Jumat, 15 Oktober 2010

Prahara di Tengah Ketegangan Budaya




Judul : Only a Girl, Menantang Phoenix
Penulis : Lian Gouw
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : I, Oktober 2010
Halaman : 385 Halaman
Harga : Rp. 65.000.
Pengadopsian kultur baru oleh sebuah masyarakat sering memunculkan guncangan. Hal ini terutama terjadi karena kultur baru memiliki nilai-nilai yang bertentangan dengan kultur lama. Tuduhan bahwa kultur lain tidak lebih beradab dari kultur yang sedang dipegang, semakin memperparah kondisi ini.

Menariknya, hal tersebut lebih banyak terjadi di kalangan "kaum tua" yang acap kali dilabeli sebagai golongan yang konservatif. Sebaliknya, di kalangan kaum muda, kultur baru dianggap lebih baik, modern, dan lebih manusiawi. Itu sebabnya mereka tidak segan untuk mengadopsinya.

Hal seperti itulah yang digambarkan dalam novel yang Only Girl, Menantang Phoenix yang ditulis oleh Lian Gouw ini. Dalam novel yang mengambil latar belakang kondisi politik dan sosial Indonesia antara 1930-1952 ini, Lina Gouw ingin menunjukkan bahwa "pertemuan" sebuah kultur dengan kultur lainnya cenderung memunculkan ketegangan tertentu.

Salah satu tokoh sentral dalam buku ini, Carolien adalah seorang perempuan keturunan Tionghoa yang digambarkan sebagai sosok muda yang menganggap kultur Belanda lebih baik ketimbang kultur Tionghoa. Hal ini tampak dari bagaimana cara ia memandang pendidikan Belanda.

Ia pun selalu memandang bahwa kepercayaan masyarakat Tionghoa yang masih dilakukan oleh keluarganya adalah sebagai tahayul yang sia-sia. Bahkan ia pun "menutup mata" ketika keluarganya menentang pernikahannya dengan seorang pemuda keturunan Tionghoa yang berasal dari keluarga biasa-biasa.

Perkawinan Carolien memang kandas. Tetapi ia tetap meyakini kultur Belanda adalah yang terbaik. Bahkan ia berencana memberangkatkan putrinya Jenny untuk meneruskan studi di bidang hukum di Leiden, Belanda.

Tetapi semunya berubah ketika Indonesia merdeka. Kala itu pemerintahan yang sah sudah beralih ke tangan pemerintah Republik Indonesia. Akibatnya, perubahan terjadi di segala bidang, termasuk bidang pendidikan.

Hal itu menyulitkan Jenny. Pasalnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menjadikan Bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah, termasuk di sekolah yang sebelumnya dikelola oleh Belanda, sementara Jenny tidak pernah belajar Bahasa Indonesia sebelumnya.

Dalam suasana dan kondisi seperti itulah permasalahan dan prahara menimpa keluarga Carolien. Perubahan-perubahan di bidang politik telah membawa dampak yang tidak kecil dalam keluarga mereka. Hanya dua pilihan mereka, bertahan atau menyerah.

Dari novel ber-setting Kota Bandung ini pembaca dapat melihat bahwa dunia politik, secara langsung ataupun tidak, selalu berujung pada dua hal, yakni kebaikan atau penderitaan bagi rakyat. Tinggal bagaimana pemimpin dapat melihatnya untuk menemukan solusi.

Bagi pembaca di Indonesia, buku ini akan lebih menarik jika Lian Gouw dapat secara detail menunjukkan atau menggambarkan kehidupan masyarakat Bandung pada masa itu. Dengan begitu, novel ini tidak sekadar menyajikan cerita yang menarik dan menyentuh, namun juga sebuah "catatan" sosiologis yang menawan.

Selain itu, jika saja Lian Gouw berhasil menambahkan catatan mengenai tempat-tempat bersejarah di kota Bandung pada masa itu, niscaya novel ini akan semakin mengesankan.***

Tidak ada komentar: