Selasa, 01 Juni 2010

Catatan Kegelisahan Seorang Pendaki




Judul: Norman Edwin, Catatan Sahabat Sang Alam
Penulis: Norman Edwin
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun: Mei, 2010
Tebal: xvi + 423 Halaman
Harga: Rp. 65.000

Buku ini tidak lain merupakan laporan Norman Edwin ketika berusaha menapakkan kaki berbagai puncak tertinggi di dunia, lembah-lembah penuh misteri, hingga wilayah-wilayah yang masih menyisakan persoalan.

Namun Norman tidak hanya menuliskan kenangan indah saat ia berada di tempat-tempat tersebut, tetapi ia juga melukiskan ketegangan, saat-saat maut mengintai, hingga masalah-masalah kronis yang “menghinggapi” berbagai tempat yang disambanginya.

Di tahun 1980-an, Norman Edwin bukan lagi "anak bawang" dalam jagat pendaki gunung. Pengalamannya mendakai berbagai tempat yang jarang dikunjungi manusia telah menempatkannya menjadi salah satu pendaki andalan dari Indonesia.

Kehebatannya menuliskan pengalaman selama melakukan pendakian maupun mengikuti ekspedisi, telah membuat lelaki yang dijuluki Beruang Gunung tersebut, dipercaya untuk membuat berbagai laporan di sejumlah media cetak di Indonesia.

Jika tulisan-tulisan dalam buku ini diamati, ternyata Norman tidak hanya bercerita sesuatu yang bersifat personal. Ia tidak berpretensi untuk menunjukkan superioritasnya sebagai sosok yang sanggup menjawab keganasan alam. Namun ia juga berusaha untuk memperlihatkan berbagai kecemasan dan keprihatinannya melihat alam yang semakin rusak oleh tangan manusia.

Pada bagian awal buku ini misalnya, Norman sudah memperlihatkan bahwa padang salju yang menyelimuti Puncak Jayawjaya semakin mengalami penyusutan. Penyusutan jumlah dan luas selimut es ternyata tidak hanya terjadi pada Puncak Jayawijaya, tetapi juga sejumlah puncak gunung es yang berada di belahan dunia lain.

Berbagai teori dan spekulasi dilontarkan untuk menjawab fenomena tersebut. Namun tidak satu pun yang dapat memberikan penjelasan yang memuaskan. Tetapi, kini, sekitar 30 tahun kemudian, ada jawaban yang mungkin membuat semua pihak puas, yakni pada saat itu proses pemanasan global sudah dimulai. Proses itu pulalah yang membuat gunung es di kutub utara mulai lumer.

Keprihatinan Norman atas rusaknya alam, tercermin juga dalam tulisanya mengenai Situ Aksan (situ berarti danau dalam bahasa Sunda), sebuah danau sisa peninggalan Bandung purba. Hasil penelusuran Norman memperlihatkan bahawa Situ Kasan yan pada tahun 1940-an masih seluas lima hektar persegi, namun 40 tahun kemudian menyusut hingga seluas satu hektar saja.

Lagi-lagi, kerusakan ini terjadi akibat ulah manusia yang membebani danau tersebut, mulai dari pembangunan pemukiman di sekitar danau hingga pencemaran yang berasal dari bangunan yang berada di sekitar danau tersebut. Lalu, seperti kisah sedih tentang alam lainnya, Situ Aksan pun akan tinggal cerita saja.

Tidak hanya soal kondisi alam, dalam buku ini juga dimuat tulisan Norman mengenai sejumlah situs candi yang dirusak oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Dimuatnya tulisan ini tentu saja menunjukkan bahwa persoalan seperti ini memang masih terjadi dan jelas-jelas menuntut penyelesaian. Sayangnya, upaya penyelesaian tersebut belum maksimal.
Catatan lain dari buku ini adalah, tidak terdapatnya keterangan pada foto yang dimuat. Padahal, sebuah foto justru tidak berbicara apa-apa ketika disuguhkan tanpa caption maupun teks. Alhasil, foto-foto dalam buku ini tidak begitu terasa faedahnya sebagai pelengkap isi tulisan. Sayang sekali.

Namun begitu, diterbitkannya buku ini patut mendapat apresiasi. Tentu bukan sekadar untuk menunjukkan heroisme ataupun keberhasilan manusia “menaklukkan” alam, tetapi juga sebagai sumber inspirasi bagi banyak orang muda untuk lebih peduli pada kondisi alam yang kian memprihatinkan.

Norman Edwin memang telah tiada. Ia kehilangan nyawanya ketika melakukan ekspedisi menuju puncak Aconcagua, di Argentina pada tahun 1992. Namun berkat tulisan-tulisannya yang dikumpulkan dalam buku ini, pembaca masih dapat ikut merasakan kedahsyatan alam, sekaligus mendengarkan senandung sedih alam yang digerogoti oleh keserakahan manusia.***

Senin, 17 Mei 2010

Terancamnya Sungai, Terancamnya Peradaban


Judul: Jelajah Musi, Eksotika Sungai di Ujung Senja
Penulis : Tim Kompas
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun: I, April, 2010
Tebal: xxiv + 376
Harga: Rp. 89.000
Sungai tidak hanya merupakan jalur perdagangan, tetapi juga tempat berawalnya peradaban. Jika kemudian sungai mengalami kerusakan parah, itulah awal meredupnya sebuah peradaban.
Sungai Musi yang meliuk di bumi Sumatera Selatan, sejak lama digunakan sebagai jalur perdagangan. Aliran sepanjang 720 kilometer ini seakan menjadi denyut nadi perekenomian sekaligus kehidupan masyarakat Sumsel.
Namun, kejayaan Musi di masa lalu terancam hilang. Pasalnya, sungai tersebut perlahan-lahan tengah mengalami kerusakan akibat tangan manusia yang selama berabad-abad justru hidup dan memperoleh berkah dari sungai tersebut.
Dari laporan yang disampaikan dalam buku ini, kerusakan sungai Kota Palembang itu sudah terjadi sejak di hulu sungai. Sayangnya, upaya untuk mengatasinya dirasakan lambat. Akibatnya, kerusakan tersebut semakin parah dan terancam tidak dapat tertanggulangi.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh sungai Musi adalah erosi. Erosi ini disebabkan oleh tidak memadainya konservasi atau pelestarian tanah. Hal inilah yang terjadi di daerah Tanjung Raya, Kabupaten Empat Lawang.
Di wilayah Tanjung Raya, tanaman kelapa sawit ditanam tanpa pohon pelindung karena pohon-pohon pelindung sudah ditebang. Sedangkan akar pohon sawit tidak mampu menahan erosi maupun air. Akibatnya sungai Musi meluap saat curah hujan meninggi.
Erosi seperti ini juga mengakibatkan pendangkalan di beberapa wilayah sepanjang aliran sungai Musi. Pendangkalan inilah yang membuat kapal-kapal besar tidak dapat lagi melayari sungai Musi. Padahal sejumlah kapal besar dibutuhkan untuk membawa minyak mentah dari kilang minyak yang telah diambil alih dari perusahaan minyak asing.
Hal tersebut semakin parah pada musim kemarau. Ketika musim kemarau tiba, tongkang yang membawa barang dagangan pun sulit untuk membawa barang dagangan ke tempat yang dituju. Padahal tongkang pembawa barang dagangan ini sangat membantu petani maupun warga yang berada di tepi sungai Musi.
Pencemaran yang diakibatkan oleh limbah rumah tangga menjadi masalah lain yang membebani sungai Musi. Hal ini terjadi seiring semakin banyaknya rumah yang dibangun dengan membelakangi sungai. Rumah yang dibangun membelakangi sungai potensial memperburuk kualitas air sungai karena limbah rumah tangga.


Tinggal cerita
Hal menarik lain dari sungai Musi adalah DAS (Daerah Aliran Sungai) Lematang yang merupakan salah satu anak sungai Musi. Dilaporkan, hingga tahun 1970-an sungai ini masih menjadi urat nadi kehidupan penduduk. Namun karena degradasi di bidang sosial-ekonomi, penduduk harus hengkang ke Jawa untuk menjadi buruh pabrik di pinggiran Jakarta.
Padahal menurut sejarah, pada pertengahan abad ke-19, di sepanjang DAS Lematang banyak ditemukan tanaman kapas. Bahkan, menurut sumber sejarah, setengah dari produksi kapas Karesidenan Palembang dihasilkan dari daerah tersebut. Namun hal itu kini hanya tinggal cerita.
Apa yang disajikan dalam buku ini adalah gambaran, potensi sungai yang besar seringkali hilang hanya karena ketidakmengertian masyarakat mengenai arti penting keberadaan sungai. Padahal Indonesia memiliki banyak sungai yang potensial untuk menggerakkan perekonomian dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
Tampaknya, pemerintah pun harus memberikan perhatian yang lebih banyak terhadap kondisi sungai di Indonesia. Regulasi pemerintah yang tepat serta dijalankan dengan konsisten, akan membantu terpeliharanya kehidupan dan peradaban di sepanjang sungai.***

Terancamnya Sungai, Terancamnya Peradaban

Selasa, 04 Mei 2010

Penunggalan Makna Tubuh oleh Kekuasaan




Judul: Dilarang Gondrong, Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda awal Tahun 1970-an
Penulis: Aria Wiratma Yudhistira
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun: April, 2010
Tebal: xxi + 161 Halaman
Harga: Rp. 51.000


Ketika pemaknaan atas tubuh mengalami penunggalan oleh praktik kekuasaan, maka tubuh kehilangan otoritas. Kemerdekaan tubuh pun tergantikan kekerasan yang dehuman.

Itulah sekilas isi buku yang ditulis oleh Aria Wiratama Yudhistira ini. Dalam buku tersebut Aria ingin memperlihatkan bahwa kekuasaan dapat melakukan berbagai upaya bukan hanya untuk mencapai tujuan, tetapi juga melanggengkan kekusasaan. Namun sayangnya, cara-cara tersebut justru melupakan hak-hak warga negara.

Secara tegas Aria merujuk kepada praktik Orde Baru. Orde yang muncul setelah Presiden Sokerano jatuh itu, memang menghalalkan berbagai cara agar cita-citanya tercapai. Demi pembangunan, mereka berusaha meredam ataupun membersihkan berbagai hal yang dicemaskan dapat mengganggu stabilitas sosial.

Salah satu cara yang mereka dalam rangka tersebut adalah pelarangan terhadap rambut gondrong yang terjadi sekitar tahun tahun 1960-an hingga tahun 1970-an. Orde Baru menganggap pemuda berambut gondrong adalah pemuda yang urakan, kotor, tidak bertanggung jawab, dan tidak mengacuhkan masa depan diri maupun bangsanya.

Parahnya, berbagai lembaga kemudian melakukan diskriminasi terhadap pemuda berambut gondrong. Mereka yang mengurus Kartu Tanda Penduduk, Surat Ijin Mengemudi, hingga Surat Keterangan Bebas G30S, tidak akan dilayani jika yang mengajukan masih berambut gondrong.

Tindak diskriminasi tidak hanya sampai di situ, pencitraan terhadap pemuda gondrong sebagai sosok yang harus dijauhi kian dipertajam oleh media massa. Dalam pemberitaan selalu ditekankan bahwa pelaku kejahatan adalah pemuda berambut gondrong. Akibatnya, sosok pemuda berambut gondrong selalu diidentikkan sebagai pelaku kejahatan.

Kuatnya pencitraan tersebut memunculkan fitnah, misalnya saja ketika pecah kerusuhan di Bandung pada tanggal 5 agustus 1973 (hal. 110). Diberitakan, pelaku kerusuhan adalah sekelompok tukang becak dan pemuda berambut gondrong. Padahal, tidak ada fakta yang mendukung hal tersebut.

Lebih parah lagi, untuk “menertibkan” pemuda yang berambut gondrong, aparat kerap menggunakan ancaman. Mereka bahkan tidak segan melakukan kekerasan terhadap pihak yang mencoba menghalang-halangi mereka.

Padahal, sulit diterima oleh akal sehat bahwa rambut gondrong berkaitan dengan kejahatan dan ketidakpdulian terhadap lingkungan sekitar. Bersikerasnya penguasa dengan anggapan ini memerlihatkan watak kekuasaan yang cenderung mengenakan “kaca mata kuda” dalam melihat persoalan.

