Senin, 31 Januari 2011

Catatan dari Medan Perang


Judul : Catatan Perang Korea
Penulis : Mochtar Lubis
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun : I, Desember, 2010
Halaman : xxvii + 154 halaman
Harga : Rp. 40.000
Mochtar Lubis terkenal sebagai wartawan yang setia kepada profesionalitas dan idealisme. Ini yang membuatnya dijuluki muckraker journalist alias wartawan yang berani membongkar skandal, penyimpangan, dan ketidakadilan, tanpa bergeser dari kaidah-kaidah jurnalistik yang benar.

Itu juga yang tercermin dalam buku Catatan Perang Korea. Buku ini disusunnya setelah ia mengunjungi Korea pada tahun 1950 untuk meliput perang yang terjadi di negeri ginseng itu.

Dalam buku ini tampak jelas bagaimana Mochtar Lubis yang meninggal pada 2 Juli 2004 lalu itu, tidak sekadar meliput peristiwa yang memakan korban jiwa, namun juga memperlihatkan dimensi lain dari perang.

Lewat tulisan-tulisannya, Mochtar Lubis memperlihatkan bahwa perang selalu menyisakan kepiluan dan kehancuran. Di sini ada semacam ironi, manusia yang selalu mengganggap diri sebagai pembentuk peradaban, justru menghancurkan dan memusnahkannya.

Dalam laporannya Mochtar menjadi saksi mata bagaimana ledakan bom, muntahan peluru, dan pecahan mortir, menghancurkan kehidupan manusia. Kenyataan yang tersisa hanyalah penderitaan.

Di sini Mochtar merenung, apakah semua itu ada gunanya? Apakah semua itu ada manfaatnya? Baginya, pemandangan manusia sekarat, bau amis darah, dan aroma busuk nanah bermakna kehancuran kemanusiaan.

Pada buku yang sama, mantan pemimpin Indonesia Raya tersebut menuliskan bahwa Perang Korea bukanlah semata-mata konflik antara Korea Utara maupun Korea Selatan. Sebaliknya, ada kekuatan eksternal yang memungkinkan kedua negara itu berada dalam konflik panjang.

Menurut Mochtar, pada dasarnya Korea Utara maupun Korea Selatan tidak memiliki sejarah konflik. Pertentangan terjadi karena ada perebutan kepentingan dari luar. Apalagi Korea adalah negeri yang kaya dengan sumber alam.

Lalu, siapa pihak yang paling bertanggung jawab atas peperangan yang terjadi? Mochtar menyimpulkan, Perang Korea tidak mungkin dipisahkan dari peran Amerika Serikat yang mencoba untuk menekan kekuatan komunisme dari Korea Utara memasuki Korea Selatan.

Untuk kepentingan tersebut Amerika Serikat bersama Perserikatan Bangsa-bangsa menurunkan pasukan di negeri itu. Ini yang menjadikan Amerika Serikat kemudian memiliki mesin perang yang besar, kuat dan efisien di Korea.

Menurut Mochtar, jika saja kedua negeri itu segera menyadari adanya campur tangan pihak asing daalam perang yang mereka lakoni, niscaya kerugian tidak bakal sehebat seperti yang dialami.

Meskipun perang antara Korea Utara dan Korea Selatan seperti yang dikisahkan dalam buku ini ditulis lebih dari setengah abad yang lalu, namun isi buku ini tetap relevan. Buku ini tidak hanya mengajarkan bagaimana seorang wartawan seharusnya bersikap, tetapi juga sebuah renungan mengenai dehumanisasi perang.

Hal yang lebih penting lagi, buku ini mengingatkan kepada pembaca bahwa sebuah pergolakan sosial, konflik politik, pertikaian antar golongan, gelombang aksi yang meluas, hingga kejatuhan sebuah rezim, mungkin bukanlah sebuah peristiwa tunggal, melainkan karena adanya kuasa ataupun kekuatan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan.

Pemikiran Kebangsaan Eks Tapol



Judul : G30S 1965, Perang Dingin, dan Kehancuran Nasionalisme
Penulis : Tan Swie Ling
Penerbit : Komunitas Bambu
Terbit : I, 2010
Halaman : 587 Halaman


Penangkapan terhadap mereka yang diduga terlibat G30S, menyisakan mimpi buruk. Banyak pihak yang tidak terkait dengan peristiwa itu justru mengalami siksaan berat dan trauma yang sulit dipulihkan.

Penyiksaan dilakukan untuk memperoleh informasi ataupun pengakuan keterlibatan seseorang dalam peristiwa G30S yang kemudian dituangkan ke dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan).

Cara-cara seperti inilah yang membuat fakta lurus mengenai G30S sulit diungkap. Pasalnya, banyak buku mengenai peristiwa G30S ditulis berdasarkan BAP tersebut.

Buku yang ditulis oleh Tan Swie Ling ini adalah sumber sejarah yang memperlihatkan bahwa penulisan sejarah seputar G30S masih memiliki dimensi yang belum sepenuhnya terungkap.

Dalam buku ini Swie Ling tidak hanya mengisahkan pengalamannya sebagai tahanan politik (tapol) saat disiksa dan dijebloskan ke dalam tahanan, melainkan juga ingin menunjukkan akar masalah terjadinya G30S.

Menurut Swie Ling, apa yang pada tahun 1965 itu tidak lepas dari politik perang dingin antara negara Blok Barat yang dikomandoi oleh Amerika Serikat dan negara-negara Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Sovyet.

Kala itu, Blok Barat, usai Perang Dunia II, mencoba mengurangi kekuatan Uni Sovyet yang dicurigai akan menyebarkan komunis secara meluas. Untuk mengganjalnya Barat menyulut peristiwa kekerasan yang menyudutkan golongan komunis, seperti Peristiwa Madiun di tahun 1948, dan G30S di tahun 1965. Cara ini diharapkan menjadi black campaign bagi komunisme.

Menurut Swie Ling, peristiwa tersebut tidak bakal terjadi apabila para elit politik di Indonesia memiliki kesadaran dan harga diri untuk menjadi bangsa yang merdeka, mandiri dan menolak intervensi bangsa asing.

Akhirnya Indonesia pun terlibat dalam pusaran politik Perang Dingin. Buntutnya, komunis diaanggap haram oleh Orde Baru. Kemudian, stigma buruk ditempelkan kepada mereka yang pernah “bersentuhan” dengan komunisme.

Karena stigma tersebut, mereka yang dicap berhaluan komunis sering kehilangan kesempatan untuk berkarir, memperoleh pendidikan, bekerja di lembaga pemerintah, bahkan kesempatan untuk melakukan aktivitas politik.

Dalam buku ini Swie Ling tidak hanya meratapi stigma-stigma tersebut. Sebaliknya, ia justru menyumbangkan banyak gagasan untuk kemajuan bangsa yang melibatkan semua elemen bangsa, termasuk keturunan Tionghoa.

Sayangnya, keturunan Tinghoa di Indonesia belum memiliki kedudukan yang setara dengan warga negara Indonesia lain. Mereka masih diposisikan sebagai warga kelas kelas dua, atau yang diistilahkan oleh Swie Ling sebagai "seikat rumput kering".

Itu sebabnya Swie Ling ingin mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk menterjemahkan kembali arti nasionalsime. Menurutnya nasionalisme lahir dari kebutuhan, rasa kebersamaan antara segolongan manusia dengan nasib dan keinginan yang sama untuk merdeka dan bebas dari penindasan

Hal itu harus dimiliki oleh seluruh warganegara tanpa memandang apakah warga keturunan atau buka. Sebab cita-cita untuk berdiri sejajar dengan bangsa lain adalah hak setiap warga negara tanpa memandang suku maupun ras.***

Dimuat di HU Koran Jakarta, 26 JAnuri 2011

Selasa, 18 Januari 2011

Perempuan Kulit Putih pada Masa Pendudukan Jepang


Judul : Fifty Years of Silence
Penulis : Jan Ruff-O’Herne
Penerbit : Elexmedia Komputindo
Terbit : I, Januari 2011
Halaman : 322 Halaman
Harga : Rp.54.800.
Masa pendudukan Jepang di Indonesia meninggalkan kenangan pahit. Salah satunya adalah kekerasan fisik, mental dan seksual terhadap perempuan. Bayangkan saja, pasukan Jepang di sejumlah tempat mengumpulkan perempuan untuk dijadikan budak seks secara biadab.

Bukan hanya perempuan berkebangsaan Indonesia saja yang menjadi korban, namun juga perempuan berkebangsaan Belanda ataupun mereka yang berdarah campuran. Sebagai pihak yang dikuasai oleh Jepang, para perempuan ini pun dihilangkan hak-haknya, dilucuti keistimewannya, dan berbalik menjadi korban dengan pengalaman traumatiknya.

Buku Fifty Years of Silence (Lima Puluh Tahun Kebisuan) ini, merupakan salah satu contoh penderitaan yang dialami perempuan berkebangsaan Belanda ketika Jepang berkuasa. Mereka hidup dalam ketakutan, ancaman hingga teror mental tdak terlupakan.

Adalah Jan Ruff-O’Herne, perempuan berdarah Perancis dan Belanda. Ia lahir dan dibesarkan di Indonesia. Ayahnya yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan kolonial, telah membuatnya menikmati kehidupan yang serba nyaman, mudah, dan menyenangkan.

Sayang, semua itu lenyap ketika Jepang berkuasa di Indonesia. Bahkan kemudian ia bersama ibu dan adik-adiknya dibawa oleh tentara Jepang ke sebuah penampungan di Ambarawa sebagai tawanan.

Di kamp inilah ia dan tawanan lain mengalami penderitaan yang hebat. Ketika kekurangan makanan misalnya, mereka terpaksa mencuri tulang ayam dari tempat sampah untuk djadikan sup kaldu ayam. Terkdang mereka berburu tikus untuk memenuhi kebutuhan makanan.

Dari kamp di Ambarawa Jan dan sejumlah perempuan muda lainnya dibawa ke Semarang dan ditempatkan di sebuah rumah. Rumah itu diberi nama Rumah Tujuh Samudera. Di rumah itulah mereka mulai mengalami pemerkosaan serta kekerasan seksual lainnya. Semua itu dilakukan oleh tentara Jepang.

Jan akhirnya dapat lepas dari rumah penampungan tersebut. Bahkan kemudian ia menikahi orang yang mencintainya. Namun itu bukan akhir dari kisah Jan. Sebab puluhan tahun kemudian ia menghadapi dilema.

Di satu sisi ia terdorong untuk membeberkan masa lalunya secara luas. Namun pada saat bersamaan itu juga berarti ia harus membuka kisah kelamnya kepada anak-anak, cucu, dan orang-orang terdekatnya

Hal itu terjadi ketika sejumlah perempuan dari Asia mulai mengungkapkan kebiadaban tentara Jepang di muka publik internasional. Mereka adalah perempuan yang menjadi korban kekejaman tentara Jepang.

Didorong oleh keinginan untuk mendukung usaha perempuan dari negara-negara lain yang menyuarakan kebenaran, akhirnya Jan bersedia membuka kisahnya kepada dunia. Hal ini disambut baik oleh lembaga-lembaga yang menyuarakan gugatan dan tuntutan kepada pemerintah Jepang atas apa yang dilakukannya di masa lalu.
Buku ini sesungguhya bukan sekadar mengisahkan upaya perempuan yang menjadi korban kebr
utalan tentara Jepang untuk menyuarakan kebenaran, melainkan juga sebuah kisah mengenai keberanian, kesabaran, ketabahan serta pengharapan seorang perempuan kulit putih dalam melewati masa-masa paling sulit dalam hidupnya.***

Senin, 03 Januari 2011

Mengurai Persoalan Hilir Pekerja Seks Komersial



Judul : Perempuan-perempuan Kramat Tunggak
Penulis : Endang R Sedyaningsih-Mamahit
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Terbit : I, Desember 2010
Halaman : liii + 250 Halaman
Harga : Rp. 50.000

Persoalan pekerja seks komersial memang sulit untuk diselesaikan. Pasalnya, komponen masalahnya begitu kompleks. Problem ini tidak akan tuntas apabila faktor hulu tidak diselesaikan.

Itulah yang dapat ditangkap dari buku ini. Meskipun buku ini adalah hasil penelitian mengenai kesadaran penggunaan kondom dan masalah penyakin menular seksual di kompleks lokalisasi Kramat Tunggak, Jakarta, namun buku ini berhasil menampilkan kerumitan masalah pekerja seks komersial.

Dari buku ini tampak bahwa masalah pekerja seks komersial di Indonesia tidak dapat serta-merta dikaitkan dengan moralitas maupun nilai-nilai relijius. Masalah pekerja seksual adalah masalah sosial yang harus dipandang secara komprehensif dan dituntaskan mulai dari pusat persoalan.

Lalu, apakah pusat persoalan tersebut? Dari data yang disampaikan dalam buku ini terlihat bahwa kebanyakan pekerja seks komersial yang berada di Kramat Tunggak berlatar pendidikan rendah, yakni sekolah dasar, baik tamat ataupun tidak.

Data ini menunjukkan bahwa rendahnya pendidikan korelasi yang kuat terhadap kesulitan perempuan untuk memiliki pekerjaan yang layak. Inilah yang memicu mereka untuk bekerja sebagai pekerja seks komersial, apalagi kebutuhan hidup tidak dapat ditunda.

Persoalan berikutnya adalah kemiskinan. Dari hasil penelitian terjelaskan bahwa kemiskinan menjadi pendorong seorang perempuan bergabung di Kramat Tunggak. Inilah yang digolongkan sebagai pekerja seks komersial dengan motivasi keterpaksaan.

Para pekerja seks komersial itu sesungguhnya malu untuk bekerja di Kramat Tunggak, namun kemskinanlah yang membuat mereka terpaksa menjalan profesi itu. Mereka rata-rata tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk membiayai anak-anak maupun orangtua mereka.

Jawabannya jelas, untuk mengurangi jumlah pekerja seks komersial, pemerintah harus berupaya meningkatkan level pendidikan dan memberikan kesempatan kerja yang lebih luas, terutama bagi kaum perempuan. Hal ini harus mendapatkan aksentuasi terutama di daerah-daerah tempat mereka biasanya berasal.

Hal lain yang disinggung dalam buku ini adalah persoalan kekerasan. Tidak hanya sebagai pemuas hasrat hidung belang, para pekerja seks komersial juga biasanya rentan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh tamu mereka.

Malah tidak sedikit dari mereka yang kehilangan nyawa di tangan pelanggannya sendiri. Untuk mengantisipasi hal ini para germo terpaksa mengetuk pintu kamar para anak asuhnya saat mereka melayani tamu, untuk memastikan bahwa mereka dalam keadaan aman.

Meskipun riset ini dilakukan belasan tahun yang lalu, namun isi buku ini masih relevan, mengingat masih banyak lokalisasi sejenis Kramat Tunggak hidup subur di sejumlah daerah di Indonesia. Dapat dikatakan, Kramat Tunggak adalah model dari lokalisasi-lokalisasi seperti itu.

Dari buku ini dapat dilihat bahwa persoalan pekerja seks komersial dan lokalisasi memang tidak tuntas hanya dengan menutupnya. Buktinya, meskipun Kramat Tunggak ditutup dan digantikan menjadi Islamic Center, kafe remang-remang justru tumbuh kian marak tidak jauh dari lokasi tersebut.***