Minggu, 21 November 2010

Akar Pemberontakan Macan Tamil



Judul: Auman Terakhir Macan Tamil
Penulis : Yoki Rakaryan Sukarjaputra
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Terbit: I, Agustus 2010
Halaman: xxviii + 203 Halaman
Harga: Rp. 42.000


Gerakan-gerakan di Indoneisa yang dipicu oleh tindak ketidakadilan, harus diwaspadai. Pasalnya, hal itu dapat memicu persoalan yang lebih besar, mulai dari perang saudara hingga pemberontakan berbiaya sosial tinggi.

Pelajaran berharga dapat diambil dari pemberontakan Macan Tamil di Sri Lanka. Seperti yang dipaparkan dalam buku Auman Terakhir Macan Tamil ini, perang sipil yang terjadi di Sri Lanka dipicu oleh ketidakpuasan atas kebijakan diskrimantif terhadap kelompok etnis Tamil.

Perlakuan tidak seimbang yang dilakukan secara sistemik oleh rejim penguasa, terakumulasi sedemikian rupa, sehingga bermetamorfrosa menjadi gerakan perlawanan yang sulit dibendung. Perlawanan tersebut sering bermuara pada pertumpahan darah yang merugikan banyak pihak.

Buku ini secara umum mengajak pembaca untuk melihat fakta historis akar masalah terjadinya pemberontakan Macan Tamil di Sri Lanka. Akar masalah tersebut adalah ketidakpuasan etnis Tamil dari India yang berada di Sri Lanka.

Semua itu bermula ketika Sri Lanka yang masih bernama Ceylon masih dipegang oleh pemerintah kolonial yang sempat hadir di sana, yakni Portugis, Belanda dan kemudian Inggris. Saat itu Ceylon dihuni oleh warga etnis Sinhala, Tamil dan Moor.

Konflik antar etnis yang sudah sering terjadi itu diperburuk oleh Inggris yang membuka kawasan perkebunan di Ceylon. Ketika itu, Inggris dianggap diskriminatif karena lebih banyak memberikan “kenyamanan’ kepada kelompok yang tidak banyak "membuat persoalan", yakni etnis Sinhala.

Inilah yang memicu rasa tidak puas warga etnis Tamil. Akhirnya, pada tahun 1939 pecah pertikaian antara warga Tamil dan Sinhala. Sejak itu, gesekan antara kedua kelompok tersebut kian menjadi-jadi. Hal ini diperburuk dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Sri Lanka pasca kemerdekaan.

Kebijakan itu antara lain menjadikan bahasa Sinhala menjadi bahasa resmi di Sri Lanka. Kemudian dikeluarkannya aturan darurat yang memperbolehkan polisi mengubur atau mengkremasi mayat tanpa otopsi terelebih dahulu.

Peraturan darurat itu keluar menyusul tewasnya seorang pemuda Tamil saat ditahan tanpa dakwaan dalam penjara polisi. Anehnya, pihak kejaksaan di Jaffna menyatakan pemuda itu korban bunuh diri. Padahal, beberapa luka bekas tusukan didapati di tubuhnya.

Buku ini juga menunjukkan fakta mengenai adanya usaha pembantaian terhadap etnis Tamil yang dilakukan secara sistematis oleh kelompok Sinhala. Namun diingatkan, kejadian bukanlah tindakan spontan, namun diatur dan direncakan oleh kekuatan tertentu.

Perlawanan macan Tamil mungkin sudah surut, menyusul tewasanya Velupillai Prabhakaran sang pemimpin. Namun itu tidak berarti perlawanan Macan Tamil secara ideologis mati. Selama penguasa dan kelompok mayoritas memperlakukan kelompok kecil secara diskriminatif, sesungguhnya sumbu perlawanan itu masih menyala.

Kita kira, hal semacam inilah yang harus diwaspai di Indonesia. Perlakuan semena-mena terhadap kelompok minoritas, baik secara langsung maupun lewat legalitas kebijakan, sangat potensial menyulut gesekan, baik secara vertikal maupun horisontal. Jadi, waspadai saja.***

2 komentar:

wisata bloger mengatakan...

omz...
kok nyari intisari buku non fiksi susah banget ya omz ...

tolong dong omz ...
di kasih caranya ...

makasih ..
by: hacked_by oqta
http://pisssky.blogspot.com

brain_storm mengatakan...

sepertinya buku bagus ini...
mampir ke
http://owdp.gunadarma.ac.id/