Rabu, 07 Desember 2011

Satire Turisme Bali








Judul : Jangan Mati di Bali
Penulis : Gde Aryantha Soethama
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun : I, 2011
Halaman : 316 halaman
Harga : Rp. 54.000


Industrialisasi selalu membawa perubahan pada kehidupan sosial. Begitu juga dengan industri pariwisata di Bali. Di pulau nan elok itu, kesakaralan, kearifan lokal, dan pemaknaan atas spiritualitas, telah mengalami perubahan.

Apakah hal itu semata-mata karena pariwisata di Bali digenjot habis-habisan demi keuntungan. Atau karena masyarakat Bali kini lebih realistis, dalam arti mereka lebih memilih uang ketimbang nilai-nilai lokal yang sebelumnya sulit untuk diusik.

Inilah yang dipertanyakan oleh Gde Aryantha Soethama dalam kumpulan tulisannya, Jangan Mati di Bali. Tidak hanya mempertanyakan, Gde Aryantha juga melakukan kritik atas perubahan-perubahan sosial yang terjadi di Bali.

Banyak sisi mengenai Bali yang "disentuh" oleh Gde Aryantha, mulai dari adat, kesenian, makanan, wisata, hikayat, hingga polah orang Bali. Semuanya ia sajikan dalam tulisan yang ringan, santai, sesekali dibumbui humor, tanpa kehilangan daya kritisnya.

Dari apa yang diungkapkan oleh Gde Aryantha, pembaca akan melihat bahwa perubahan-perubahan dalam masyaratak telah terjadi secara memprihatinkan. Ironisnya, perubahan itu tidak disadari oleh masyarakat Bali itu sendiri.

Salah perubahan yang tertangkap oleh Gde Aryantha adalah pengabaikan kesakaralan tampat-tempat tertentu, sebut saja pantai. Dalam kosmologi masyarakat Bali, pantai adalah tempat pertemuan dengan Sang Pencipta.

Tetapi turisme telah mengubah semuanya. Keindahan pantai tempat seseorang merenungkan keagungan Sang Pencipta telah menjadi komoditi. Tidak mengherankan jika sebuah upacara suci menjadi tontonan bagi turis asing yang tengah berbikini setengah telanjang.

Ironisnya lagi, tidak jarang satpam yang membentak orang Bali yang hilir mudik di pantai dekat hotel. Padahal dia adalah orang asli Bali yang mewarisi keindahan pantai di Bali.

Kemudian soal desakralisasi kesenian Bali, misalnya saja tarian. Demi memperkenalkan tarian Bali ke publik secara luas, tarian sakral Bali dikemas dengan cara yang berbeda. Alhasil, tarian sakral penuh makna menjadi "tarian pop" yang lebih mudah dicerna dan dikonsumsi oleh publik.

Perubahan sosial karena persentuhan dengan budaya luar secara teoritis sulit untuk dihindari. Namun ini bukanlah justifikasi untuk membiarkan Bali berubah. Apalagi trend perubahan itu menjurus ke arah lenyapnya lokalitas Bali. Padahal, lokalitas tersebut merupakan daya tarik wisata.

Lewat buku ini Gde Aryantha seolah ingin mengingatkan bahwa masyarakat Bali harus mewaspadai kecenderungan-kecenderungan negatif akibat komodifikasi budaya Bali. Menyerahkan diri kepada permintaan pasar turisme jutru akan membuat persoalan kian pelik
.
Secara umum buku ini sesungguhnya menjadi peringatan bagi kawasan potensial wisata lain di Indonesia. Kekeliruan dalam menerjemahkan kebutuhan industri wisata bukan tidak mungkin akan memunculkan masalah sosial dan budaya yang kian pelik.

Sudah saatnya semua pihak yang berkepentingan memajukan wisata nasional harus memiliki strategi yang tepat. Sebuah strategi yang dapat menjawab kebutuhan persaingan wisata, tanpa mengorbankan identitas lokal yang potensial mencabut masyarakat dari akar budayanya.***



1 komentar:

Tomy Handaka mengatakan...

Buku yang sangat menarik untuk dibaca, terutama bagi orang Bali pendatang seperti saya ini. Paparan dalam buku ini sangat membantu saya dalam menyikapi cara berpikir dan kebudayaan orang Bali.