Kamis, 07 April 2011

Indonesia di Mata Seorang Jerman



Judul : A Magic Gecko

Penulis : Horst Henry Geerken

Penerbit : Penerbit Buku Kompas

Terbit : I, Februari 2011

Tebal : 407 halaman

Harga : Rp. 86.000

Pengalaman menginjakkan kaki di negeri-negeri Timur selalu menyisakan pertanyaan bagi mereka yang terbiasa dengan alam pikiran Barat. Kosomologi, cara berpikir, gaya hidup, serta sistem nilai Timur yang berbeda dengan Barat, adalah faktor yang membuat "perjumpaan" dengan Timur terkesan selalu bertumbukan.

Padahal jika saja semua perbedaan itu dapat dikompromikan, pertemuan itu akan menjadi lebih indah. Tidak harus ada gejolak ataupun penolakan yang berarti. Sebaliknya keselarasanlah yang terjadi.

Keberhasilan itulah kira-kira telah dicapai oleh Horst Henry Geerken selama menjalankan tugasnya di Indonsia. Ia tidak hanya dapat memahami semesta pemikiran orang-orang Indonesia, namun juga menerimanya sebagai bagian budaya.

Geerken yang berkebangsaan Jerman adalah pegawai telekomunikasi Jerman yang tengah menjalankan tugasnya di Indonesia. Ia datang ke Indonesia pada tahun 1963 untuk membantu membangun jaringan telekomunikasi yang sangat dibutuhkan pada saat itu.

Kehadirannya di Indonesia menjelang kejatuhan Presiden Soekarno telah membawa Geerken ke dalam sebuah pengalaman menarik sekaligus menegangkan. Menarik karena ia menjadi saksi sebuah peristiwa sejarah Indoneisa. Menegangkan karena Geerken melihat sendiri kekacauan politik yang berakhir dengan pertumpahan darah.

Dalam buku ini Geerken menyajikan berbagai catatan tentang Indonesia dan keindonesiaan. Catatatan-catatan ini seperti sebuah upaya untuk memotret realitas masyarakat Indonesia secara umum.

Sebut saja kecenderungan masyarakat Indonesia untuk memercayai hal-hal yang bersifat suparantural, mistik dan serta tahayul. Bagi Geerken hal-hal tersebut bertolak belakang dengan rasionalitas Barat.

Namun Geerken tidak menolak hal tersebut. Malah dalam beberapa kasus ia membiarkan pembantunya melakukan praktik itu di lingkungannya. Hal ini menunjukkan bahwa Geerken tidak alergi dengan perbedaan-perbedaan yang ada.

Meskipun begitu, Geerken juga mencatat sejumlah masalah budaya yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Bagi Geerken hal itu tidak lepas dari latar belakang yang rumit. Inferioritas terhadap bangsa berkulit putih misalnya, adalah wujud keberhasilan pemerintah kolonial dalam menanamkan ketakutan yang berlebihan terhadap bangsa penjajah. Akibatnya, dalam jangka waktu panjang, orang-orang berkulit putih dianggap sebagai orang dengan derajat yang lebih tinggi.

Namun Geerken mencatat juga, sepak terjang Soekarno dalam politik internasional adalah bentuk pemberontakan dan usaha untuk lepas dari inferioritas tersebut. Soekarno yang terang-terangan melawan imperialisme Amerika Serikat dan Inggris adalah simbol perlawanan itu.

Lewat catatannya Geerken ingin menegaskan bahwa bangsa yang terjajah pun memliki potensi untuk melakukan perlawanan serta pemberontakan. Penolakan terhadap intervensi negara-negara Barat adalah sebuah pesan bahwa banyak masalah di negara berkembang tidak selalu dapat diselesaikan dengan formualsi Barat.

Tidak mengherankan apabila kemudian Soekarno dekat dengan Blok Timur. Namun inilah yang memicu kegerahan Amerika Serikat. Dari sinilah berhembus isu bahwa dinas rahasia Amerika Serikat, CIA, memiliki peran yang strategis dalam menjatuhkan Presiden Soekarno.

Bahkan ada indikasi bahwa lembaga yang sama juga berperan dalam pembasmian orang-orang yang dianggap berhaluan komunis. Mengenai hal tersebut Geerken menegaskan, bukti-bukti yang ada mengarah kepada keterlibatan Amerika Serikat.

