Selasa, 18 Januari 2011

Perempuan Kulit Putih pada Masa Pendudukan Jepang


Judul : Fifty Years of Silence
Penulis : Jan Ruff-O’Herne
Penerbit : Elexmedia Komputindo
Terbit : I, Januari 2011
Halaman : 322 Halaman
Harga : Rp.54.800.
Masa pendudukan Jepang di Indonesia meninggalkan kenangan pahit. Salah satunya adalah kekerasan fisik, mental dan seksual terhadap perempuan. Bayangkan saja, pasukan Jepang di sejumlah tempat mengumpulkan perempuan untuk dijadikan budak seks secara biadab.

Bukan hanya perempuan berkebangsaan Indonesia saja yang menjadi korban, namun juga perempuan berkebangsaan Belanda ataupun mereka yang berdarah campuran. Sebagai pihak yang dikuasai oleh Jepang, para perempuan ini pun dihilangkan hak-haknya, dilucuti keistimewannya, dan berbalik menjadi korban dengan pengalaman traumatiknya.

Buku Fifty Years of Silence (Lima Puluh Tahun Kebisuan) ini, merupakan salah satu contoh penderitaan yang dialami perempuan berkebangsaan Belanda ketika Jepang berkuasa. Mereka hidup dalam ketakutan, ancaman hingga teror mental tdak terlupakan.

Adalah Jan Ruff-O’Herne, perempuan berdarah Perancis dan Belanda. Ia lahir dan dibesarkan di Indonesia. Ayahnya yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan kolonial, telah membuatnya menikmati kehidupan yang serba nyaman, mudah, dan menyenangkan.

Sayang, semua itu lenyap ketika Jepang berkuasa di Indonesia. Bahkan kemudian ia bersama ibu dan adik-adiknya dibawa oleh tentara Jepang ke sebuah penampungan di Ambarawa sebagai tawanan.

Di kamp inilah ia dan tawanan lain mengalami penderitaan yang hebat. Ketika kekurangan makanan misalnya, mereka terpaksa mencuri tulang ayam dari tempat sampah untuk djadikan sup kaldu ayam. Terkdang mereka berburu tikus untuk memenuhi kebutuhan makanan.

Dari kamp di Ambarawa Jan dan sejumlah perempuan muda lainnya dibawa ke Semarang dan ditempatkan di sebuah rumah. Rumah itu diberi nama Rumah Tujuh Samudera. Di rumah itulah mereka mulai mengalami pemerkosaan serta kekerasan seksual lainnya. Semua itu dilakukan oleh tentara Jepang.

Jan akhirnya dapat lepas dari rumah penampungan tersebut. Bahkan kemudian ia menikahi orang yang mencintainya. Namun itu bukan akhir dari kisah Jan. Sebab puluhan tahun kemudian ia menghadapi dilema.

Di satu sisi ia terdorong untuk membeberkan masa lalunya secara luas. Namun pada saat bersamaan itu juga berarti ia harus membuka kisah kelamnya kepada anak-anak, cucu, dan orang-orang terdekatnya

Hal itu terjadi ketika sejumlah perempuan dari Asia mulai mengungkapkan kebiadaban tentara Jepang di muka publik internasional. Mereka adalah perempuan yang menjadi korban kekejaman tentara Jepang.

Didorong oleh keinginan untuk mendukung usaha perempuan dari negara-negara lain yang menyuarakan kebenaran, akhirnya Jan bersedia membuka kisahnya kepada dunia. Hal ini disambut baik oleh lembaga-lembaga yang menyuarakan gugatan dan tuntutan kepada pemerintah Jepang atas apa yang dilakukannya di masa lalu.
Buku ini sesungguhya bukan sekadar mengisahkan upaya perempuan yang menjadi korban kebr
utalan tentara Jepang untuk menyuarakan kebenaran, melainkan juga sebuah kisah mengenai keberanian, kesabaran, ketabahan serta pengharapan seorang perempuan kulit putih dalam melewati masa-masa paling sulit dalam hidupnya.***

Tidak ada komentar: