Minggu, 07 Agustus 2011

Suara Kritis dari Twitter



Judul : Percikan (Kumpulan Twitter @gm_gm)

Penulis : Goenawan Mohamad

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tahun : 2011

Tebal : ix + 320

Harga : Rp. 65.000

Dunia virtual merupakan media alternatif yang demokratis. Artinya, ia hadir dengan terlepasnya pakem-pakem seperti yang melekat pada media tradisional seperti surat kabar maupun televisi.

Dengan begitu, setiap individu yang memiliki akses ke jaringan internet, dapat menjadikannya medium komunikasi. Setiap hal dapat dikomunikasikan secara bebas, mulai dari ide, gagasan, opini, sindiran ataupun kecaman.

Twitter, sebagai media sosial di dunia virtual, memiliki karakter yang sama. Tidak mengherankan jika Twitter terpilih juga sebagai medium komunikasi. Twitter tak hanya terbuka, melainkan resisten terhadap intervensi.

Tidak salah jika Goenawan Mohammad memilih Twitter untuk melemparkan pecahan gagasannya. Ia seakan dapat melihat bahwa media ini punya kekuatan tersendiri, apalagi akunnya memiliki puluhan ribu pengikut (followers).

Kumpulan celetukhan--demikian Goenawan mengistilahkannya--merupakan tweet Goenawan yang dimulai pada akhir tahun 2009. Hingga Agustus 2011 jumlah tweet yang ia sampaikan hampir mendekati 18.000 buah.

Keseluruhan tweet ini dikumpulkan menjadi beberapa kategori. Kategori tersebut antara lain media dan informasi, politik dan demokrasi, ekonomi dan konsumerisme, bangsa dan negara, hingga tokoh dan sejarah.

Adalah usaha yang pantas untuk dihargai untuk mengumpulkan tweet Goenawan dalam sebuah antologi. Pasalnya, memang banyak ide, pernyataan ataupun pemikiran yang layak didokumentasikan.

Semua itu disampaikan secara beragam oleh Goenawan, ada yang bernada pedas, penuh sindiran, bahkan humor. Ini yang membuat kumpulan tweet ini lebih bercitarasa, ringan, namun tetap perlu dikulum agar "manisnya" terasa.

Meskipun demikian, Goenawan tetap kritis. Sesuatu yang busuk akan tetap ia katakan busuk. Ia bahkan tidak segan untuk keras menunjuk "orang-orang di Senayan" sebagai hipokritan yang rakus kekuasaan dan doyan fulus.

Kategorisasi ini menjadi cara yang pas untuk memahami satu per satu tweet Goenawan. Pasalnya, jika tweet ini dibaca secara terpisah dalam medium yang berbeda-beda, maka tweet ini menjadi "tidak" berbunyi apa-apa.

Hal yang kurang dari buku ini adalah tidak adaanya latar belakang dari tweet yang ditulis oleh Goenawan. Padahal latar hal ini akan mengembalikan ingatan seseorang pada peristiwa yang dimaksud oleh Goenawan.

Pembaca mutakhir mungkin dapat memahami tweet Goenawan. Namun jika buku ini kelak dibaca oleh mereka yang saat ini masih berusia belasan tahun, barangkali apa yang disampaikan oleh Goenawan tak lagi punya makna.

Lihat saja tweet Goenawan pada halaman 132 tentang "cicak dan buaya". Bayangkan, pada saat itu makna "cicak" dan "buaya" mungkin sudah tidak lagi sama dengan saat ini.

Atau tweet mengenai Nurdin Halid yang disindir akan membuat pakaian ala pemimpin Libya M Khadafi. Tweets ini tidak akan punya makna jika pembaca tidak paham sejarah Libya.

Tetapi tweet memang sebuah celetukhan spontan yang dapat ditulis dari manapun dan dalam kondisi apapun. Tweet bukanlah sebuah esai yang ditulis dengan persiapan, referensi atau bahan khusus.

Namun, paling tidak, kekritisan Goenawan mengingatkan kepada pembaca bahwa negeri ini masih berjubel dengan masalah yang nyata-nyata menuntut penyelesaian.***




2 komentar:

Evitasdesign mengatakan...

Hallo, website yang bagus n penuh ilmu. saya mau share tentang artikel Desain Grafis, Cover Buku, Desain Brosur, dan info tentang perkembangan dunia grafis

Heri mengatakan...

nice resensi...thanks