Namun Amerika Serikat tidak mau mengakuinya. Padahal ada bukti bahwa Kedutaan Besar Amerika Serika di Jakarta memiliki daftar nama orang-orang komunis dalam tubuh militer Indonesia. Orang-orang ini kemudian disingkirkan secara sistematis (hal. 264).

Kedekatan Geerken dengan Soekarno tidak hanya menguak sejumlah aktivitas politik Soekarno, namun juga kehidupan pribadi presiden pertama Republik Indonesia tersebut. Di sinilah sisi lain Soekarno terungkap. Ia tidak hanya seorang presiden, namun juga seorang seniman dengan citarasa yang tinggi. Sebagian kecil kisah cintanya pun diungkapkan Geerken dalam buku ini.

Meskipun buku ini memiliki sub judul Peran CIA di Balik Jatuhnya Soekarno, tetapi tidak seluruh bab dalam buku ini mengulas hal tersebut. Sebagian besar isi buku ini adalah pengalaman Geerken bertemu dengan banyak orang Indonesia, baik secara kultural maupun filosofis. Dari sinilah ia mengenal "kekayaan" keindonesiaan.

Semua itu diungkapkan Geerken secara objektif, lugas, bahkan dengan sangat cair. Inilah yang membuat buku ini tidak membosankan ketika dinikmati.***



Minggu, 27 Maret 2011

Ketertindasan dan Kekuatan Perempuan Jawa


Judul : Hati Sinden

Penulis : Dwi Rahayuningnsih

Penerbit : DIVA Press

Terbit : I, Januri 2011

Tebal : 404 halaman

Harga : Rp. 50.000



Perempuan Jawa adalah wajah ketertindasan. Ia tidak memiliki posisi yang sejajar dengan laki-laki. Sebaliknya, ia menjadi korban dominasi laki-laki. Di sini ada persekongkolan kultural kekuasaan yang menguatkan posisi dan peran tradisional perempuan.

Itulah yang dihadirkan oleh Dwi Rahayuningnsih lewat novel ini. Ia menghadirkan sosok perempuan Jawa dengan problem-problem budaya yang mengungkung. Namun, demi harmoni, mereka lebih memilih untuk “berdamai” dengannya.

Sayem, tokoh sentral dalam Hati Sinden, adalah simbolisasi perempuan Jawa tersebut. Ia berasal dari keluarga miskin. Dua kali ia diceraikan oleh suaminya. Pada perceraian ke dua, alasan yang digunakan ialah Sayem tidak dapat memberikan keturunan.

Perceraian itu ternyata tidak menghancurkan mentalnya. Meskipun dukanya mendalam, Sayem berusaha untuk bangkit. Ia tidak mau tenggelam dalam kesedihan. Ia terus mencoba untuk kembali menata hidupnya.

Ketertarikan Sayem kepada syair-syair Jawa klasik mendorongnya untuk menjadi sinden. Namun bukan uang ataupun popularitas yang dicarinya, melainkan ketenangan yang merasuk ke dalam hati saat ia melantunkan syair-syair Jawa yang penuh makna.

Sayem kemudian bergabung dengan sebuah grup karawitan. Di sini pun ia berhadapan dengan berbagai masalah, mulai dari perseteruan dengan sinden lain, hingga keinginan Priyo, pemimpin grup karawitan tempat ia bergabung, untuk menikahinya.

Hubungan Sayem dengan Priyo mengantarkan Sayem kepada pernikahannya yang ke tiga. Tetapi badai lagi-lagi melanda. Priyo tidak hanya ketahuan sebagai pria yang telah memiliki istri, namun juga terbongkar sebagai lelaki yang tergila-gila kepada perempuan lain.

Sayem akhirnya pasrah. Ia tidak bercerai dengan Priyo namun memutuskan untuk hidup berpisah dengan suaminya itu. Tanpa banyak bantuan dari Priyo, Sayem berusaha untuk membesarkan anak-anaknya.

Di titik inilah tampak Sayem tampil sebagai perempuan Jawa yang memiliki kekuatan. Meskipun ia berada dalam posisi yang terkalahkan, namun ia tidak melakukan pemberontakan dengan melawan kekuasaan. Sebaliknya, Sayem mencoba “bermain” dalam lingkar kekuasaan Priyo sehingga berhasil mengantarkan anak-anaknya ke dalam kehidupan yang lebih baik.

