Jumat, 22 Oktober 2010

Jejak Spionase Internasional di Indonesia



Judul : Namaku Matahari
Penulis : Remy Sylado
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : I, Oktober 2010
Halaman : 559
Harga : Rp. 79.000

Meskipun sudah banyak sumber yang mengungkap kehidupan Mata Hari, namun sosoknya tetap misterius. Sebut saja fakta seputar kematiannya. Konon hingga kini tidak jelas dimana ia dikuburkan.

Hal yang jelas, ia pernah hadir pada masa Perang Dunia Ke-I. Kala itu ia menjadi agen rahasia untuk dua negara sekaligus (double agent), Jerman dan Perancis.

Dikisahkan, Mata Hari lahir di Leeuwardeng, Belanda pada tahun 1876. Kala itu ia masih memakai naman Margaretha Geertruida. Pada usia 18 tahun ia menikah dengan seorang opsir Belanda bernama Rudolf John MacLeod.

Setelah itu ia pindah ke Jawa, untuk mengikuti suaminya yang bertugas di sana, tepatnya di Ambarawa. Ketika berada di Jawa inilah Mata Hari belajar menari untuk pertama kalinya.

Dari situlah ia kemudian banyak mementasakan tarian Jawa. Bahkan pada periode berikutnya ia juga mulai menarikan tarian-tarian erotik di hadapan banyak orang. Tentu saja hal ini membuat ia semakin dekat dengan banyak kalangan, termasuk petinggi militer. Tidak sedikit petinggi milter yang kemudian tidur bersamanya.

Lewat apa yang dilakukan oleh Mata Hari, novel ini telah melakukan sebuah protes dan sindiran keras atas sikap hipokrit pihak penguasa, termasuk kalangan rohaniawan. Simak saja ketika Mata Hari menyatakan kesetujuanya untuk menarik erotik di hadapan penguasa dan kalangan rohaniawan Katolik maupun Kristen (halaman 183-185).

Dengan tarian erotiknya Mata Hari ingin melakukan sebuah pembalikkan. Artinya, dalam kondisi kultural yang menomorduakan perempuan, ia justru ingin menunjukkan bahwa pria dapat bertekuk-lutut di bawah daya tarik gerakan erotik tariannya, maupun dan gairah seksualitasnya.

Ini adalah sebuah simbol, meskipun secara kultural laki-laki lebih dominan ketimbang perempuan. Namun, di sisi lain--digambarkan melalui hubungan antara Mata Hari dengan pria yang berkencan dengannya--laki-laki adalah pihak yang justru dikuasai oleh perempuan.

Bahkan dengan caranya sendiri, Remy Syaldo, memperlihatkan bagaimana pria menjadi objek pelepas hasrat Mata Hari. Di sini terlihat bagaimana superioritas laki-laki seketika luntur tanpa perlawanan. Kelemahan leki-laki seakan ditelanjangi. Beginilah Remy Sylado mengkritik kultur patriarkal.

Sikap Mata Hari yang seakan membalaskan dendam kepada laki-laki bukan tanpa sebab. Hal itu terjadi karena sejak awal pernikahannya, ia sudah merasa ditindas oleh kekuasaan laki-laki, yakni dari suaminya sendiri. Ia menggambarkan suaminya sebagai sosok yang menakutkan, egois, dan gemar main perempuan.

Di sisi lain, Mata Hari, ditampilkan sebagai perempuan yang "melampaui" jamannya, dalam arti ia sanggup berpikir dan bertindak di luar kebiasaan. Bahkan secara terang-terangan ia menyatakan dirinya sebagai vrijdenker, atau pemikir bebas, yang karenanya ia mempertanyakan keberadaan Tuhan.

Novel ini dapat dikatakan sebuah reinterpretasi kisah Mata Hari di Indonesia. Penulis mengatakan demikian karena, hampir tiga perempat isi buku ini berisi perjalanan Mata Hari selama di Indonesia. Inilah yang membuat buku ini menarik bagi pembaca di Indonesia.***

Jumat, 15 Oktober 2010

Prahara di Tengah Ketegangan Budaya




Judul : Only a Girl, Menantang Phoenix
Penulis : Lian Gouw
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : I, Oktober 2010
Halaman : 385 Halaman
Harga : Rp. 65.000.
Pengadopsian kultur baru oleh sebuah masyarakat sering memunculkan guncangan. Hal ini terutama terjadi karena kultur baru memiliki nilai-nilai yang bertentangan dengan kultur lama. Tuduhan bahwa kultur lain tidak lebih beradab dari kultur yang sedang dipegang, semakin memperparah kondisi ini.

Menariknya, hal tersebut lebih banyak terjadi di kalangan "kaum tua" yang acap kali dilabeli sebagai golongan yang konservatif. Sebaliknya, di kalangan kaum muda, kultur baru dianggap lebih baik, modern, dan lebih manusiawi. Itu sebabnya mereka tidak segan untuk mengadopsinya.

Hal seperti itulah yang digambarkan dalam novel yang Only Girl, Menantang Phoenix yang ditulis oleh Lian Gouw ini. Dalam novel yang mengambil latar belakang kondisi politik dan sosial Indonesia antara 1930-1952 ini, Lina Gouw ingin menunjukkan bahwa "pertemuan" sebuah kultur dengan kultur lainnya cenderung memunculkan ketegangan tertentu.

Salah satu tokoh sentral dalam buku ini, Carolien adalah seorang perempuan keturunan Tionghoa yang digambarkan sebagai sosok muda yang menganggap kultur Belanda lebih baik ketimbang kultur Tionghoa. Hal ini tampak dari bagaimana cara ia memandang pendidikan Belanda.

Ia pun selalu memandang bahwa kepercayaan masyarakat Tionghoa yang masih dilakukan oleh keluarganya adalah sebagai tahayul yang sia-sia. Bahkan ia pun "menutup mata" ketika keluarganya menentang pernikahannya dengan seorang pemuda keturunan Tionghoa yang berasal dari keluarga biasa-biasa.

Perkawinan Carolien memang kandas. Tetapi ia tetap meyakini kultur Belanda adalah yang terbaik. Bahkan ia berencana memberangkatkan putrinya Jenny untuk meneruskan studi di bidang hukum di Leiden, Belanda.

Tetapi semunya berubah ketika Indonesia merdeka. Kala itu pemerintahan yang sah sudah beralih ke tangan pemerintah Republik Indonesia. Akibatnya, perubahan terjadi di segala bidang, termasuk bidang pendidikan.

Hal itu menyulitkan Jenny. Pasalnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menjadikan Bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah, termasuk di sekolah yang sebelumnya dikelola oleh Belanda, sementara Jenny tidak pernah belajar Bahasa Indonesia sebelumnya.

Dalam suasana dan kondisi seperti itulah permasalahan dan prahara menimpa keluarga Carolien. Perubahan-perubahan di bidang politik telah membawa dampak yang tidak kecil dalam keluarga mereka. Hanya dua pilihan mereka, bertahan atau menyerah.

Dari novel ber-setting Kota Bandung ini pembaca dapat melihat bahwa dunia politik, secara langsung ataupun tidak, selalu berujung pada dua hal, yakni kebaikan atau penderitaan bagi rakyat. Tinggal bagaimana pemimpin dapat melihatnya untuk menemukan solusi.

Bagi pembaca di Indonesia, buku ini akan lebih menarik jika Lian Gouw dapat secara detail menunjukkan atau menggambarkan kehidupan masyarakat Bandung pada masa itu. Dengan begitu, novel ini tidak sekadar menyajikan cerita yang menarik dan menyentuh, namun juga sebuah "catatan" sosiologis yang menawan.

Selain itu, jika saja Lian Gouw berhasil menambahkan catatan mengenai tempat-tempat bersejarah di kota Bandung pada masa itu, niscaya novel ini akan semakin mengesankan.***

Jumat, 24 September 2010

Menaksir Bencana Lingkungan Hidup


Judul : Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi
Penulis : Emil Salim
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Terbit : I, Juni 2010
Halaman : xxviii + 355 halaman
Banyak peristiwa alam yang merugikan manusia terutama disulut oleh ulah manusia itu sendiri. Menurunnya permukaan tanah di kota-kota besar, banjir, krisis air bersih, musim yang tidak lagi dapat diprediksi, adalah fenomena alam yang muncul karena manusia tidak lagi menghargai lingkungannya.
Sayangnya, ketimbang mencari solusi, banyak negara malah berupaya untuk saling melemparkan kesalahan. Negara-negara maju dan negara berkembang saling tuding menunjuk siapa yang paling bertanggung atas meningkatnya emisi gas rumah kaca di seluruh dunia.
Sejumlah pertemuan antar negara untuk membahas hal tersebut memang terjadi, sebut saja Protokol Kyoto Jilid I (yang akan berakhir pada tahun 2012). Namun pencapaian maksimal masih urung terjadi.
Menurut Emil Salim, penulis buku Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi ini, memang tidak mudah untuk mencapai kesepakatan. Namun yang paling penting adalah bagaimana setiap negara memiliki kesadaran bahwa bumi berada dalam kondisi yang memprihatinkan.
Untuk itu, setiap negara perlu memiliki regulasi yang dapat mengurangi gas karbon, baik tansportasi, indutri maupun rumah tangga. Selain itu harus ada pula regulasi yang mengupayakan teknologi ramah lingkungan, serta penggunaan energi terbarukan.
Dalam buku ini Emil Salim juga menyinggung masalah pengelolaan sumber daya alam. Menurutnya, pengelolaan sumber daya alam tidak hanya memunculkan masalah-masalah lingkungan, namun juga persoalan sosial.
Emil Salim mencontohkan, pembangunan pertambangan di daerah terpencil acap kali memunculkan konflik. Hal ini ini diistilahkan oleh Emil Salim sebagai akibat dari gagalnya mekanisme pasar menangkap isyarat sistem kehidupan sosial dan lingkungan.
Emil Salim juga mengkritik pembangunan di wilayah-wilayah resapan air seperti halnya Bopunjur. Menurutnya sudah sejak lama Presiden Soekarno meminta agar kawasan Bopunjur tidak banyak "diganggu". Namun hal tersebut tidak digubris, akibatnya banjir di Jakarta kian tidak terkendali.
Contoh lain pembangunan yang tidak memerhatikan dampak lingkungan adalah pembangunan jalan tol. Jalan tol memang telah menjadi "pembuluh darah" untuk mengalirkan "gula-gula" ekonomi ke sejumlah kota di sekitar Jakarta.
Sayangnya, pembangunan jalan tol tersebut telah mengorbankan ribuan hektar lahan persawahan yang akan berdampak pada ketersediaan bahan pangan, serta hilanganya ribuan hektar lahan daerah resapan air yang potensial mengakibatkan banjir dan kekeringan yang hebat.
Selain itu, tidak dapat dihindari pula, matinya beragam usaha maupun bisnis masyarakat di jalur lama, seperti rumah makan ataupun pedagang oleh-oleh. Hal ini disebabkan kendaraan lebih memilih melewati jalan tol ketimbang jalan lama.
Oleh sebab itu, Emil Salim kembali mengingatkan kita semua untuk benar-benar memperhitungan faktor lingkungan dalam pembangunan, terutama di kota-kota besar. Seakan ia juga ingin mengatakan, kota-kota yang masih gandrung membangun gedung bertingkat dan mal tanpa mengindahkan dampak lingkungan, bersiaplah menghadapi bencana yang tidak main-maiin.***

Minggu, 29 Agustus 2010

Betawi Sepanjang Jalan Kenangan


Judul : Batavia 1740, Menyisir Jejak Betawi
Penulis : Windoro Adi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : I, Agustus 2010
Halaman : 479 Halaman


Berbicara menangani etnis Betawi, tidak lagi sekadar berbicara mengenai pengaruh Arab maupun Cina. Kini persoalannya adalah bagaimana identitas etnis ini dapat bertahan seiring percepatan perubahan Jakarta yang enggan berhenti.
Jumlah pendatang yang tidak pernah surut, budaya asing yang terus menggempur, telah membuat identitas Betawi kian tidak terlihat. Padahal, semestinya, identitas budaya ini tetap kental meskipun Jakarta telah menjadi sebuah metropolitan.
Kira-kira, itulah yang ingin disampaikan Windoro Adi lewat buku ini. Ia seperti ingin memperlihatkan bahwa identitas Betawi perlahan-lahan memang tergeser dan terpinggirkan. Di sana-sini memang mencoba untuk bertahan, tetapi tetap saja menjadi bagian minor.
Sebut saja musik gambang kromong. Musik yang lahir dari kantong-kantong budaya Cina yang tersebar di sejumlah tempat di Jakarta ini, kini semakin tidak dihiraukan oleh generasi muda. Pertumbuhan kelompok musik gambang kromong dapat dipastikan jauh di bawah pertumbuhan kelompok musik pop.
Akhirnya seperti yang terlihat, pemain musik gambang kromong didominasi para pemain tua. Mereka tetap setia bermain gambang kromong bukan karena musik itu menghasilkan pendapatan yang lumayan, tetapi karena kecintaan mereka dalam memainkan musik tersebut.
Hal yang sama terjadi juga dengan lenong. Drama yang sarat komedi ini perlahan semakin jarang dilihat, baik di gedung kesenian maupun di televisi. Entah kenapa. Apakah karena kesenian ini dianggap kelas dua, sehingga kurang bernilai jual ketimbang kesenian lain seperti ketoprak misalnya.
Apakah mungkin hal tersebut disebabkan kesenian-kesenian ini belum dapat sepenuhnya tampil lebih berani, dalam arti keluar dari pakem agar lebih dapat diterima oleh masyarakat luas. Mungkin jawabannya "ya".
Jika demikian, mengapa kesenian Betawi kurang dapat beradaptasi? Padahal, sepanjang sejarah, seperti dikisahkan dalam buku ini, masyarakat Betawi sendiri sebenarnya terbentuk dari akulturasi sejumlah etnis, artinya ada sifat keterbukaan dan toleransi tersimpan di sana. Jika begitu, sebenarnya kesenian Betawi lebih dapat beradaptasi.
Kekurangpedulian otoritas terkait terhadap masalah ini menjadi salah satu faktor penyebabnya. Pembiaran terhadap masalah yang terjadi terus memperparah masalahnya. Perkembangan kota Jakarta yang tidak dapat dihentikan dan cenderung tidak terkendali, membuat identitas Betawi kian pudar.
Ketidakpedulian otoritas terkait juga terlihat dalam bagaimana cara mereka memperlakukan peninggalan peninggalan sejarah. Banyak bangunan bersejarah di Jakarta yang memang tidak mendapatkan perhatian. Banyak gedung dinyatakan sebagai heritage kota, namun gedung-gedung tersebut dibiarkan begitu saja. Bahkan nasibnya seakan tidak dihiraukan, ketika bangunan tersebut diambil alih oleh pihak swasta. Parahnya banyak gedung yang dirobohkan kendati bangunan tersebut bernilai sejarah.
Selain itu, penulis buku ini juga ingin mengajak pembaca bernostalgia. Banyak cerita mengenai suatu tempat yang disampaikan dalam buku ini yang memang hanya tinggal cerita. Misalnya saja kawasan Rawa Belong. Dikisahkan dalam buku ini bahwa Rawa Belong pada suatu masa menjadi tempat yang terkenal seantero Jakarta.
Kondanganya tempat ini tentu saja tidak telepas dari keberadaan para jagoan silat yang berada di wlayah Rawa Belong. Tidak mengherankan jika kemudian Rawa Belong jadi pusat latihan silat di masa itu. Murid-muridnya pun datang dari berbagai daerah di Jakarta. Bahkan kemudian sejumlah guru silat legendaris lahir di sini.
Tetapi dimana jejak masa emas Rawa Belong saat ini? Hampir tanpa bekas. Kini kawasan Rawa Belong lebih terkenal dengan kawasan kuliner Betawi. Beberapa kedai nasi udik Betawi mangkal di sekitar kawasan ini. Sisanya adalah pertokoan biasa dan perkampungan mahasiswa.
Untung saja, tradisi seperti "buka palang pintu", yakni adu silat dalam penyambutan pengantin laki-laki, masih dapat ditemui di wilayah itu. Dengan begitu jejak Rawa Belong sebagai "gudang" jago cingkrik (silat Betawi) masih dapat dilihat.
Selain itu, buku ini juga menyinggung beberapa jenis makanan khas Betawi. Makanan yang tebilang klasik diulas dalam buku ini, mulai dari kembang goyang, tape uli, gemblong sampai cucur. Makanan ini memang kalah pamor dengan kue-kue yang dijual di pusat-pusat belanja. Tetapi kue-kue tradisional nan klasik tentu masih mendapat tersendiri di hati masyarakat.
Makanan khas Betawi yang diulas secara khusus dalam buku ini adalah nasi kebuli. Meskipun nasi kebuli mendapatkan sentuhan dari Yaman Selatan namun orang Betawi sudah memiliki racikan spesial yang telah pas di lidah orang Betawi. Di buku ini ditulis dimana saja pembaca dapat mencicipi nasi kebuli tersebut.
Kelebihan buku ini adalah kemampuan penulisnya untuk melakukan penelusuran dan pengamatan di lapangan. Apalagi sejumlah wawancara dilakukan dengan narasumber yang tepat. Inilah yang membuat buku ini semakin hidup, terutama bagi mereka yang berada di Jakarta. Dengan membaca buku ini, pembaca akan mengetahui lebih banyak kisah maupun sejarah di balik gemerlap dan kelamnya Jakarta.
Batavia 1740 bukan sekadar ikhwal Betawi, tetapi juga sebuah cara untuk melihat bagaimana sebuah kultur terbangun dan berproses. Apakah kemudian proses tersebut akan terhenti atau justru punah karena kemajuan jaman.***

