

Alam pikiran setiap individu sangat kompeks. Namun kompleksitas tersebut tidak terbentuk dengan sendirinya. Selalu ada dinamika eksternal yang ikut membantuknya. Lingkungan keluarga, pendidikan, perjumpaan dengan nilai-nilai religi, serta ragam peristiwa yang dicerap secara inderawi, adalah faktor yang ikut memberikan sumbangan terhadap kompleksitas tersebut.
Novel ini memang bukan novel psikologis. Namun plot yang ada memperlihatkan bahwa latar belakang seorang individu sangat memengaruhi alam pikiran, orientasi serta cara orang tersebut merespon lingkungannya.
Tokoh dalam novel ini, Enrico, adalah seorang individu yang mengagumi sosok sang ibu. Ia percaya bahwa ibunya memiliki kelebihan dari wanita kebanyakan di jamannya. Di matanya sang ibu memiliki citra yang modern, cantik, modis, dan memiiki wawasan yang patut untuk dibanggakan.
Namun citra itu perlahan memudar. Pertama karena sang ibu menganut sekte Saksi Yehova. Anggota sekte ini yang memercayai kiamat yang kian dekat, dan pengingkaran terhadap berbagai jenis kesenangan dunia. Hal ini berbeda dengan ajaran yang ia terima dari sang ibu sebelumnya.
Hal-hal inilah yang kemudian menyisakan berbagai perenungan dan pertanyaan bagi Enrico. Pergulatan serta konflik batin harus terjadi pada masa remajanya. Hal ini kemudian melahirkan sebuah pemberontakan pada diri Enrico.
Pemberontakan yang pertama-tama muncul dalam diri Enrico adalah tidak mengikuti ajaran baru ibunya. Meskipun sang ibu acap kali mengajak Enrico mengikuti perkumpulan tersebut, namun pada akhirnya Enrico memutuskan untuk tidak mengikuit ajaran tersebut.
Pemberontakan berikutnya ini terlihat dari cara ia memilih sekolah. Ia tidak mau melanjutkan kuliah di kota kelahirannya, melainkan di Kota Bandung untuk belajar teknik. Hal ini membuat gusar hati sang ibu, sebab ia menginginkan Enrico menuruti kata-katanya.
Pemberontakan berikutnya terjadi saat memutuskan untuk memutuskan untuk menjadi seorang fotografer. Secara umum hal ini memang aneh, seorang yang belajar teknik di perguruan tinggi, namun memutuskan untuk menjadi fotografer.
Hal sama terjadi dengan kehidupan percintaan Enrico. Ia memang kerap mencintai perempuan. Namun ia tidak mencari istri, hanya mencari seseorang yang dapat mengerti dirinya. Belakangan diketahui, sosok yang ia ingin cari dalam hidupnya adalah perempuan yang dapat menggantikan sosok sang ibu.
Pada bagian ini Ayu Utami ingin memperlihatkan bahwa pengaruh perempuan dalam kehidupan laki-laki sangat besar. Dengan kata lain, di balik seorang lelaki selalu ada sentuhan atau “hasil polesan” sosok perempuan.
Selain itu, Enrico yang selintas tampak seperti laki-laki yang memiliki kehendak bebas dan memiliki kemerdekaan untuk melakukan apa yang ia inginkan, di sisi lain ia juga seorang yang memiliki ketergantungan pada perempuan. Ini merupakan sebuah ironi. Dengan kata lain, kemerdekaan laki-laki justru merupakan sebuah paradoks.
Lewat novel ini Ayu Utami seperti ingin menggugat superioritas laki-laki. Baginya superioritas tersebut tidak lain merupakan imajinasi kultural, yang harus terus-menerus dipertanyakan dan dibongkar.***

Catatan:
Tulisan ini telah dibajak oleh seseorang hingga termuat di sebuah harian terkemuka di Jakarta. Cek: http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/89046

Selasa, 07 Februari 2012

Kretek Indonesia dalam Ancaman




Judul: Membunuh Indonesia, konspirasi global Penghancuran Kretek
Penyususn: Abhisan DM, Hasriadi ary, Miranda Harlan
Penerbit: Katakata
Halaman: 157 Halaman
Terbit: Desember, 2011

Pendapatan negara dari cukai kretek selalu naik setiap tahunnya. Ironisnya, kampanye untuk memusuhi kretek kian gencar. Kemudian, berbagai peraturan diberlakukan agar ruang bagi penikmat kretek semakin sempit. Pertanyaan yang muncul, adakah agenda tersembunyi dari dinamika ini?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, buku ini mencoba membahas wilayah-wilayah yang memiliki kaitan dengan kretek. Dari situ tampak bagaimana letak strategis kretek terhadap budaya maupun ekonomi Indonesia, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan.

Dari hasil pengamatan, ada sinyalemen kuat yang menunjukkan adanya usaha untuk melemahkan industri tembakau dan kretek Indonesia. Pertama-tama hal itu terlihat dari sejarah industri beberapa komoditi, seperti minyak kelapa, gula, garam, hingga jamu.

Awalnya komoditi-komoditi tersebut memiliki makna ekonomis. Namun, karena kampanye global yang dilakukan oleh negara-negara maju, perlahan-lahan industri tersebut meredup. Menurunnya pendapatan negara, serta nasib pilu petani yang menjadi ujung tombak penghasil bahan baku, adalah kenyataan pahit yang harus ditelan.

Salah satu contoh yang disampaikan lewat buku ini adalah kampanye untuk memperburuk citra minyak kelapa di Amerika Serikat. Hal ini terus menyebar ke seluruh dunia. Akhirnya tumbuh keyakinan bahwa minyak kelapa asal Indonesia berbahaya bagi kesehatan.

Hal yang sama terjadi juga dengan industri kretek. Lembaga dunia yang paling gencar mengampanyekan anti tembakau adalah WHO (World Health Organization). Namun belakangan diketahui, kampanye tersebut didukung oleh perusahaan yang memroduksi obat-obatan penghenti kebiasaan merokok (hal. 109).

Sinyalemen berikutnya adalah, hadirnya regulasi anti-tembakau seperti Udang-undang Kontrol Tembakau di Amerika Serikat, yang melarang penjualan rokok yang mengandung zat adiktif seperti cengkeh. Anehnya, regulasi ini tidak menyentuh produksi dan peredaran rokok mentol yang diproduksi di Amerika Serikat.

Untuk membatasi impor tembakau ke dalam negeri, Amerika Serikat juga membebani bea masuk yang sangat tinggi bagi produk tembakau. Bahkan kretek pun dilarang masuk, termasuk dari Indonesia. Sementara itu, perusahaan rokok terbesar di negeri itu, melebarkan sayapnya di luar negeri dengan mencaplok perusahaan rokok di puluhan negara. Ini adalah cara untuk melindungi industri tembakau dalam negeri Amerika Serikat.

Lebih jauh, kelompok-kelompok yang didanai korporasi multinasional ikut membatasi petani untuk menanam tembakau. Alhasil, Indonesia tidak kuasa membatasi impor tembakau. Sekali lagi, ini memperlihatkan bahwa negara-negara maju memang memiliki kepentingan dengan industri tembakau.

Muaranya, industri kretek dalam negeri mengalami ancaman. Ini tidak hanya akan memengaruhi pendapatan dari cukai rokok, melainkan juga meningkatnya jumlah pengangguran. Pasalnya, industri kretek adalah salah satu industri yang banyak menyerap tenaga kerja.

Jika hal ini tidak ditanggapi secara serius, industri kretek nasional yang pernah mengalami masa keemasan, akan bernasib sama dengan industri lain yang kini hanya menyisakan jejak kecil. Itu sebabnya lembaga dan otoritas terkait perlu melakukan sesuatu untuk mencegahnya.***