Kamis, 18 Februari 2010

Absurditas Pernikahan dalam Masyarakat Kontemporer





Judul : Sudesi (Sukes dengan Satu Istri)
Penulis : Arswendo Atmowiloto
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tebal : 456 halaman
Tahun : Januari 2010


Lembaga pernikahan yang sering dianggap sakral ternyata mengalami pereduksian makna dalam masyarakat kontemporer. Pernikahan yang sarat dengan nilai-nilai kesetiaan, pengabdian dan serta pengorbanan, kemudian ditaburi perselingkuhan, kebohongan serta berbagai kepalsuan.

Persoalannya kemudian, masihkah ada orang yang dapat sanggup mempertahankan pernikahan yang serba suci itu manakala lingkungan sekitarnya seolah-olah membenarkan terjadinya berbagai bentuk pengkhianatan. Lebih ekstrim, apakah lembaga perkawinan masih layak dipertahankan sebagai wadah penyatuan dua individu, baik secara formal ataupun agama

Novel Sudesi (Sukses dengan Suatu Istri) tampaknya ingin memberikan sebuah lapangan perenungan mengenai persoalan-persoalan tersebut. Lewat pengalaman dan sepak terjang tokoh-tokohnya, Sudesi yang ditulis oleh Arswendo Atmowiloto, memperlihatkan kecenderungan ini.

Sebut saja tokoh Ibu Sukmono, istri Jati Sukmono penggagas Sudesi, yang kemudian berselingkuh dengan seorang fotografer ternama ketika suaminya tengah meringkuk di dalam penjara. Perselingkuhan yang diawali ketika Ibu Sukmono meminta untuk dipotret dalam pose tanpa busana itu, ternyata dapat terjadi begitu saja tanpa diakhiri rasa penyesalan maupun penghakiman yang berujung kepada akibat-akibat yang merepresentasikan “hukuman Tuhan” terhadap mereka.

Tentu saja novel ini tidak ingin menunjukkan bahwa perselingkuhan merupakan sesuatu yang pantas ditiru ataupun sesuatu yang bersifat relatif. Novel ini juga tidak berusaha mengonstruksi sebuah pemikiran bahwa perselingkuhan adalah sesuatu yang salah dalam pandangan relijiusitas. Sebaliknya, pembaca dibiarkan untuk menikmati alur cerita sebagaimana adanya, dan membuat penilaian tersendiri atasnya.

Beberapa kisah tokoh lainnya dalam novel ini juga menunjukkan bahwa pernikahan telah telah menjadi sesuatu yang absurd, misalnya saja kisah Bambang, seorang wartawan yang mendapat kesempatan untuk menuliskan biografi Ismi Patria, istri anak bungsu Tunjung Suanta, sekaligus istri dari Indrawan, seorang pengusaha kaya yang sanggup memberikan apa saja.

Tidak terjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan pernikahan Ismi, yang akrab dipanggil dengan Ibu Ais, dengan Indrawan. Namun Indrawan menyetujui saja ketika Ibu Ais ingin membuat sebuah biografi dan menunjuk Bambang, saeorang wartawan, untuk menuliskan biografi itu.

Maka, dengan segala fasilitas yang mewah yang disiapkan oleh Bu Ais sendiri, Bambang berkesempatan masuk ke dalam kehidupan Ibu Ais. Ia dapat mengikuti segala aktivitas Ibu Ais, mengamati perilakunya, melakukan wawancara, dan bahkan jatuh cinta kepadanya.

Dari sinilah dimulai sebuah perselingkuhan dengan perjanjian di atas kertas antara Ibu Ais dan Bambang. Sebelum memulai perselingkuhan, Bambang diminta untuk memenuhi sejumlah persyaratan, termasuk syarat kesehatan yang harus dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter. Bagi Bambang ini adalah sesuatu yang aneh, tidak masuk akal dan terlalu rumit untuk sebuah perselingkuhan. Anehnya lagi, perselingkuhan ini dilakukan dengan persetujuan suami Ibu Ais.

Semua kisah dalam novel ini memperlihatkan bahwa penikahan adalah sesuatu yang pelik, dan tidak gampang dilakukan dalam dunia kontemporer. Pernikahan yang dijalani dapat saja menjadi lembaga yang sakral, namun pengkhianatan terhadapnya sangat terbuka lebar. Tinggal bagaimana seorang individu memahami secara benar hakikat pernikahan, dan konsisten dengan janjinya untuk selalu setia pada psangannya.***

1 komentar:

dela mengatakan...

really put it in my booklist. :)
i am book lovers too, feel free to visit mine! :)