Tentu saja hal tersebut menuai protes dari berbagai kalangan. Mereka dengan tegas menolak kebijakan anti-gondrong yang terkesan terlalu berlebihan dan mengada-ada. Sayangnya, keberatan tersebut tidak banyak ditanggapi oleh penguasa.

Buku ini memperlihatkan bahwa manifestasi kekuasaan memang masuk ke berbagai wilayah, termasuk tubuh pria. Pemaknaan atas tubuh pria tidak lagi ditentukan oleh si pemilik tubuh, tetapi oleh kekuasaan.

Bukan tidak mungkin praktik serupa masih terjadi hingga saat ini lewat berbagai bentuk praktik kekuasaan yang lain, seperti lembaga keagamaan hingga otoritas tertentu.***

Minggu, 11 April 2010

Sketsa Buram Kepartaian di Indonesia



Judul : Anti Partai
Penulis : Bima Arya Sugiarto
Tebal : x + 188 halaman
Penerbit : Gramata
Terbit : 2010
Keberadaan partai sebagai salah satu bentuk partisipasi rakyat dalam kegiatan politik ternyata sarat dengan persoalan. Persoalan yang dapat bersifat internal maupun eksternal itu, berujung kepada dua hal yakni, terganggunya dinamika kepartaian yang sehat, serta kecenderungan rakyat untuk tidak berpartisipasi dalam kegiatan politik..
Jika kondisi di atas dibiarkan, maka bukan tidak mungkin muncul penolakan terhadap partai. Akibatnya, partai tidak lagi dipandang sebagai saluran aspirasi rakyat, tetapi hanya menjadi medium bagi segelintir orang untuk memegang kekuasaan. Akhirnya partisipasi rakyat menjadi minim sehingga kekuasaan tidak memiliki legitimasi. Hal yang sama terjadi juga di Indonesia yang kini memiliki puluhan partai politik.
Buku yang merupakan kumpulan tulisan Bima Arya Sugiarto ini tampaknya ingin menguliti persoalan tersebut. Ia mencoba untuk mengidentifikasi persoalan-persoalan umum dinamika kepartaian di Indonesia, dan memberikan analisa kritis terhadap persoalan yang tersebut.
Dari hasil pengamatan Arya, ada sejumlah persoalan yang muncul dalam sistem kepartaian di Indonesia. Misalnya saja masalah partai Islam. Dalam temuan Arya, partai Islam di Indonesia cenderung kalah pamor dengan partai sekuler. Hal ini tampak dari jumlah pemilih partai Islam yang terus menurun dari satu pemilu ke pemilu lainnya.
Menurut Arya hal tersebut disebabkan oleh gagalnya partai Islam untuk merekontestualisasikan diri di tengah realitas psikis dan fisik bangsa Indonesia. Dengan kata lain partai Islam harus mengedepankan agenda-agenda konkret yang bersinggungan langsung dengan kepentingan publik ketimbang mengusung isu syariat yang diformalkan (hal. 35).
Persoalan ini sebenarnya tidak hanya terjadi dengan partai-partai islam. Tetapi juga partai-partai agama di luar partai Islam. Ketika isu yang diangkat hanya berkutat pada persoalan ideologi atau kepentingan pemeluk agama minoritas, maka partai tersebut tidak akan menjadi primadona dari golongan yang dicoba untuk disasar sebagai pemilih.
Meskipun ada kondisi yang berbeda antara partai Islam dan partai di luar partai Islam, namun persoalannya tidak jauh berbeda, yakni partai berbasis agama tidak menawarkan isu yang kontekstual. Hal ini menunjukkan bahwa partai berbasis agama belum berhasil memberikan tawaran yang berkenan di hati calon pemilih.
Selain itu, masalah penting yang juga diulas oleh Arya adalah kepemimpin politik. Masalah ini menjadi strategis karena kepemimpinan yang baik akan terus mendorong peran partai yang lebih besar dalam proses demokrasi. Sebaliknya kepemimpinan yang buruk akan mempertinggi faksionalitas dalam arti negatif.
