Senin, 17 Mei 2010

Terancamnya Sungai, Terancamnya Peradaban


Judul: Jelajah Musi, Eksotika Sungai di Ujung Senja
Penulis : Tim Kompas
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun: I, April, 2010
Tebal: xxiv + 376
Harga: Rp. 89.000
Sungai tidak hanya merupakan jalur perdagangan, tetapi juga tempat berawalnya peradaban. Jika kemudian sungai mengalami kerusakan parah, itulah awal meredupnya sebuah peradaban.
Sungai Musi yang meliuk di bumi Sumatera Selatan, sejak lama digunakan sebagai jalur perdagangan. Aliran sepanjang 720 kilometer ini seakan menjadi denyut nadi perekenomian sekaligus kehidupan masyarakat Sumsel.
Namun, kejayaan Musi di masa lalu terancam hilang. Pasalnya, sungai tersebut perlahan-lahan tengah mengalami kerusakan akibat tangan manusia yang selama berabad-abad justru hidup dan memperoleh berkah dari sungai tersebut.
Dari laporan yang disampaikan dalam buku ini, kerusakan sungai Kota Palembang itu sudah terjadi sejak di hulu sungai. Sayangnya, upaya untuk mengatasinya dirasakan lambat. Akibatnya, kerusakan tersebut semakin parah dan terancam tidak dapat tertanggulangi.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh sungai Musi adalah erosi. Erosi ini disebabkan oleh tidak memadainya konservasi atau pelestarian tanah. Hal inilah yang terjadi di daerah Tanjung Raya, Kabupaten Empat Lawang.
Di wilayah Tanjung Raya, tanaman kelapa sawit ditanam tanpa pohon pelindung karena pohon-pohon pelindung sudah ditebang. Sedangkan akar pohon sawit tidak mampu menahan erosi maupun air. Akibatnya sungai Musi meluap saat curah hujan meninggi.
Erosi seperti ini juga mengakibatkan pendangkalan di beberapa wilayah sepanjang aliran sungai Musi. Pendangkalan inilah yang membuat kapal-kapal besar tidak dapat lagi melayari sungai Musi. Padahal sejumlah kapal besar dibutuhkan untuk membawa minyak mentah dari kilang minyak yang telah diambil alih dari perusahaan minyak asing.
Hal tersebut semakin parah pada musim kemarau. Ketika musim kemarau tiba, tongkang yang membawa barang dagangan pun sulit untuk membawa barang dagangan ke tempat yang dituju. Padahal tongkang pembawa barang dagangan ini sangat membantu petani maupun warga yang berada di tepi sungai Musi.
Pencemaran yang diakibatkan oleh limbah rumah tangga menjadi masalah lain yang membebani sungai Musi. Hal ini terjadi seiring semakin banyaknya rumah yang dibangun dengan membelakangi sungai. Rumah yang dibangun membelakangi sungai potensial memperburuk kualitas air sungai karena limbah rumah tangga.


Tinggal cerita
Hal menarik lain dari sungai Musi adalah DAS (Daerah Aliran Sungai) Lematang yang merupakan salah satu anak sungai Musi. Dilaporkan, hingga tahun 1970-an sungai ini masih menjadi urat nadi kehidupan penduduk. Namun karena degradasi di bidang sosial-ekonomi, penduduk harus hengkang ke Jawa untuk menjadi buruh pabrik di pinggiran Jakarta.
Padahal menurut sejarah, pada pertengahan abad ke-19, di sepanjang DAS Lematang banyak ditemukan tanaman kapas. Bahkan, menurut sumber sejarah, setengah dari produksi kapas Karesidenan Palembang dihasilkan dari daerah tersebut. Namun hal itu kini hanya tinggal cerita.
Apa yang disajikan dalam buku ini adalah gambaran, potensi sungai yang besar seringkali hilang hanya karena ketidakmengertian masyarakat mengenai arti penting keberadaan sungai. Padahal Indonesia memiliki banyak sungai yang potensial untuk menggerakkan perekonomian dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
Tampaknya, pemerintah pun harus memberikan perhatian yang lebih banyak terhadap kondisi sungai di Indonesia. Regulasi pemerintah yang tepat serta dijalankan dengan konsisten, akan membantu terpeliharanya kehidupan dan peradaban di sepanjang sungai.***

Tidak ada komentar: