Selasa, 10 Januari 2012

Wajah Hubungan Pers dan Kekuasaan






Judul : Cerita di Balik Dapur Tempo
Penulis : Tim Tempo
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun : Desember 2011
Tebal : 334 halaman
Harga : Rp. 65.000



Tidak pernah ada gelombang protes yang besar atas pembungkaman media, selain ketika majalah Tempo, beserta dua media lain, Editor dan Detik dilarang terbit oleh pemerintah pada tahun 1994. Kenyataan ini menujukkan bahwa Tempo telah memiliki tempat tersendiri dalam perjalanan sejarah pers Indonesia.

Namun, ada hal yang lebih penting dari pembreidelan itu sendiri, yakni gambaran pola hubungan antara pers dan pemerintah yang terjadi kala itu. Pembreidelan terhadap pers saat itu tidak hanya menjadi parameter prkatik demokrasi, malainkan juga watak kekuasaan pemerintah pada masa itu.

Dengan menyimak kisah Tempo seperti yang terekam dalam buku Cerita di Balik Dapur Tempo ini, kita dapat melihat tak hanya perjalanan sejarah majalah tersebut, melainkan juga keberadaan pers di masa Orde Baru.

Pada masa Orde Baru, hubungan pers dan pemerintah dapat dikatakan tidak terlalu harmonis. Di buku ini disebutkan bahwa majalah ini acap kali mendapatkan serangan balik dari pemerintah karena liputan investigatif yang dijalankan.

Menurut buku ini, hal yang sering dialami oleh media yang menjalani jurnalisme investigatif biasanya ancaman, teror, intimidasi, hingga pelarangan terbit. Hal ini biasanya ditujukan kepada wartawan secara pribadi, maupun kepada media tempat ia bekerja.

Sekadar mengambil contoh, pelarangan terbit majalah Tempo dilakukan setelah media ini menurunkan laporan mengenai pembelian kapal perang Asal Jerman Timur oleh pemerintah.

Kasus berikutnya adalah pelemparan bom molotov kantor redaksi setelah Tempo. Ini terjadi setelah media ini menurunkan laporan mengenai rekening milik sejumlah perwira tinggi kepolisian.

Kasus di atas ditambah dengan usaha untuk "mengalahkan" Tempo di pengadilan oleh sejumlah perusahaan besar. Perusahaan-perusahaan tersebut yang terlibat dalam skandal yang merugikan negara, misalnya skandal pajak.

Berbagai jenis tindakan represif di atas dilakukan untuk memberikan efek jera, chilling effect. Namun toh hal itu tidak serta-merta menghilangkan semangat maupun idealisme pers. Justru, kesadaran terhadap pentingnya keberadaan pers dalam masyarakat, pers mencoba untuk menghadapi "badai" seperti di atas.

Hal yang menarik dari pengalaman Tempo adalah mengenai independensi. Bagi pers, independensi menjadi hal mutlak. Independensi akan membat pers seimbang dalam menyampaikan fakta maupun kebenaran.

Dalam buku ini disampaikan kisah Tempo ketika untuk mencoba independen, yakni ketika perumahan Pantai Indah Kapuk tergenang banjir. Tempo menurunkan tulisan berjudul Janji-janji Ciputra. Karuan saja Ciputra berang. Pasalnya, selain memimpin perusahaan pengembang yang membangun perumahan tersebut, Ciputra juga komisaris perusahaan penerbit majalah Tempo.

Tetapi itulah "jalan" yang dipilih Tempo. Ia terus independen meksipun harus melawan "orangtuanya" sendiri. Jalan yang mungkin tidak mudah diambil oleh pers dalam era industri.

Buku ini memberikan gambaran bahwa pers sebaiknya konsisten dengan idelismenya. Meskipun tekanan terus datang, pantang surut untuk menyuarakan kebenaran.***





1 komentar:

regina mengatakan...

mas nigarrrr, aku berkunjung!!! blogmu bagus banget dehhh! suka tulisanmu, selalu!