Rabu, 15 Agustus 2007

Menghadirkan Realitas Ke Ruang Kontemplatif




Judul : Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tebal : 258 Halaman
Terbit : Juni, 2007

Siapa tidak mengenal Emha Ainun Nadjib. Lelaki ini terbilang produktif dalam menulis. Tulisannya ada yang berupa puisi, cerita pendek, kolom, hingga esai. Lewat tulisan-tulisan itu berbagai persoalan dibedahnya, mulai dari soal politik, sosial kemasyarakatan, sastra, kebudayaan, kebangsaan, sampai agama. Itu pula yang dilakukannya lewat buku berjudul Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki ini.


Di dalam kumpulan esai ini Emha mengungkapkan berbagai persoalan yang ada di dalam masyarakat. Ia yakin begitu banyak masalah dalam masyarakat yang nyata-nyata menuntut penyelesaian. Dalam pandangannya, jika persoalan itu tidak mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, keterpurukan dan krisis bangsa Indonesia tidak akan pernah berakhir.
Persoalan-persoalan itu bagi Emha bukan sekadar sebuah gejala, tetapi telah menjadi potret buram yang terjadi dalam waktu lama. Buntutnya, diperlukan perubahan yang radikal agar bangsa Indonesia bisa lolos dari krisis. Di sinilah titik kritik Emha yang tertuang dalam tulisannya.


Dalam kumpulan esai ini, Emha tampak mencoba menyodorkan realitas ke depan pembacanya. Ia mencoba menghadirkan kenyataan tersebut langsung ke pusat kesadaran pembacanya. Tidak mengherankan jika pembaca sesekali akan berhenti membaca untuk memberikan ruang kontemplasi, dan merenungkan apa yang sedang dibacanya. Hal ini dilakukan misalnya dengan melontarkan pertanyaan-pertanyan retorik. Di sinilah salah satu kelebihan esai-esai yang ditulis oleh Emha.


Di samping itu, Emha kerap menggunakan idiom-idom yang diambil dari Al Quran sehingga nafas Islami dari sejumah esainya dapat dirasakan. Menariknya, meskipun begitu, esai-esai tersebut tetap kontekstual dengan keindonesiaan dan tidak menjadi tulisan-tulisan agama, walaupun nilai-nilai religius tetap mengalir di dalamnya. Inilah yang membuat tulisan-tulisan Emha tetap dapat “dinikmati” oleh berbagai kalangan, bahkan lintas pemeluk agama.

Ke akar masalah
Esai-esai Emha tidak bergegas memberikan sebuah solusi untuk problem-problem yang tengah dibahas. Tetapi justru ia mengajak pembaca untuk secara perlahan menyelami akar masalah dari persoalan yang ada. Di sini pembaca seakan diajak untuk melihat setiap permasalah secara komprehensif, mengakar, terbuka terhadap berbagai kemungkinan, bersikap tidak asal tuduh, dan selalu mempertimbangkan dimensi-dimensi yang mengitarinya (pluridimensional).

Hal di atas tampak misalnya ketika Emha berbicara soal terorisme yang memunculkan stereotip di kalangan atau kelompok masyarakat tertentu. Dalam tulisan ini diceritakan bagaimana Emha harus menjawab pertanyaan yang diajukan seputar terorisme dan pesantren. Menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pesantren, dengan nada menyejukkan Emha mengungkapkan bahwa orang-orang dari pesantren adalah kaum yang termarjinalkan. Lulusan pesantren sebagian besar menjadi kaum yang terlempar dari arus jaman. Lalu, yang tidak diperhatikan oleh banyak kalangan, keterpinggiran tersebut disertai dendam di punggung mereka dan sewaktu-waktu bisa berubah menjadi ledakan api.


Harus diakui memang, tulisan-tulisan lelaki yang akrab dipanggil Cak Nun ini bukanlah tulisan yang dapat seketika dipahami. Namun diperlukan kearifan, kecermatan serta ketelitian dalam membacanya. Maklum saja, tulisan-tulisannya bukanlah berita sensasional tabloid hiburan yang dapat dinikmati secara instan.

