Judul : Sepanjang
Hayat Bersama Rakyat
Penulis : Tim Kompas
Editor : Julius Pour
dan Nur Adji
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Terbit : I, April
2012
Halaman : xii + 347
Halaman
Problema utama
historiografi ialah subjektivitas. Inilah menyebabkan historiografi cenderung
tampil sebagaimana diinginkan oleh penulisnya dengan mengabaikan
evidensi-evidensi objektif.
Cara memandang peristiwa
sejarah yang keliru, orientasi penulisan yang sentralitis, serta berbagai
tarikan kepentingan, cenderung menghasilkan sebuah sejarah yang mistifikatif.
Oleh karena itu, pelurusan sejarah menjadi sesuatu yang tidak boleh dihindari.
Begitu pula
dengan sejarah Serangan Umum (SU) 11 Maret 1949 di Yogyakarta yang dilakukan
oleh tentara gerilya. Peristiwa ini menjadi kontroversial karena berbagai
tulisan sejarah memiliki versi yang berbeda-beda mengenai subjek penggagas
serangan tersebut.
Banyak literatur
menyebutkan, SU digagas oleh Letkol Soeharto, yang kelak menjadi presiden
Republik Indonesia. Namun kemudian bantahan muncul yang menyebutkan bahwa
peristiwa yang terjadi di Yogyakarta itu adalah inisiatif Sultan Hamengku
Bowono IX.
Perbedaan itulah
yang banyak dibahas pada bagian awal buku ini. Berbagai kutipan serta pandangan
dari pelaku maupun ahli sejarah disampaikan untuk memberikan perspektif yang
berbeda, terkait dengan SU.
Dari tulisan yang
ada, seakan ingin ditegaskan bahwa Sultan Hamengku Buwono IX-lah yang pertama-tama
melihat arti strategis SU bagi eksistensi bangsa Indonesia. Itu sebabnya ia
kemudian meminta Letkol Soeharto untuk mengomandoi sebuah operasi yang
dicetusnya.
Ketika peristiwa
sejarah ini diputarbalikkan, Sultan tidak banyak berkomentar. Penyebabnya, ia tidak memiliki ambisi untuk dikenang dalam
sejarah. Kepentingannya hanya satu yakni kepentingan rakyat.
Selain itu, buku
ini juga ingin mempertegas posisi Sultan Hamengku Buwono IX. Baik perannya
dalam sejarah bangsa Indonesia, maupun posisinya di hati rakyat. Apalagi Sultan
dikenal sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat.
Dalam buku ini
diungkapkan sebagian kecil hal yang telah dilakukan oleh Sultan pada masa-masa
awal berdirinya Republik Indonesia. Misalnya saja Sultan mempersilakan pusat
pemerintahan Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta. Sultan juga menyumbangkan harta Keraton Yogyakarta untuk
membiayai penyelenggaran pemerintahan Republik Indonesia.
Dengan demikian,
wacana untuk meniadakan keistimewaan Yogyakarta adalah hal yang ahistoris.
Sebagai bangsa yang besar, tidak pantas rasanya menghilangkan ataupun melupakan
sejarah.
Bukan hanya
kisah besar mengenai Sultan yang diungkapkan dalam buku ini, melainkan juga
kisah-kisah human interest yang memperlihatkan
karisma dan kesederhanaan seorang Raja Jawa.
Misalnya, ketika
Sultan berkunjung ke New York. Suatu kali, di tengah perjalanan kembali ke
hotel, ia meminta Joop Ave, yang bertugas sebagai konsul di Konjen RI di New
York, meninggalkannya tanpa pengawalan
untuk berjalan-jalan dan berbelanja di
Bloomingdale Department Store.
Joop Ave yang
saat itu ditugasi menemani Sultan tidak dapat berbuat banyak. Ia pun
meninggalkan Sultan sendirian dengan cemas.
Buku yang
diterbitkan untuk mengenang 100 tahun
Sultan Hamengku Buwono IX ini kembali mengingatkan kita, bahwa pemimpin sejati
adalah pemimpin yang mengayomi dan mendengarkan rakyat. Hanya dengan cara itu
ia dicintai dan selalu memiliki tempat di hati rakyat.***
1 komentar:
tetap semangat meresensi !
Posting Komentar