Senin, 02 Agustus 2010

Mempertanyakan Humanitas Kolonialisme




Judul : Emilie Jawa 1904
Penulis: Catherien Van Moppes
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Cetak: Juli 2010
Halaman: 481 halaman


Kolonialisme tidak pernah membawa kesejahteraan bagi rakyat yang dijajah. Sehumanis apa pun wajah kolonalisme, hasilnya hanyalah dehumanisasi. Tidak mengherankan jika pemberontakan kerap terjadi bahkan ketika praktik politik etis dilaksanakan di tanah jajahan.
Itu yang dapat ditangkap dalam buku Emilie Jawa 1904 ini. Dalam buku ini digambarkan bagaimana poltik etis yang dicoba dilakukan di Hindia Belanda ternyata tetap mendapatkan penolakan dari kaum yang merasa terjajah.

Itulah yang disaksikan oleh Emilie, seorang perempuan berdarah Prancis, istri seorang asisten keamanan pemerintah kolonial. Emilie yang datang ke Jawa di tahun 1904 untuk mendampingi suaminya, Lucien, adalah tokoh sentral dalam novel ini.Ia digambarkan mengalami sendiri pergolakan di tanah jajahan pada masa itu.

Setengah bagian awal buku ini menceritakan apa saja yang dilakukan oleh Emilie sebagai persiapan untuk datang ke tanah jajahan, termasuk interaksinya dengan sejumlah pejabat pemerintah kolonial, baik di Prancis maupun Belanda.Dari interaksi inilah terlihat bagaimana pandangan orangorang di negeri kolonial dalam memandang pribumi di tanah jajahan.

Bagi pemerintah kolonial, orangorang pribumi di tanah jajahan adalah orang-orang yang dungu, primitif, dan perlu dididik untuk menjadi orangorang yang lebih beradab dan manusiawi.Oleh karenanya, dipandang perlu untuk mengukuhkan moralitas masyarakat setempat dengan membangun fondasi peradaban bagi orang Jawa yang dianggap kafir dan barbar (hal 84).

Setiba di Jawa, Lucien dibebani tugas untuk ikut mengampanyekan arti kebijakan humanis. Tugas itu dilengkapi dengan perintah untuk meredam segala bentuk gejolak yang bernada anti-Barat.Pada masa itu memang banyak muncul golongan anti-Barat yang disebut sebagai kaum idealis fanatik gaya baru. Mereka banyak dipengaruhi pemberontak serta separatis dari China, Jepang, maupun Filipina.

Emilie pun menjadi akrab dengan orang-orang yang dekat dengan dunia pergerakan. Inilah yang menjadikan pandangan serta posisi Emilie menjadi berseberangan dengan suaminya. Belakangan, hal ini menjadi legitimasi baginya untuk mengkhianati pernikahanya, lalu menjalin cinta dengan Anendo yang terkait dengan tokoh-tokoh pemberontak.

Jalinan kisah cinta antara Emilie dan Anendo tampak digunakan oleh penulis buku ini, Catherine Van Moppes, sebagai salah simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Lucien yang berada di pihak kolonial dilawan oleh Emilie yang bersimpati dengan gerakan-gerakan anti hegemoni Barat.

Catherine berhasil membawa pembaca ke dunia masa lalu yang memikat.Pada saat yang bersamaan ia juga berhasil menarik pembaca ke situasi politik dan pusaran ideologi yang berlangsung kala itu. Akhirnya, banyak pelajaran yang dapat diambil dari buku ini, terutama mengenai makna kebebasan dan kemerdekaan.***

Minggu, 11 Juli 2010

Membuka Selubung Dominasi




Judul: Dominasi Penuh Muslihat, Akar Kekerasan dan Diskrimnasi
Penulis: Haryatmoko
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: xv + 294 halaman
Harga: Rp. 65.000
Selalu ada kekuasaan di balik realitas yang melingkupi sebuah masyarakat. Sistem kemasyarakatan hingga keketatan sebuah ideologi, selalu dikonstruksi oleh "kekuasaan" tertentu. "Kekuasaan" itulah yang disebut sebagai dominasi.
Pada bagian awal buku yang ditulis oleh Haryatmoko ini, disampaikan sejumlah gagasan yang dapat membantu pembaca untuk mulai menyadari bagaimana banyak segi dalam kehidupan telah dimistifikasi oleh kekuatan tertentu.
Gagasan-gagasan tersebut berasal dari para pemikir seperti Pierre Bourdieu, Jean Baudrillard, Jurgen Habermas, Michel Foucault, hingga Jacques Derrida, yang terkenal selalu "menaruh curiga" atas kebenaran-kebenaran yang sudah terlanjur diterima secara umum.
Michel Foucault misalnya, mempertanyakan dominasi yang menciptakan makna tunggal atas seks. Foucault yang memunculkan gagasan arkeologi pengetahuan (the archeology of knowledge), yakin bahwa ada kepentingan di balik sebuah pengetahuan dalam masyarakat.
Hal yang sama juga terdapat dalam pemkiran Jurgen Habermas, salah seorang pemikiran aliran kritis Mazhab Frankfurt. Pemikiran Habermas, demikian ditulis Haryatmoko, ingin membebaskan manusia dari rasionalitas intrumental, yang kental dengan logika dan formalisme dalam menentukan kebenaran.
Selain itu, Haryatmoko juga melihat ada sejumlah dominasi utama yang kerap menjadi akar kekerasan dalam masyarakat, yakni dominasi agama, dominasi wacana, dan dominasi uang yang mengarah kepada konsumerisme.
Menurut Haryatmoko, dengan mengutip Nelson Pallmeyer, dominasi agama kerap memicu kekerasan. Kekerasan relijius tidak hanya persoalan distorsi penafsiran teks, tetapi mengakar pada anggapan bahwa Tuhan pun berhak melakukan pembalasan ataupun kekerasan sebagai bagian dari kesucianNya.
Kemudian dominasi wacana. Menurut Haryatmoko, dominasi wacana adalah hal yang paling sulit diatasi, terutama menyangkut kekerasan simbolik. Dominasi ini beroperasi pada tataran bahasa, cara kerja, dan cara bertindak (hal. 128).
Selain itu, dampak dominasi wacana cenderung halus dan tidak terasa. Parahnya, dominasi ini diakui dan diterima oleh si korban. Contoh jelas dominasi wacana adalah, posisi subordinasi perempuan.
Dominasi lain yang kental dalam masyarakat kontemporer adalah uang. Dalam masyarakat kontemporer, uang menjadi ukuran untuk menentukan berbagai hal. Lalu konsumsi tidak lagi berdasarkan kebutuhan, melainkan tanda.
Di sini, konsumen membeli barang bukan karena manfaat, tetapi dalam kaitan pemaknaan seluruh obyek (hal. 227). Bahkan konsumsi bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi karena tekanan psikologis dan sosial.
Buku ini menarik karena dengan memahami isinya, pembaca dapat menjadi lebih kritis untuk melihat dominasi di balik sistem tertentu, yang dengannya makna kebenaran tidak lagi tunggal.
Seperti lazimnya membaca buku-buku beraroma filsafat yang kuat, untuk memahami buku ini, pembaca harus mau membuka cakrawala pemikiran secara lebih luas, dan memiliki usaha lebih untuk memahami setiap terminologi serta ide kunci yang dituangkan di dalamnya.***
(Dimuat di Koran Jakarta edisi 14 Juli 2010)

Rabu, 23 Juni 2010

Pers di Bawah Bayang-bayang Kekuasaan


Judul: Trilogi Insiden
Penulis : Seno Gumira Adjidarma
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Tahun: I, April, 2010
Halaman: 452 halaman
Sastra tidak sama dengan jurnalistik. Namun, ketika jurnalistik mengalami keterbatasan dalam mengungkapkan realitas, maka sastralah yang dapat menggantikannya. Itulah yang ingin disampaikan lewat buku ini.
Trilogi Insiden terdiri dari tiga buah buku, yakni Saksi Mata, Jazz Parfum dan Insiden, serta Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Bicara. Semuanya pernah terbit ketika Orde Baru masih berkuasa. Seperti diketahui, pada masa itu, penguasa begitu membatasi gerak pers.
Pembatasan-pembatasan inilah yang membuat pers tidak bebas dalam mengungkapkan fakta-fakta yang ditemui secara terbuka. Apalagi fakta tersebut berbenturan dengan kepentingan kekuasaan.
Jika pers mencoba untuk tetap keras kepala, ancamannya tidak tanggung-tanggung, yakni pencabutan SIUPP (Surat Ijin usaha Penerbitan Pers) alias breidel. Kondisi inilah yang membuat pers tidak dapat menjalankan tugasnya secara maksimal.
Itulah latar belakang mengapa ada kebutuhan untuk mengungkapkan fakta lewat sastra. Seperti yang terlihat pada bagian pertama buku ini, Saksi Mata. Penulis buku ini, Seno Gumira Adjidarma, tampak ingin memperlihatkan apa yang terjadi di Timor Timur terutama sekitar kekerasan yang dilakukan militer terhadap masyarakat sipil pada insiden Dili di penghujung tahun 1991.
Tentu saja catatan kekerasan seperti itu tidak pernah bisa diakses lewat media yang beredar di Indonesia kala itu. Sebab pemberitaan peristiwa yang mendapat sorotan internasional itu dapat dicap sebagai berita yang mengganggu stabilitas nasional.
Kecenderungan yang sama juga tampak dari bagian kedua buku ini, yaitu Jazz, Parfum, dan Insiden. Jika dibaca selintas, kumpulan cerita pendek dalam bagian ini seperti sulit untuk diterjemahkan. Sulit sekali mencari “pintu gerbang” yang menghubungkan antara musik jazz, parfum dan insiden.
Namun jika pembaca menelaahnya secara lebih teliti, maka hubungan itu akan lebih jelas. Jazz dalam buku ini bukan sekadar musik. Di sini jazz adalah simbol kegelapan, kepedihan, dan duka yang menyayat-nyayat.
Lalu, tiupan terompet Miles Davis bukan sekadar alunan nada, namun juga seruan kepedihan, alunan kisah-kisah sedih orang-orang yang tersingkirkan. Hal yang lebih penting lagi, Miles Davis meninggal 48 hari sebelum insiden penembakan terhadap orang-orang tidak bersenjata itu terjadi (hal. 204). Kita sudah dapat menduga, teks ini merujuk kepada insiden Dili.
Pada bagian tiga buku ini, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara, Seno menuliskan sejumlah esai berkaitan dengan dunia jurnalistik. Sebagian berisi pengalamannya ketika menjadi pemimpin redaksi di majalah Jakarta Jakarta.
Dalam esai-esai tersebut ia mengisahkan ketakutan yang dialami pers bahkan telah memaksa pemimpin grup majalah tempatnya bekerja melakukan intervensi pada kebijakan redaksi. Pemberitaan yang dilakukan Jakarta Jakarta dianggap berlebihan, sehingga sejumlah orang harus “dipindahkan” ke media lain dalam grup yang sama.
Kini, di tengah iklim pers yang lebih bebas, penerbitan Trilogi Insiden memang terkesan tidak lagi kontekstual. Namun ada dua hal yang mesti dicatat. Pertama, penerbitan buku ini mengingatkan bahwa ada sejarah kelam yang dialami pers maupun masyarakat sipil oleh kekuasaan.
Kedua, kebebasan pers pada masa ini tetap terancam. Lemahnya undang-undang dan kapitalisasi media adalah ruang-ruang yang masih dapat digunakan untuk melemahkan keberadaan pers.***

Selasa, 01 Juni 2010

Catatan Kegelisahan Seorang Pendaki




Judul: Norman Edwin, Catatan Sahabat Sang Alam
Penulis: Norman Edwin
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun: Mei, 2010
Tebal: xvi + 423 Halaman
Harga: Rp. 65.000

Buku ini tidak lain merupakan laporan Norman Edwin ketika berusaha menapakkan kaki berbagai puncak tertinggi di dunia, lembah-lembah penuh misteri, hingga wilayah-wilayah yang masih menyisakan persoalan.

Namun Norman tidak hanya menuliskan kenangan indah saat ia berada di tempat-tempat tersebut, tetapi ia juga melukiskan ketegangan, saat-saat maut mengintai, hingga masalah-masalah kronis yang “menghinggapi” berbagai tempat yang disambanginya.

Di tahun 1980-an, Norman Edwin bukan lagi "anak bawang" dalam jagat pendaki gunung. Pengalamannya mendakai berbagai tempat yang jarang dikunjungi manusia telah menempatkannya menjadi salah satu pendaki andalan dari Indonesia.

Kehebatannya menuliskan pengalaman selama melakukan pendakian maupun mengikuti ekspedisi, telah membuat lelaki yang dijuluki Beruang Gunung tersebut, dipercaya untuk membuat berbagai laporan di sejumlah media cetak di Indonesia.

Jika tulisan-tulisan dalam buku ini diamati, ternyata Norman tidak hanya bercerita sesuatu yang bersifat personal. Ia tidak berpretensi untuk menunjukkan superioritasnya sebagai sosok yang sanggup menjawab keganasan alam. Namun ia juga berusaha untuk memperlihatkan berbagai kecemasan dan keprihatinannya melihat alam yang semakin rusak oleh tangan manusia.

Pada bagian awal buku ini misalnya, Norman sudah memperlihatkan bahwa padang salju yang menyelimuti Puncak Jayawjaya semakin mengalami penyusutan. Penyusutan jumlah dan luas selimut es ternyata tidak hanya terjadi pada Puncak Jayawijaya, tetapi juga sejumlah puncak gunung es yang berada di belahan dunia lain.

Berbagai teori dan spekulasi dilontarkan untuk menjawab fenomena tersebut. Namun tidak satu pun yang dapat memberikan penjelasan yang memuaskan. Tetapi, kini, sekitar 30 tahun kemudian, ada jawaban yang mungkin membuat semua pihak puas, yakni pada saat itu proses pemanasan global sudah dimulai. Proses itu pulalah yang membuat gunung es di kutub utara mulai lumer.

Keprihatinan Norman atas rusaknya alam, tercermin juga dalam tulisanya mengenai Situ Aksan (situ berarti danau dalam bahasa Sunda), sebuah danau sisa peninggalan Bandung purba. Hasil penelusuran Norman memperlihatkan bahawa Situ Kasan yan pada tahun 1940-an masih seluas lima hektar persegi, namun 40 tahun kemudian menyusut hingga seluas satu hektar saja.

Lagi-lagi, kerusakan ini terjadi akibat ulah manusia yang membebani danau tersebut, mulai dari pembangunan pemukiman di sekitar danau hingga pencemaran yang berasal dari bangunan yang berada di sekitar danau tersebut. Lalu, seperti kisah sedih tentang alam lainnya, Situ Aksan pun akan tinggal cerita saja.

Tidak hanya soal kondisi alam, dalam buku ini juga dimuat tulisan Norman mengenai sejumlah situs candi yang dirusak oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Dimuatnya tulisan ini tentu saja menunjukkan bahwa persoalan seperti ini memang masih terjadi dan jelas-jelas menuntut penyelesaian. Sayangnya, upaya penyelesaian tersebut belum maksimal.
Catatan lain dari buku ini adalah, tidak terdapatnya keterangan pada foto yang dimuat. Padahal, sebuah foto justru tidak berbicara apa-apa ketika disuguhkan tanpa caption maupun teks. Alhasil, foto-foto dalam buku ini tidak begitu terasa faedahnya sebagai pelengkap isi tulisan. Sayang sekali.

Namun begitu, diterbitkannya buku ini patut mendapat apresiasi. Tentu bukan sekadar untuk menunjukkan heroisme ataupun keberhasilan manusia “menaklukkan” alam, tetapi juga sebagai sumber inspirasi bagi banyak orang muda untuk lebih peduli pada kondisi alam yang kian memprihatinkan.

Norman Edwin memang telah tiada. Ia kehilangan nyawanya ketika melakukan ekspedisi menuju puncak Aconcagua, di Argentina pada tahun 1992. Namun berkat tulisan-tulisannya yang dikumpulkan dalam buku ini, pembaca masih dapat ikut merasakan kedahsyatan alam, sekaligus mendengarkan senandung sedih alam yang digerogoti oleh keserakahan manusia.***