Salah satu problem kepemimpinan politik yang dipotret oleh Arya adalah hadirnya para pemimpin yang berprofesi sebagai pengusaha, atau yang dalam istilah Arya adalah "saudagar". Menurut Arya keberadaan pemimpin politik dengan profesi pengusaha tidak dapat membawa perbaikan secara signifikan pada terwujudnya partai politik yang modern.
Sebaliknya, keberadaan saudagar dalam partai politik hanya terbatas pada pendanaan operasional partai dalam jangkan panjang, atau bahkan membiayai kepentingan faksi-faksi dalam partai politik (hal.29).
Inilah yang menurut Arya akan menghasilkan kepemimpinan bercorak transaksional. Kepemimpinan transaksional terjadi ketika hubungan antara pemimpin maupun elit politik lainnya dengan konstiutuen hanya bersifat pertukaran kepentingan ekonomi maupun politik saja belaka. Pola kepemimpinan seperti ini harus direformasi menjadi pola kepemimpinan yang transformasional (hal.74).
Kepemimpinan tranformasional ini berciri mampu menggerakkan setiap individu untuk menjadi aktor utama perubahan. Di sini ikatan yang dibangun dengan publik lebih merupakan kesamaan sistem nilai ketimbang loyalitas personal. Oleh sebab itu, pemilihan pemimpin partai harus didasarkan pada visi ke depan calon pemimpin, bukan kepada calon-calon karismatis tanpa visi ataupun gagasan.
Hal yang juga sempat disinggung oleh Arya dalam buku ini adalah mentalitas calon legislatif. Dalam tulisannya yang berjudul Demokrasi di Republlik Baliho, Arya menilai, dari pernak-pernik serta atribut-atribut kampanye yang tersebar di ruang publik sebenarnya dapat dilihat mentalitas dan kesiapan si calon anggota legilatif. Pesan-pesan komunikasi politik yang tidak konseptual, ketidakpahaman soal pencitraan yang sebenarnya strategis, hingga kekurangmampuan dalam menentukan basis konstituen akibat lemahnya data, memperlihatkan bahwa para calon anggota legislatif memang belum mampu membuat manajemen yang baik dalam kampanyenya.
Padahal, kondisi sebaliknya terjadi di negara-negara yang telah memiliki "kedewasaan" dalam berdemokrasi di negara-negara maju. Di negara-negara yang telah matang dalam berdemokrasi, kampanye dilakukan dengan pencitraan yang memikat, pidato yang inpirasional, serta pertarungan ide yang mencerdaskan. Dengan mengatakan demikian, seolah-olah Arya ingin mengatakan bahwa kampanye-kampanye seperti itu belum tumbuh di Indonesia.
Arya mensinyalir bahwa hal itu disebabkan oleh mandulnya mesin partai. Mesin-mesin ini hanya aktif ketika musim pemilu mendekat. Di luar musim pemilu, hubungan antara rakyat dengan partai politik tidak terjadi. Akibatnya pada musim pemilu, calon anggita legislatif harus "tancap gas" untuk membangkitkan kembali memori publik. Padahal cara ini sangat tidak efektif. Ujungnya adalah penolakan publik terhadap partai.
Banyak hal menarik yang dibahas secara tajam oleh Arya seputar keberadaan partai dalam buku ini. Kesemuanya memperlihatkan seperti apa sesungguhnya wajah sistem multipartai di Indonesia dewasa ini. Selain teori, contoh konkret yang diberikan oleh Arya membuat wajah tersebut semakin jelas, bahwa kedewasaan partai-partai tersebut belum dapat diharapkan.
Catatan lain tentang buku ini adalah, tidak semua tulisan disertai daftar pustaka. Padahal hal ini akan sangat membantu para mahsiswa dan peminat politik untuk menelusuri lebih jauh pemikiran yang dikutip tersebut, seperti halnya dibisakan dalam tradisi akademis. Jika saja penulis sudi sedikit bersusah payah untuk mencantumkan daftar pustaka, tulisan-tulisan ini akan jauh lebih bernas dan menyenangkan untuk dibaca.(*)