Selasa, 17 Agustus 2010

Protes Penuntasan Tragedi Mei 1998


Judul : Hotel Pro Deo
Penulis : Remy Sylado
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Terbit : Juli, 2010
Tebal : 1.016 halaman
Harga : Rp. 200.000
Novel ini bukan novel sejarah, namun di dengan latar belakang fakta historis, Remy Sylado sanggup membuat novel ini menjadi lebih hidup. Apalagi fakta historis tersebut kontroversial dan tidak terjawab tuntas hingga kini.
Penulis menilai, inilah salah satu kelebihan Hotel Pro Deo. Fakta dan fiksi berhasil “dikawinkan” sehingga menghasilkan sebuah karya yang memang patut dibaca. Mungkin inilah cara yang dilakukan oleh Remy Sylado sebagai jawaban atas kegelisahannya dalam melihat fakta sejarah, yakni peristiwa yang terjadi di sekitar Mei 1998.
Dalam novel ini Remy tidak hanya secara jelas mengisahkan peristiwa-peristiwa penting pada masa itu, mulai dari kerusuhan berbau rasial, sampai lengsernya Presiden Soeharto tetapi juga membuka kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di balik semua peristiwa itu.
Persoalan pembantaian etnis Tionghoa misalnya, Remy menggambarkan bahwa itu mungkin terjadi karena rekayasa atas dasar kepentingan tertentu. Di sini tampak, sementara ada pihak yang masih meragukan terjadinya peristiwa itu di tahun 1998, Remy “bersikeras” bahwa fakta itu ada, namun penuntasannya tidak seperti yang diharapkan.
Itulah protes Remy, seperti ia juga memrotes pejabat yang cenderung korup, menyalahgunakan wewenang, merekayasa fakta, licik dan kotor, demi mencapai tujuan tertentu. Dalam novel ini Remy menggunakan tokoh pejabat kepolisian, Kombes Dharsana untuk menunjukkan hal tersebut.
Untuk mencapai tujuannya, Kombes Dharasana yang digambarkan penggemar perempuan, tega menghilangkan nyawa anak tirinya, merekayasa fakta, sampai memanfaatkan orang lain untuk membunuh dan mencelakakan musuh-musuhnya.
Namun, diceritakan dalam buku ini, sepak terjang Dharsana memang berhasil dilumpuhkan. Apalagi salah seorang rekannya yang juga memiliki jabatan di kepolisian, Rachmat Wirjono, ikut mendukung usaha untuk menghentikan kejahatan yang dilakukan oleh Dharsana.
Di titik iniah Remy seperti memiliki harapan. Ia yakin bahwa dalam lembaga yang selalu dituduh korup, masih ada sosok yang mash memiliki hati nurani, mau membela kebenaran, dan membersihkan lembaga tempatnya mengabdi dari orang-orang tidak bermoral.
Keasyikan pembaca dalam membaca novel ini bertambah karena Remy sering membahas “kesalahkaprahan” umum dalam penggunaan Bahasa Indonesia, misalnya saja penyebutan istilah “aktor intelektual”.
Menurut Remy istilah tersebut salah pakai jika ditujukan sebagai penyebutan “dalang” dari sebuah peristiwa. Menurutnya, istilah yang digunakan seharusnya adalah “auctor intellectualis”, bahasa Belanda, yang kira-kira berarti “pemikir di belakang layar”.
Kritik atas buku ini adalah, pengisahan jalannya persidangan atas Dharsana. Kisah tersebut disampaikan secara detil di bagian akhir novel ini. Menurut hemat penulis, detil jalannya persidangan tidak perlu disampaikan. Pasalnya, hal itu menjadi pengulangan atas apa yang telah diikuti oleh pembaca. Tanpa pengisahan jalannya persidangan, jalan cerita novel ini tetap kuat.
Dari novel ini, pembaca dapat belajar bahwa sebuah peristiwa besar tidak pernah berdiri sendiri, namun berdimensi luas dengan kompleksitas keterkaitan yang sulit untuk dijelaskan maupun diurai. Mungkin hanya sastra yang dapat memetakan modelnya.***
(dimuat di HU Koran Jakarta, 21 Agustus 2010)