Menyerahkan kepada pembaca
Emha sendiri di dalam esai-esainya tidak mencoba menggurui. Ia juga tidak tiba-tiba menjadi orang yang “maha tahu” dan mempunyai kapasitas untuk memberikan nilai pada sebuah keadaan, melainkan mencoba membahasakan realitas ke hadapan pembaca. Mengenai penilaian, hal itu lagi-lagi diserahkan kepada pembaca.


Di dalam esai-esainya, Emha sering mengajak pembaca melihat realitas dengan cara tidak langsung. Ia seringkali masuk ke dalam persoalan lewat peristiwa tertentu atau bahkan cerita tertentu. Dari situ spektrumnya meluas dan menyusup ke hal-hal yang mendasar dan substansial.


Ketika Emha memperbincangkan soal goyang Inul Daratista misalnya, ia tidak hanya berhenti pada kontroversi goyang yang sempat menghebohkan itu, tetapi juga ia ingin menunjukkan ketidakkonsistenan masyarakat dalam menghadapi sebuah gejala. Hal ini, menurut Emha, adalah disebabkan boleh latar belakang budaya dan infrastruktur alam pikiran masyrakat itu sendiri. Misalnya saja, melarang habis-habisan orang untuk korupsi, tetapi jika dirinya kecipratan hasilnya, korupsi seakan-akan menjadi legal (Hal. 16).

Sebagai murid
Hal yang sama juga tampak saat Emha berbicara soal bencana Tsunami yang terjadi di tahun 2004 di Aceh. Di sini ia tidak melulu berbicara mengenai gempa secara teknis, tetapi ia justru menelaah peristiwa tersebut dari sisi spritual yang reflektif dan kontemplatif.


Hal lain yang menarik dari kumpulan tulisan ini, Emha mengingatkan bahwa tulisannya selalu bertolak pada tanggung jawab sebagai anggota masyarakat dan bangsa, bukan pada “karir” kepenulisannya. Tidak mengherankan jika kemudian Emha acap kali memosisikan diri sebagai bagian dalam kehidupan masyarakat yang tengah dikritisinya. Malah ia menempatkan diri sebagai “murid” dari masyarakat atau umat. Keegaliteran inilah yang membuat Emha selalu dapat diterima di berbagai lapisan dan golongan masyarakat.


Dalam buku yang tidak diberi pengantar, baik dari editor, penerbit maupun penulisnya sendiri ini, esai-esai Emha dikelompokkan menjadi enam bagian besar yaitu Podium Husni yang banyak mengupas persoalan kebudayaan, Sekul dan Uler yang menyoal ideologi negara dan kepemimpinan, Santri Teror yang membahas masalah santri dan alam pikiran para santri, Generasi Kempong yang mengajak pembaca untuk melihat berbagai kekacauan sikap budaya dan kemunafikan, “Wong Cilik” dan Dendam Rindu Jakarta yang berbicara mengenai kaum marjinal, dan Gunung Jangan Pula Meletus yang mencoba memaknai bencana yang melanda Indonesia.


Sayangnya, tidak semua esai dalam buku ini menyebutkan sumber tulisannya. Akibatnya, pembaca tidak pernah tahu konteks sesungguhnya dari tulisan-tulisan tersebut. Akan lebih membantu sebenarnya jika pembaca tahu sumber tulisan tersebut, misalnya, apakah esai tersebut pernah dimuat di sebuah harian, apakah esai tersebut merupakan makalah dalam sebuah seminar, atau memang tulisan-tulisan yang belum sempat diterbitkan. Sumber karangan, waktu ketika esai itu dibuat, dan konteks persoalan ketika esai itu dibuat, tentunya akan membantu pembaca memahami gagasan-gagsan Emha dan maksud dari tulisan-tulisannya.***


(Dimuat di Koran SINDO, 8 Juli 2007)

4 komentar:

unai mengatakan...

Saya juga sedang baca buku ini Om :), belum selesai :)

catatanpekerja mengatakan...

blog yang menarik, ada juga resensi buku di sini

Cepi Supriatna mengatakan...

Bagus, aku kopas ya buat contoh...

Cepi Supriatna mengatakan...

Lupa ngucapin terima kasih. Keep posting sst yang bermanfaat seperti ini. Makasih