Minggu, 11 Juli 2010

Membuka Selubung Dominasi




Judul: Dominasi Penuh Muslihat, Akar Kekerasan dan Diskrimnasi
Penulis: Haryatmoko
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: xv + 294 halaman
Harga: Rp. 65.000
Selalu ada kekuasaan di balik realitas yang melingkupi sebuah masyarakat. Sistem kemasyarakatan hingga keketatan sebuah ideologi, selalu dikonstruksi oleh "kekuasaan" tertentu. "Kekuasaan" itulah yang disebut sebagai dominasi.
Pada bagian awal buku yang ditulis oleh Haryatmoko ini, disampaikan sejumlah gagasan yang dapat membantu pembaca untuk mulai menyadari bagaimana banyak segi dalam kehidupan telah dimistifikasi oleh kekuatan tertentu.
Gagasan-gagasan tersebut berasal dari para pemikir seperti Pierre Bourdieu, Jean Baudrillard, Jurgen Habermas, Michel Foucault, hingga Jacques Derrida, yang terkenal selalu "menaruh curiga" atas kebenaran-kebenaran yang sudah terlanjur diterima secara umum.
Michel Foucault misalnya, mempertanyakan dominasi yang menciptakan makna tunggal atas seks. Foucault yang memunculkan gagasan arkeologi pengetahuan (the archeology of knowledge), yakin bahwa ada kepentingan di balik sebuah pengetahuan dalam masyarakat.
Hal yang sama juga terdapat dalam pemkiran Jurgen Habermas, salah seorang pemikiran aliran kritis Mazhab Frankfurt. Pemikiran Habermas, demikian ditulis Haryatmoko, ingin membebaskan manusia dari rasionalitas intrumental, yang kental dengan logika dan formalisme dalam menentukan kebenaran.
Selain itu, Haryatmoko juga melihat ada sejumlah dominasi utama yang kerap menjadi akar kekerasan dalam masyarakat, yakni dominasi agama, dominasi wacana, dan dominasi uang yang mengarah kepada konsumerisme.
Menurut Haryatmoko, dengan mengutip Nelson Pallmeyer, dominasi agama kerap memicu kekerasan. Kekerasan relijius tidak hanya persoalan distorsi penafsiran teks, tetapi mengakar pada anggapan bahwa Tuhan pun berhak melakukan pembalasan ataupun kekerasan sebagai bagian dari kesucianNya.
Kemudian dominasi wacana. Menurut Haryatmoko, dominasi wacana adalah hal yang paling sulit diatasi, terutama menyangkut kekerasan simbolik. Dominasi ini beroperasi pada tataran bahasa, cara kerja, dan cara bertindak (hal. 128).
Selain itu, dampak dominasi wacana cenderung halus dan tidak terasa. Parahnya, dominasi ini diakui dan diterima oleh si korban. Contoh jelas dominasi wacana adalah, posisi subordinasi perempuan.
Dominasi lain yang kental dalam masyarakat kontemporer adalah uang. Dalam masyarakat kontemporer, uang menjadi ukuran untuk menentukan berbagai hal. Lalu konsumsi tidak lagi berdasarkan kebutuhan, melainkan tanda.
Di sini, konsumen membeli barang bukan karena manfaat, tetapi dalam kaitan pemaknaan seluruh obyek (hal. 227). Bahkan konsumsi bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi karena tekanan psikologis dan sosial.
Buku ini menarik karena dengan memahami isinya, pembaca dapat menjadi lebih kritis untuk melihat dominasi di balik sistem tertentu, yang dengannya makna kebenaran tidak lagi tunggal.
Seperti lazimnya membaca buku-buku beraroma filsafat yang kuat, untuk memahami buku ini, pembaca harus mau membuka cakrawala pemikiran secara lebih luas, dan memiliki usaha lebih untuk memahami setiap terminologi serta ide kunci yang dituangkan di dalamnya.***
(Dimuat di Koran Jakarta edisi 14 Juli 2010)

1 komentar:

cara-blog mengatakan...

mantab dan bagus banget nich blognya, kunjungan balik ya bro di download ebook gratis