
Judul: Haji Nekat
Penulis: Haji Bahari
Halaman: 494 halaman
Penerbit: Pena Semesta
Terbit: I, Maret 2012
Kumpulan resensi buku berbahasa Indonesia, baik yang sudah maupun belum dimuat di media massa cetak. Beragam resensi buku ada di sini, sastra, kebudayaan, politik, filsafat, sosiologi dan sebagainya. Semua resensi ditulis oleh pemilik blog ini.
Judul : Brand Gardener
Penulis : Handoko Hendroyono
Penerbit : Literati
Tebal : 342 halaman
Terbit : I, Maret 2012
Perubahan-perubahan yang terjadi di berbagai bidang, telah memaksa praktisi komunikasi pemasaran untuk meresponnya dengan cepat. Jika tidak, kematian sebuah produk ataupun brand yang sedang ditangani, akan datang lebih cepat.
Persoalannya, gejala apa yang harus ditangkap? Lalu, bagaimana dan dimana gejala-gejala itu bisa ditangkap? Apa yang harus dilakukan oleh seorang praktisi komunikasi pemasaran untuk menanggapi isu-isu kontemporer di dunia marketing?
Buku berjudul Brand Gardener ini memberikan inspirasi bagi pembaca untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Penulisnya mengetengahkan berbagai fenomena serta fakta hasil pengamatan secara acak yang dapat mendorong praktisi komunikasi untuk memikirkan ulang cara mereka berkomunikasi kepada pasar.
Salah satu hal yang disampaikan alam buku ini adalah insight, yakni informasi yang diterima oleh seorang praktisi komunikasi pemasaran untuk menentukan formulasi ataupun bentuk komunikasi yang paling tepat.
Bagi penulis buku ini, insight adalah hal yang harus terus digali jika menginginkan sebuah komunikasi yang efektif. Semakin kaya insight yang dimiliki, semakin mudah formulasi komunikasi dibentuk.
Lalu bagaimana insight didapat? Dengan mencermati dan mengamati segala hal yang terjadi di sekitar. Kecenderungan komunitas tertentu dalam berperilaku, pola golongan tertentu dalam menggunakan uangnya, hingga culture trend di kalangan kelompok masyarakat, merupakan insight yang dapat dicermati di lingkungan.
Insight yang kaya dan berwarna tidak mungkin didapat hanya dengan melakukan perenungan di kamar ataupun melakukan perdebatan di dalam ruang meeting, namun seseorang harus melangkah keluar dan melihat fenomena yang ada.
Praktisi komunikasi tidak bisa tinggal diam, ia harus terus mencari, melihat semua gejala, merumuskan persoalan, melakukan simplifikasi realitas sehingga dapat melakukan komunikasi yang tidak hanya efektif, melainkan yang dapat menularkan kebaikan.
Mengapa kebaikan? Karena banyak kegiatan komunikasi pemasaran yang dianggap mendorong orang untuk konsumtif, melakukan pemborosan, bahkan menipu. Akibatnya perlu dilakukan sebuah upaya untuk mengubah persepsi ini. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menebarkan kebaikan lewat program komunikasi pemasaran yang dilakukan.
Buku ini berupaya mendorong pembaca untuk menangkap peristiwa-peristiwa sederhana yang seringkali luput dari pengamatan. Alasannya, peristiwa tersebut merupakan sumber insight yang tidak pernah kering untuk dieksplorasi.
Tak hanya itu, buku ini juga ingin memperlihatkan bahwa memahami audiens adalah hal yang seharunya pertama kali dilakukan. Memahami bagaimana audiens berinteraksi, bersosialisasi, serta berkepresi, adalah hal esensial sebelum merancang sebuah bentuk komunikasi pemasaran.
Kelebihan buku ini ialah gaya penulisannya yang santai dan tanpa kesan menggurui. Meskipun di sana-sini acap muncul terminologi pemasaran maupun periklanan, buku ini tetap dapat dikonsumsi secara ringan bagi siapa saja.
Gaya "bercerita" yang digunakan, membuat buku lebih dari sekadar menyampaikan kisah, melainkan juga seakan mengajak kita berjalan-jalan di taman komunikasi pemasaran yang dipenuhi kuncup-kuncup kreativitas.***
Judul : Gempa Literasi, Dari Kampung untuk Nusantara
Penulis : Gol A Gong dan Agus M Irkham
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal : xvi + 519 halaman
Terbit : I, Februari 2012
Persoalan literasi atau keberaksaraan bukanlah minimnya jumlah warga negara yang melek huruf. Namun bagaimana mereka sapat melibatkan “aksara” secara aktif, untuk memperkaya wawasan, menambah pengetahuan, hingga membuat kualitas hidupnya lebih baik.
Sayangnya, dari berbagai temuan, tingkat literasi masyarakat memang masih rendah. Apalagi jika hal tersebut dikaitkan ataupun disandingkan dengan tingkat kemiskinan. Artinya, tingkat melek huruf yang terus meningkat di Indonesia, tidak membawa perubahan pada angka kemiskinan.
Inilah salah satu kondisi yang mendorong berdirinya berbagai gerakan literasi di masyarakat. Gerakan yang muncul tidak hanya merangsang masyarakat untuk mendapatkan kesempatan mengakses bacaan yang bermanfaat serta kaya, melainkan juga dapat memanfaatkan bacaan tersebut untuk mengembangkan dirinya. Namun niat ini tidak selalu berhasil.
Buku ini mencoba memberikan gambaran sejumlah situasi yang membuat gerakan literasi terhambat. Salah satunya ialah kesadaran para birokrat, misalnya saja pemerintah kota, terhadap arti penting perpustakaan. Ketidakpahaman pemerintah kota terhadap manfaat jangka panjang sebuah perpustkaan, membuat mereka lebih senang memberikan ijin pembukaan mal, ketimbang menambah koleksi judul buku di perpustakaan. Bandingkan saja, berapa jauh perbedaan tingkat pertumbuhan mal ataupun pusat belanja di Jakarta, dengan pendirian perpustakaan daerah.
Di sini, perpustakaan dearah yang memang tidak memberikan dampak langsung terhadap pendapatan derah, dianggap tidak penting. Mereka menganggap perpustakaan hanya akan menambah pengeluaran, tanpa menghasilkan pendapatan. Akhirnya, sebuah kota hanya menjadi pusat belanja ketimbang pusat edukasi.
Apalagi sebuah perpustakaan yang ideal tidak hanya harus menambah koleksi buku setiap saat, namun juga harus memiliki dana untuk menambah fasilitas yang memudahkan masyarat memperoleh informasi. Tidak mengherankan apabila kondisi perpustaakan daerah acap kali memprihatinkan, sehingga fungsi idealnya tidak menemui kenyataan.
Kondisi lainnya adalah, orang-orang yang bekerja di perpustakaan tidak memiliki pemahaman yang baik mengenai perpustakaan. Ironisnya, ada pegawai perpustakaan yang tidak gemar membaca dan tidak menyukai buku.
Akibatnya, pengelolaan perpustakan tidak maksimal. Jangankan mencari cara agar perpustkaan dapat diakses atau didatangi oleh lebih banyak orang, untuk membenahi katalogisasi saja masih amburadul.
Namun, di tengah situasi literasi yang serba memprihatinkan tersebut, masih ada komunitas yang peduli melakukan usaha untuk membenahinya. Dengan caranya sendiri mereka berusaha meluaskan gerakan literasi di daerah, salah satunya dengan mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM).
Mereka juga melakukan sejumlah kegiatan literasi. Di Banten misalnya digagas gerakan Banten Membaca. Kemudian di Cipanas, Lebak, diusung gerakan Cipanas Iqra. Di Yogyakarta misalnya diciptakan gerakan Yogya Membaca, dan di Surabaya, Jawa Timur, dibuat gerakan Surabaya Membaca.
Gerakan-gerakan semacam inilah yang seharusnya mendapat dukungan dari siapa saja yang mengaku peduli dengan dunia literasi. Sebab rasanya sudah sulit mengharapkan dukungan dari otoritas terkait.
Masih berkait dengan literasi, buku ini juga membahas sejumlah hal yang berkaitan dengan bisnis buku di tanah air. Masalah pengelolaan toko buku, penerbitan, hingga hal-hal yang berkaitan dengan usaha pemasaran buku, adalah topik-topik yang dibahas di dalamnya.
Masalah literasi, dari usaha menyebarkan gairah membaca di masyarakat, hingga upaya menanamkan budaya menulis, dibahas dari berbagai sisi dalam buku ini. Oleh karena itu, tidak berlebihan rasanya jika buku ini diklaim sebagai usaha untuk membongkar karut marut dunia literasi.***
dimuat di HU KORAN JAKARTA, 26 Maret 2012
Perjalanan menjangkau tempat-tempat terpencil dan nyaris tidak dapat ditinggali manusia, selalu menyisakan pengalaman tidak terlupakan. Bukan hanya karena menyaksikan pemandangan alam yang menakjubkan, melainkan juga karena pengalaman kemanusiaan dan spiritual.
Itu juga yang dialami oleh Sieling Go, 51 tahun yang melakukan perjalanan seorang diri menuju Himalaya, Nepal, pada tahun 2007. Dia adalah orang Indonesia. Kemauannya yang keras membawanya berada selama lebih dari dua puluh hari melalui daerah bersuhu ekstrim untuk mencapai puncak gunung itu.
Selama melakukan perjalanan menuju puncak Himalaya, Seiling membuat sejumlah catatan. Hal ini lazim dilakukan oleh para pendaki untuk merekam apa saja yang mereka temui selama perjalanan. Catatan itulah yang kemudian disusun menjadi buku Nyanyian Angin di Himalaya ini.
Dari catatan yang dibuat tersebut, pembaca dapat ikut merasakan perjuangan Sieling dalam menaklukan alam. Suhu yang ekstrem, perubahan cuaca yang mendadak, serta medan yang berat, merupakan pengalaman sehari-hari yang ditemui untuk mencapai puncak Himalaya.
Namun hal itu tidak membuat niat ibu dari dua orang anak itu surut. Sebaliknya, ia menghadapi semua tantangan itu dengan penuh keberanian. Kadang-kadang, karena terlalu bersemangat, ia tidak menghiraukan peringatan para pemandunya. Tak pelak, kecelakaan kecil terjadi padanya yang mengakibatkan cedera ringan.
Perjalan yang penuh bahaya ini nyaris menyeret Sieling ke lubang kematian (hal. 247). Ia sempat terperosok ke dalam jurang. Hal ini terjadi ketika ia kembali Cchukhung dari Imja Base Camp.
Pendamping yang berjalan jauh di depannya tidak melihat hal ini. Usahanya untuk membawa tubuhnya ke tempat yang lebih tinggi gagal. Sebaliknya ia terperosok lebih dalam sebelum kemudian pasrah untuk menunggu pertotolongan.
Untung saja tim yang mendampinginya segera menyadari kejadian ini. Mereka pun kembali untuk menyelematkan Sieling. Mereka berhasil menyelamatkan Sieling kendati tubuhnya dipenuhi luka.
Dari sini Sieling belajar bahwa rasa kebersamaan dalam tim sangat diperlukan. Keahlian dan pengetahuan dari sebauh anggota tim memang penting. Namun semuanya tidak banyak berguna jika kerja sama yang baik dalam tim tidak ada.
Dalam catatan yang ditulisnya, terlihat Sieling mencoba untuk merekam apa yang ditemuinya. Hal ini terutama sangat berguna bagi mereka yang gemar mendaki gunung, terutama mereka yang berencana untuk mengikuti jejak Sieling hingga ke Himalaya.
Namun sayangnya, buku ini tidak dilengkapi dengank isah lain mengenai kehidupan masyarakat di wilayah yang ia lewati. Padahal sedikit kedalaman mengenai hal itu akan membuat buku ini lebih kaya sebagai sebuah catatan perjalanan. Cerita mengenai adat, kebiasaan, mitos, serta pengaruh kehidupan politik misalnya, akan membuat perjalanan Sieling semakin menarik dan bernas.
Catatan lain mengenai buku ini ialah, gaya penulisan Sieling yang lebih mirip dengan catatan harian. Jika saja Sieling mengemasnya dengan gaya penulisan feature ataupun jurnalistik gaya baru (the new journalism), maka tulisannya akan lebih enak untuk dibaca.***