Rabu, 25 Juli 2012

Serba-serbi Masyarakat Kolonial Batavia

Judul: Batavia, Masyarakat Kolonial Abad XVII
Penulis: Henderik E Niemeijer
Penerbit: Masup Jakarta
Terbit: Juli, 2012
Halaman:
Harga: Rp. 180.000 (hard cover)



Memahami Jakarta pada masa kolonial yang kala itu masih disebut Batavia memang menarik. Pasalnya, dari situlah kita dapat melihat dimensi-dimensi sosiologis-politis yang kemudian membentuk Jakarta masa kini. Buku ini rasanya adalah salah satu referensi yang dapat menambah derajat pemahaman kita mengenai dimensi-dimensi tersebut.

Pada bagian awal buku ini pembaca mungkin akan terperangah mengetahui bahwa Batavia pada abad 17 ternyata tidak lebih dari sebuah kota perbudakan. Kala itu  perbudakan mendapat tempat yang subur karena memiliki payung legalitas dari pemerintah kolonial. Penyebabnya  pemerintah memiliki kepentingan untuk menempatkan pekerja murah untuk mengembangkan Batavia menjadi kota dagang.

Akibatnya budak tidak hanya didatangkan dari berbagai pulau di luar Jawa seperti Maluku, Sulawesi atupun Bali, melainkan juga dari luar negeri seperti India, Srilanka, hingga Filipina. Para budak ini kemudian diperjualbelikan oleh tuan-tuan mereka. Di kemudian hari kedatangan para budak di batavia memunculkan masalah kemasyarakatan tersendiri di Batavia, mulai dari pergundikan, kriminal, hingga kekerasan (hal. 31-57).

Kemunculan budak dan pendatang ke Batavia telah menjadikan kota ini sebuah kuali adukan (melting pot). Namun itu pun memunculkan potensi gesekan. Kehadiran kelompok etnis Cina misalnya, telah memicu konflik tersendiri. Salah satu yang tercatat dalam buku ini adalah kebiasaan berjudi yang kerap berujung pada keributan. Akibatya pemerintah harus membatasi perjudian.

Namun, situasinya menjadi dilematis. Pasalnya, di satu sisi, pemerintah yang berkuasa memperoleh pendapatan dari perjudian tersebut. Setiap rumah judi ataupun pesta-pesta yang menyelenggarakan perjudian, diharuskan menyerahkan semacam pajak kepada pemerintah Batavia.

Masalah lain yang juga sering muncul ke permukaan pada abad 17 adalah konflik antar pemeluk agama. Hal ini terjadi antara penganut Kristen dan Katolik. Kala itu para pendeta Kristen terang-terangan menolak misi yang dijalankan oleh pemuka agama Katolik. (hal. 239-254). Bahkan tanpa segan mereka menganggap ibadah ataupun ritus yang dipimpin oleh pemuka Katolik dianggap ilegal.

Hal yang harus dicatat mengenai hubungan antar pemeluk agama pada masa kolonial adalah kenyataan Islam yang terus berkembang dan memegang peranan penting. Bahkan kemudian pemerintah Hindia Belanda lebih membuka kesempatan untuk perkembangan Islam ketimbang agama Katolik.

Pada halaman 217-220 bahkan disampaikan bahwa Islam tidak dianggap sebagai “bahaya”, sebaliknya banyak ulama Islam yang dianggap dapat bekerja sama dengan pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memiliki posisi khusus.

Hal  berbeda dialami oleh praktik-praktik relijius yang dilakukan oleh etnis Cina. Dalam buku ini praktik keagamaan yang dilakukan oleh etnis Cina cenderung dianggap membuat keributan. Tidak mengherankan jika pemerintah perlu untuk melarang kegiatan tersebut.

Buku ini menarik untuk memahahami kehidupan masyarakat kolonial Batavia. Sayangnya, catatan yang banyak didasarkan pada dokumen administrasi pemerintahan ini, tidak diformulasi dengan cara yang lebih cair. Padahal cara yang lebih cair akan membuat pembaca lebih asyik mengikuti “perjalanan ke masa lalu” ini.

Simak saja buku Semerbak Bunga di Bandung Raya (1998) yang ditulis oleh Haryoto Kunto.  Banyak cerita dan fakta tentang Kota Bandung yang didasarkan pada literatur masa lalu, namun disampaikan dengan cara yang “renyah”, menawan , dengan bumbu-bumbu yang jenaka di sana-sini. Akhirnya, jadilah sebuah buku yang menarik untuk dinikmati.***

Kamis, 05 Juli 2012

Teladan Bagi Calon Pemimpin Jakarta

Judul               : AliSadikin, Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi
Penulis             : Ramadhan KH
Penerbit           : Ufuk
Terbit               :  I, Juni 2012
Halaman          : xviii + 612 halaman
Harga              : Rp. 74.000

Membuat perbaikan di Kota Jakarta bukan perkara gampang. Landasan teori planologi maupun teori kemsyarakatan tidak sepenuhnya dapat menuntaskan persoalan yang telah lama bercokol. Sebaliknya, keinginan yang kuat, idealisme, serta kerja keras merupakan modal utama untuk melakukan perubahan.
Tampaknay para calon gubernur Jakarta periode mendatang perlu menengok kembali sepak terjang Ali Sadikin ketika ia mulai melakukan berbagai pembenahan di Jakarta pada awal masa kepemimpinannya. Seperti diketahui, kala itu Jakarta menyimpan setumpuk masalah.

Jalanan yang tidak memadai, kurangnya jumlah sekolah, angka pengangguran yang tinggi, minimnya fasilitas kesehatan, adalah sebagian kecil persoalan yang dihadapi Jakarta ketika Ali Sadikin mulai menjabat gubernur Jakarta. Ditambah lagi kondisi keuangan pemerintah kota yang sangat tidak mendukung untuk dilakukannya perubahan dengan segera.

Semua itu telah membuat Ali Sadikin berpikir keras untuk membalikkan keadaan. Baginya salah satu hal yang harus dilakukan adalah memikirkan sumber pendapatan untuk memperoleh dana pembangunan. Salah satu sektor yang digenjonya kala itu ialah sektor pajak.

Dengan kata lain ia merevitalisasi sektor pajak agar kebocoran dikurangi sambil mencari sumber pajak lain yang dapat dimaksimalisasi. Salah satunyanya ialah pajak judi yang biasa dilakukan oleh komunitas etnis tertentu. Namun ide ini kemudian mengundang kontroversi.

Meski mengundang kontroversi, terutama dari golongan agamis, Ali Sadikin tidak urung melaksanakan niatnya. Pasalnya ia tahu bahwa kebijakan ini memiliki landasan yuridis. Dengan kata lain, pungutan pajak ini pada dasarnya legal.

Selain itu, bagi Ali Sadikin persoalan masyarakat tidak dapat dilihat hanya dari balik meja. Ia harus turun langsung ke lapangan, berinteraksi dengan warga, dan mengalami langsung kesulitan yang dihadapi oleh warganya.

Itu sebabnya ia tidak segan untuk berdesak-desakan di dalam bis kota untuk merasakan betapa tidak nyamannya sarana transportasi yang ada kala itu  (Hal. 129).  Karenanya juga ia menjadi tahu bagaimana harus melakukan pembenahan moda transportasi, mulai dari perlunya pemberhentian bis agar moda ini lebih tertib, hingga perlunya penambahan dan pembenahan terminal. Bahkan ia juga mengambil langkah berani meminjam dana dari Amerika untuk menambah armada bis.

Menariknya, Ali Sadikin seakan ingin memangkas birokrasi. Ia enggan kebijakannya direalisasikan dalam waktu yang lama. Itu sebabnya ia kerap melakukan instruksi langsung  di tempat secara spontan. Bahkan hal itu sering bernada perintah yang harus dilakukan segera. Ini dilakukan semata-mata agar warga tidak lebih lama menderita.

Berbagai aspek kehidupan warga kota begitu diperhatikan oleh Ali sadikin. Ia ingin warga merasa lebih diperhatikan dan dimanusiakan. Ini berarti ia ingin warga Jakarta lebih beradab. Kekerasan hatinya sajalah yang dapat mencapai itu semua. Bukan untuk kepentingan sekelompok orang apalagi dirinya sendiri, melainkan untuk kepentingan warga.

Buku ini dapat menjadi teladan bagi para calon pemimpin Jakarta. Ali Sadikin boleh saja disebut masa lalu. Namun ada pepatah mengatakan, siapa enggan melihat masa lalu, ia buta melihat masa kini.***




Kamis, 28 Juni 2012

Tembakau dan Realitas Sosial

Judul: Kisah Tentang tembakau
Editor: Irawan Saptono
Penerbit: ISAI
Terbit: Juni 2012
Halaman: 225 halaman

Jumat, 01 Juni 2012

Etnis Tionghoa dan Keindonesiaan




Judul: Peranakan Tionghoa di Indonesia
Penulis: Iwan Santosa
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tebal: xx+ 316 halaman
Tebit: Juni, 2012



Eksistensi etnis Tionghoa memiliki tempat tersendiri dalam sejarah bangsa Indonesia.  Mereka tidak hanya memiliki andil dalam pertumbuhan dan perkembangan masyarakat,  melainkan juga berkontribusi bagi pergerakan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.

Pertanyaannya, bagaimana eksistensi etnis Tionghoa dalam konteks kekinian? Pertanyaan ini diajukan karena etnis Tionghoa masih memiliki identitas kultural yang tidak mungkin lenyap begitu saja.

Seperti halnya identitas Jawa yang tidak bakal hilang ketika seorang Jawa melebur dalam kenyataan Indonesia. Sama halnya dengan identitas Padang yang tidak bakal hilang ketika orang Padang menyatakan diri menjadi anak sah dari Indonesia.

Artinya, memperbincangkan keberadaan etnis Tionghoa tetap menarik meskipun sesungguhnya dalam entitas Indonesia, tidak ada lagi identitas mayoritas ataupun minoritas,yang ada hanyalah identitas Indonesia.

 Buku mencoba untuk memberikan sebuah gambaran umum mengenai kondisi masyarakat Tionghoa kontemporer. Tidak hanya terbatas pada etnis Tionghoa yang berada di perkotaan,  namun juga keturunan Tionghoa yang berada di pinggiran, misalnya saja mereka yang disebut dengan Cinta Benteng yang bermukim di Tangerang, Banten.

Keberadaan warga Cina Benteng mematahkan anggapan umum  bahwa keturunan Tionghoa selalu hidup berkecukupan. Warga Cinta Benteng justru sebaliknya. Mereka tidak berbeda dengan warga marjilan  pada umumnya yang selalu tersisihkan, terancam penggusuran, bahkan sering menerima tindakan-tindakan diskriminatif.

Konteksnya tentu bukan soal tuntutan privelese bagi keturunan etnis Tionghoa, namun tuntutan untuk dihargai, diperlakukan, dan diberikan hak yang sama seperti warga Indonesia lainnya. Toh pada dasarnya mereka sudah turun-temurun berada di Indonesia, menghirup udara Indonesia, dan bahkan melalukan kewajiban sebagai warga negara pada umumnya.

Buku ini juga seperti ingin memperlihatkan betapa tidak ada alasan untuk mempraktikkan diskriminasi terhadap masyarakat keturunan Tionghoa. Apalagi sejak jauh-jauh hari mereka mencoba mempraktikkan akulturasi. Perlakukan diskriminatif hanya akan membuat jurang yang kian menganga antar etnis.

Tidak hanya memotret keberadaan masyarakat keturunan Tionghoa di Jakarta, buku ini juga mengungkapkan sisi kehidpan etnis Tionghoa di wilayah lain di di Indonesia,  seperti di Semarang, Yogyakarta, Simgkawang, Padang hingga Aceh.
Dari Semarang buku ini melaporkan Pecinan Semarang yang tidak pernah mati. Salah satunya adalah Jalan Semawis yang selalu diramaikan oleh gerai-gerai kuliner di malam hari. Keramaiannya memuncak terutama pada malam minggu.
Jalan Semawis bukan sekadar tempat wisata kuliner, melainkan juga simbol geliat keguyuban masyarakat keturunan Tionghoa di kota itu. Seperti ingin diperlihatkan bahwa masyarakat Tionghoa masih hidup dan tetap dapat hidup berdampingan dengan warga Semarang lainnya.
Pendeknya buku ini ingin menunjukkan serbaneka kehidupan masyarkat keturunan Tionghoa di Indonesia. Meskipun tidak dapat mengungkapnya secara komprehensif, namun dari sini kita dapat terbuka ruang-ruang perspektif untuk melihat bagaimana masa depan masyarakat keturunan Tionghoa dan identitas keindonesiaan.***

Selasa, 22 Mei 2012

Membaca "Kita" dalam Laci sketsa


Judul: Mangan Ora Mangan Kumpul
Penulis: Umar kayam
Penerbit: Grafiti Pers
Terbit: VII, 2012
Halaman: 458


Menyampaikan persoalan yang terjadi dalam masyarakat tidak harus dilakukan dengan gaya yang serius ataupun "berat". Gaya yang sederhana dan penuh seloroh dapat juga digunakan agar pesan dapat lebih mudah dikomunikasikan.

Itu yang dapat ditangkap ketika membaca kolom-kolom Umar Kayam yang terdapat dalam buku Mangan Ora Mangan Kumpul ini. Gaya tulisannya tidak sekadar santai melainkan juga ringan dan renyah. Tak jarang pembaca juga akan dibuat tersenyum saat "mengunyah" isi tulisan di dalamnya.

Buku ini banyak mengetengahkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat kontemporer. Di dalamnya terdapat masalah politik, birokrasi, kemasyarakatan, ekonomi, hingga persoalan kultural.

Umar Kayam seakan berusaha untuk memeras realitas tersebut sehingga sari pati setiap persoalan dapat keluar untuk kemudian dinikmati oleh pembaca. Lusinan masalah dan persoalan ia ungjkapkan dalam kolom-kolomnya. Nukan sekadara m,salah, namun hal-hak yang nyata menuntut penyelesaian.
Umar Kayam
 id.wikipedia.org

Lewat kolom-kolom itu Umar Kayam bukan mengguggat, ataupun melakukan kritik secara langsung, ia hanya melakukan dekodefikasi, untuk kemudian ia sampaikan kepada pembacanya dengam racikan yang lebih "sedap" bagi pembaca.

Formula racikan itu bisa dapat bermacam-macam, salah satunya adalah sentuhan kultur Jawa-- apalagi kolom-kolomnya terbit di harian Kedaulatan Rakyat yang terbit di Yogyakarta.
Dalam kolom-kolomnya Umar Kayam tidak memosisikan dirinya sebagai guru atau sosok yang lebih tahu dari orang lain,  melainkan sosok yang orang  biasa. Karenanya ia dapat lebih bebas mengomentari setiap hal yang dilihatnya.

Sampul cetakan pertama, 1991.
Dalam kolom-kolomnya,  Umar Kayam menampilkan tokoh-tokoh yang dekat dengannya. Bukan tokoh yang kelewat hebat dan terhormat, melainkan pembantu rumah tangga atau batur. Pembantu yang selalu berpikir serba sederhana itu justru ia gunakan untuk melakukan "pembalikan", merontokkan yang serba mapan, serba tinggi dan serba tidak tersentuh.

Pemberian nama tokoh-tokh pembantunya tersebut pun sudah meriupakan sebuah pembalikan, yakni Rigen dan Nansiyem, yang merupakan plesetan nama presiden Amerika Serikat dan istri, Ronald Reagan  dan Nancy Reagan.

Membaca kolom-kolom Umar Kayam, pembaca akan seperti melihat diri sendiri, persoalan sendiri, bahkan mentertawakan diri sendiri, karena memang kita lekat dengan persoalan-persioalan yang dikemukakan oleh Umar Kayam.***