Lewat peran-peran dan nilai-nilai tradisional, Sayem berhasil menjadi pribadi yang kuat dan mengalahkan realitas dalam wilayah subordinasi yang mengepungnya. Seperti yang diungkapkan oleh Sayem sendiri bahwa hidup adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan peran yang dijalankan (hal. 388).

Novel ini seperti mengingatkan bahwa perempuan Jawa yang secara stereotip berada di bawah bayang-bayang kuasa dunia matriarki, memiliki potensi untuk menggeser hegemoni. Ia seakan mendekonstruksi struktur tanpa harus merevolusi konsepsi budaya yang telah mapan.

Kritik terhadap novel ini ialah, hingga separuh buku masih belum tampak dunia sinden seperti yang “dijanjikan” lewat judul. Jika saja Sayem dan dunia kesindenannya dikisahkan lebih awal, maka akan semakin banyak seluk-beluk dunia sinden yang menarik yang dapat disampaikan.***


Kamis, 17 Maret 2011

Memoar Seorang Budayawan


Judul: 65=67, Catatan Acak-acakan, Cacatan Apa Adanya

Penulis : Ayatrohaedi

Penerbit: Pustaka Jaya

Terbit: I, Januari 2011

Halaman: 631

Harga: Rp. 90.000

Ayatrohaedi adalah sosok yang menonjol dalam jagat kebudayaan Indonesia. Ia adalah orang yang banyak terlibat langsung dalam perkembangan ilmu-ilmu kebudayaan, kesusastraan, dan kepurbakalaan di Indonesia.

Buku ini mengisahkan perjalanan "karir" Ayatrohaedi sejak ia menjadi mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia, hingga menjadi guru besar di Fakultas Ilmu Budaya di almamaternya, Universitas Indonesia.

Kehidupan yang sederhana namun penuh dinamika adalah ungkapan yang pas untuk menggambarkan periode kehidupan Ayat, demikian panggilan akrab Ayatrohaedi, selama menjadi mahasiswa tingkat sarjana di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Dikatakan sederhana karena Ayat adalah sosok yang menjalani kehidupan sebagai mahasiswa dengan apa adanya. Ia tidak berusaha memiliki gaya hidup lebih dari apa yang dapat dilakukannya.

Ayat juga disebut penuh dinamika karena selama menjalani dunia mahasiswa ia banyak aktif dalam berbagai kegiatan, mulai dari yang bersifat akademis hingga kegiatan "turun ke jalan" untuk menentang rejim penguasa.

Salah satu hal yang dikisahkan oleh Ayat adalah bagaimana ia melihat Arif Rahman Hakim, mahasiswa Universitas Indonesia yang tertembak ketika menggelar unjuk rasa Tritura. Ayat melihat sendiri Arif yang berada di belakangnya bersimbah darah akibat tembakan.

Oleh karena itu ia merasa kecewa dengan ucapan seorang kader partai besar yang mengatakan bahwa Arif Rahman Hakim adalah tokoh fiksi yang sengaja dihembuskan saja untuk menarik perhatian.

Ayat juga mengisahkan peristiwa pergulatan intelektualnya. Salah satunya adalah keterlibatan Ayat dalam Lembaga Basa Jeung Sastra Sunda (LBSS) atau Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda. Dalam lembaga ini Ayat berkesempatan menuliskan makalah mengenai naskah-naskah tua berbahasa Sunda.

Menurut Ayat, banyak naskah serta prasasti Sunda yang belum tersentuh. Padahal, naskah itu mengandung kisah sejarah ataupun ajaran berharga yang sebaiknya diketahui secara luas.

Sejumlah orang yang dekat dengannya, kebanyakan seniman dan akademisi, sempat pula dikisahkan dalam buku ini. Salah seorang diantaranya adalah Ramadhan KH. Ayat menceritakan, banyak seniman yang datang kepada Ramadhan, yang kala itu menjadi pemimpin redaksi Siasat Baru, untuk menyerahkan karangannya.

Namun para pengarang itu meminta honorarium di muka. Mau tidak mau, Ramadhan harus membayarnya dengan uang sendiri sebelum tulisan itu dimuat. Hal ini memperlihatkan dua hal. Pertama, kuatnya hubungan antara seniman kala itu. Kedua, kebanyakan seniman pada masa adalah orang yang hidupnya cukup sulit.

Lewat buku ini pembaca juga dapat sejumlah pengalaman Ayat yang berkaitan dengan dunia kepengarangannya. Dari sini dapat pembaca tidak hanya dapat mengetahui proses kreatifnya, namun juga nilai-nilai yang mengarusi karyanya.

Ayatrohaedi telah tiada. Namun dari apa yang disampaikan pembaca dapat belajar bahwa kepakaran tidak harus menjadikan seseorang merasa tahu segalanya, justru tetap bersikap sederhana dan bersahaja, sebab dari sanalah kekayaan itu muncul.***

Termuat di HU Koran Jakarta, Maret 2010


Minggu, 27 Februari 2011

Mohamad Hatta di Balik Kemerdekaan



Judul : Untuk Negeriku (Autobiografi Mohammad Hatta)

Penulis : Mohammad Hatta

Penerbit : Penerbit Buku kompas

Terbit : I, Januari 2011

Harga : Rp.125.000.


Pemikiran ekonomi maupun politik Mohammad Hatta telah ikut menentukan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Jika itu semua berasal dari sebuah situasi mental dan kultural tertentu, maka buku inilah yang dapat menggambarkan bagaimana pemikiran itu terbentuk.

Dari buku yang merupakan autobiografi Mohammad Hatta ini, pembaca dapat melihat bahwa karakter Hatta ternyata tidak lepas dari latar belakang budaya, keluarga, pendidikan, dan pengalaman politiknya.

Latar pendidikan Hatta yang bercorak Barat, latar belakang budaya yang Islami dan menghargai pendidikan, telah membantu Hatta yang selalu ingin kritis terhadap apa yang dilihatnya. Jika memang hal itu memerlukan perbaaikan, maka itulah yang harus dilakukan tanpa kompromi.

Untuk Negeriku dibagi menjadi tiga buah judul buku yakni Buktitinggi-Rotterdam Lewat Betawi, Berjuang dan Dibuang, serta Menuju Gerbang Kemerdekaan. Masing-masing buku menandai perioode dalam kehidupan Hatta.

Buktitinggi-Rotteredam Lewat Betawi (buku 1) mengisahkan masa kecil Hatta di Padang. Dalam buku ini Hatta juga menceritakan pengalamannya ketika melanjutkan pendidikannya di Batavia, serta bagaimana ia mulai memasuki dunia pergerakan mahasiswa di Belanda.

Buku kedua, Berjuang dan Dibuang (buku 2), berisi kisah Hatta ketika ia sudah kembali ke Indonesia. Di sinilah Hatta menghadapi berbagai rintangan dalam perjuangan menuju kemerdekaan. Pada periode waktu inilah ia bertemu dengan Soekarno.

Sedangkan dalam buku Menuju Gerbang Kemerdekaan (buku 3), Hatta mengisahkan berbagai peristiwa yang mewarnai saat-saat menjelang kemerdekaan Republik Indonesia. Di sini pembaca dapat melihat bagaimana para pendiri bangsa berada dalam situasi yang tidak mudah membuat pernyataan kemerdekaan. Perbedaan pendapat antara Syahrir, Hatta dan Soekarno adalah penyebabnya.

Sebagai sebuah autobiografi seseorang yang ikut membidani kelahiran sebuah bangsa yang merdeka, buku ini menjadi sebuah sumber sejarah yang sangat penting. Sejumlah peristiwa yang sebelumnya menjadi kontroversi, akan memperoleh perspektif lain.

Sebut saja peritiwa penculikan Soekarno yang dilakukan sekelompok pemuda. Apakah benar hal itu dipicu oleh keengganan Soekarno dan Hatta untuk menunda-nunda kemerdekaan? Jawabanya, Soekarno dan Hatta justru memiliki alasan yang rasional. Mereka ingin proklamasi kemerdekaan dilakukan oleh panitia yang sudah dibentuk yakni Panitia Persiapan Kemerdekaan Indoenesia.

Kala itu Soekarno merasa tidak memiliki hak untuk mengatasnamakan rakyat Indonesia. Tindakan yang ia lakukan harus dengan persetujuan panitia yang diketuainya sendiri. Inilah yang menyulut kenekatan para pemuda membawa Soekarno dan Hatta ke Regasdengklok.

Dari buku ini kita dapat melihat bagaimana Hatta dan orang-orang yang terlibat dalam usaha kemerdekaan Indonesia, adalah orang-orang yang berjuang tanpa pamrih. Apa yang mereka lakukan adalah untuk mengakhiri penindasan yang dilakukan oleh kaum imperialis. Tidak sedikit pun terbesit keinginan untuk menduduki jabatan tertentu. Inilah yang harus dijadikan contoh oleh para calon pemimpin bangsa sekarang ini.****


Rabu, 16 Februari 2011

Seruan Sikap Toleransi


Judul : Maluku Kobaran Cintaku
Penulis : Ratna Sarumpaet
Penerbit : Komodo Books
Terbit : I, Desember 2010
Halaman : 512 halaman
Harga : Rp. 72.000

Aksi kekerasan atas nama agama kembali terjadi. Hal ini memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia tengah menghadapi tantangan kebangsaan yang besar. Persoalannya, apa akar persoalan dari semua peristiwa tersebut.

Harus diakui, akar masalahnya tidak tunggal, melainkan multidimensional. Tidak mudah untuk mengambinghitamkan satu faktor saja. Setiap faktor dapat saja terkait dengan faktor-faktor lainnya.

Novel Maluku Kobaran Cintaku yang ditulis oleh Ratna Sarumpaet ini memperlihatkan bahwa pertikaian antar umat beragama, sering kali bersumber pada faktor eksternal. Faktor-faktor itu tidak insidental, melainkan sudah menahun.

Salah satu faktor eksternal yang diidentifikasi oleh Ratna dalam novel ini adalah kebijakan pemerintah yang dirasa tidak adil. Salah satunya adalah undang-undang kelautan yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat Maluku.

Di samping itu, Ratna juga memperlihatkan bahwa kekerasan yang kian melebar di Maluku tidak lepas dari kepentingan banyak pihak. Ada kekuatan yang dengan sengaja terus membakar suasana untuk keuntungan pihat tertentu.

Bagi Ratna, tidak masuk akal bila saling pengertian antar umat beragama yang sudah dibina sejak lama di Maluku dapat hancur dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini tidak akan terjadi apabila tidak ada usaha atau skenario yang sengaja disusun untuk memanaskan suasana di sana.

Itu sebabnya Ratna tidak putus-putusnya mengingatkan adanya pihak-pihak yang "bermain" di belakang setiap gesekan yang timbul dalam masyarakat. Oleh sebab itu, penting untuk menyaring setiap isu yang berkembang dalam masyarakat.

Lebih dari itu semua, Ratna menyerukan pentingnya sikap toleransi antar umat beragama. Sejak bab pertama, ia secara tegas menyerukan hal ini. Baginya, toleransi adalah kunci perdamaian.

Di Maluku sendiri komunikasi yang baik, hubungan timbal balik yang kuat antar umat beragama sebenarnya sudah lama terjadi. Bahkan tokoh-tokoh agama, baik dari kalangan Kristen maupun Islam, digambarkan memiliki toleransi yang tinggi. Mereka pun menjalin dialog ketika terjadi krisis kepercayaan antar umat. Sayangnya, hal itu tidak mengalir ke tingkat bawah.

Sejumlah tokoh muda--demikian dikisahkan dalam novel ini--dengan latar belakang agama yang berbeda-beda kemudian muncul. Mereka berusaha membangun kembali kepercayaan antar umat beragama. Mereka mendirikan organisasi independen yang berusaha mengembalikan perdamaian di Maluku.

Anak-anak muda tersebut sadar, jika keadaan tidak segera dibenahi, maka kehancuran yang lebih hebat bakal terjadi. Sayangnya cita-cita luhur mereka dihadang oleh berbagai konflik yang pelik.

Lewat novel ini Ratna juga ingin mengatakan bahwa permusuhan antar umat beragama hanya dapat direhabilitasi dengan membangun kembali semangat saling pengertian. Hal itu tidak hanya tugas pemerintah, namun juga tokoh-tokoh agama.

Di sini tokoh agama harus dapat mengembangkan sebuah dakwah yang menyejukkan dan membawa kebaikan bagi seluruh umat manusia. Sudah seharusnya tidak ada lagi tempat di negeri ini bagi mereka yang memonopoli kebenaran.***