Judul: Sarongge
Penulis: Tosca Santoso
Penerbit: Dian Rakyat, 2012
Tebal: 370 Halaman
Harga: 95.000
Kumpulan resensi buku berbahasa Indonesia, baik yang sudah maupun belum dimuat di media massa cetak. Beragam resensi buku ada di sini, sastra, kebudayaan, politik, filsafat, sosiologi dan sebagainya. Semua resensi ditulis oleh pemilik blog ini.
Rabu, 28 November 2012
Selasa, 23 Oktober 2012
Kisah Jurnalis di Balik Berita
Judul: Jurnalis Berkisah
Penulis: Yus Aryanto
Penerbit: Metagraf
Tahun: 2012
Tebal: 227 halaman
Harga: Rp. 47.000
Wartawan adalah profesi yang memiliki risiko tinggi. Intimidasi
serta ancaman kekerasan adalah hal yang mengintipnya setiap saat. Hanya
idealisme dan keterpanggilan yang membuat seorang juru berita bertahan dengan
profesi itu.
Menjabarkan semua itu dalam sebuah manuskrip yang teoritis hanya
akan menghasilkan sebuah pemahaman yang kering. Berbeda jika hal itu
dideskripsikan ataupun dituturkan si juru berita.
Itulah yang membuat buku ini menarik disimak sebagai sebuah teks
yang menggambarkan mozaik kecil jagat jurnalistik, khususnya di Indonesia. Dari
sini pembaca tidak hanya mencerap ikhwal kerja jurnalistik, melainkan juga
berbagai dinamika yang terjadi di dalamnya.
Buku yang menceritakan kembali pengalaman para wartawan memang bukan
barang baru. Seperti dikutip dalam pengantar buku ini, pernah terbit buku Jagat
Wartawan Indonesia yang ditulis oleh Soebagijo IN di tahun 1980-an. Pernah
juga terbit Pistol dan Pembalut Wanita yang merupakan antologi
pengalaman wartawan media cetak yang bertugas di Bandung di tahun 2007.
Namun yang membedakan Jurnalis Berkisah dengan buku-buku
tersebut ialah disertakannya satu ataupun dua "kasus", berkenaan
dengan profesi yang mereka jalani. Inilah yang membuat cerita mengenai para
wartawan ini semakin bernas.
Misalnya saja Mauluddin Anwar yang terbang ke Lebanon untuk
meliput perang yang terjadi di Beirut. Petikan kisah mereka saat berada di
medan pertempuran akan menjadi hal menarik tersendiri bagi pembaca.
Memakai sudut pandang para wartawan dari berbagai jenis media,
buku ini bagaikan sebuah representasi dunia media. Lihat saja, di dalamnya ada
penuturan Najwa Shihab yang mewakili televisi berita, Telni Rusmitantri yang
bergelut di tabloid hiburan, Tosca Santoso yang malang melintang di jurnalisme
radio, Erwin Arnada yang pernah memimpin Palyaboy Indonesia, ataupun Linda
Christanty yang membangun sindikasi Aceh News Service.
Satu hal yang mengikat kesepuluh jurnalis dalam buku ini, yakni
kesetiaan pada profesi dan kebenaran. Memang ada petikan kisah-kisah heroik dari para wartawan
tersebut. Namun itu bukan titik sentral, namun sebagai pintu masuk pada
persoalan yang lebih besar.
Memang, juru berita adalah manusia biasa. Mereka memiliki
ketakutan, mereka sempat gentar, pernah terpojokkan. Sebut saja kutipan kisah
Linda Christanty yang sempat merasa ragu ketika mendapat tawaran untuk untuk
tinggal di Aceh. Memang, Aceh sebagai medan konflik bukanlah tempat yang
dimimpikan banyak orang. Tapi toh semua itu
ditepisnya. Kepedulianlah yang membawanya terbang ke Aceh.
Benar saja, ketika tiba di Serambi Mekkah, banyak hal yang dapat
dilakukan oleh Linda. Memberikan penyadaran melalui berbagai medium adalah hal
yang diupayakannnya. Termasuk memberdayakan banyak orang muda untuk berbuat
lebih banyak bagi Aceh lewat dunia jurnalistik.
Lewat buku ini pembaca tidak hanya akan menjumpai romantisme dunia
jurnalistik, melainkan kompleksnya dunia jurnalistik terutama ketika ia
berbenturan dengan berbagai kepentingan. Di sini neralitas dan keberpihakan
harus mencari bentuknya kembali.***
Senin, 24 September 2012
Mengamati Poster Propaganda Revolusi Kebudayaan Mao Tse Tung
![]() |
Dari: Taschen.Com |
Judul: Chinese Propaganda Posters
Essay: Anchee Min, Duo Duo, dan Stefan R Landsberger
Penerbit: Taschen, Jerman, 2011
Halaman: 320 halaman
Harga; HK $ 128
Buku ini memang lebih
memiliki banyak gambar ketimbang teks. Namun gambar yang termuat di dalam
bukanlah gambar biasa. Gambar tersebut tak lain poster-poster propaganda Mao
Tse Tung ketika ia memgang kekuasaan di Cina.
Seperti halnya banyak pemegang kekuasaan, Mao pun ingin
mempertahankan statusnya sebagai pemimpin partai. Apalagi ia mencetuskan Revolusi
Kebudayaan di negeri itu hingga tahun 1970-an. Ia menyebutanya Great Leap.
Dari poster propaganda tersebut, Mao tidak hanya
mempopulerkan Revolusi Kebudayaan, melainkan juga berusaha untuk mengultuskan
dirinya. Usahanya boleh dibilang berhasil. Buktinya hingga kini masih banyak
orang yang percaya dengan kebenaran ajaran Mao.
Dalam poster-poster yang termuat dalam buku ini, Mao
menggambarkan dirinya sebagai sosok yang dicintai oleh rakyatnya, dan dapat membawa Cina ke arah yang kebih baik,
Cina yang lebih makmur di bawah pemerintahan partai komunis.
Bahkan beberapa poster memperlihatkan pentingnya “melupakan”
kepentingan diri sendiri, bahkan nyawa, untuk kepentingan partai.
Tapi toh dari beberapa catatan litartur yang ada, usaha Mao
ternyata hanya isapan jempol. Usaha untuk memakmurkan Cina justru membawa
penderitaan bagi rakyat. Bagaimana tidak, ketika Mao berkuasa kemiskinan
semakin menjadi-jadi, kebebasan menjadi barang langka, dan tekanan terjadi
kepada mereka yang dianggap memiiki orientasi ke Barat.
Poster-poster yang ada dalam buku ini paling tiak menjadi
sebuah “monumen” yang mengingatkan kembali kepada siapa saja bahwa kekuasaan
cenderung melanggengkan diri, dengan menghalalkan segala cara.
Kekurangan buku ini, menurut hemat saya, tidak adanya sebuah
analisa yang memadai atas poster-poster tersebut. Poster-poster tersebut hanya
memiliki data seputar pembuatnya, judul, dan latar belakang dibuatnya poster
tersebut. Jika saja poster tersebut dilengkapi dengan kajian yang mendalam
dengan melibatkan metodologi tertentu, semisal semiotik, maka buku ini akan
menjadi lebih bernas.***
![]() |
Salah satu contoh poster dalam buku, dari www.taschen.com |
![]() |
Contoh poster lain dalam buku: www.taschen.com |
*) Catatan: buku ini diperoleh penulis dalam perjalanan
menuju Hong Kong pada bulan September 2012. Tidak ada catatan apakah buku dijual di Indonesia atau tidak. info: www.taschen.com
Selasa, 18 September 2012
Mendengarkan Konsumen di Media Sosial
Judul: Likeable Social Media
Penulis: Dave Kerpen
Penerbit: Mc Graw Hill
Halaman: 260 halaman
Harga: US $ 20
Media sosial itu seksi! Demikian sering disebut oleh para marketer. Bagaimana tidak, dengan media sosial, para marketer dapat menjangkau target yang sangat spesifik dengan biaya yang relatif lebih murah ketimbang media tradisional seperti televisi.
Persoalannya, bagaimana seorang marketer harus menyusun strategi agar kampanye yang dilakukan lewat media sosial dapat memberikan efek yang positif.
Buku Likeable Social Media ini memberikan semacam pedoman bagai mereka yang ingin menggunakan media sosial seperti Facebook ataupun Twitter. Penulis buku ini, Dave Kerpen, memberikan segudang tips agar sebuah produk mendapat respon yang baik sehingga dapat memberikan efek viral yang sempurna.
Beberapa tips yang disampaikan dalam buku ini antara lain dengan memosisikan para dengan calon pelanggan. Ia harus dapat mengerti kemauan dan keinginan para calon konsumen.
Artinya, marketer harus dapat mendengar keinginan pelanggan. It's about listening! Begitu dikatakan oleh Dave Kerpen. Mendegarkan konsumen dan calon konsumen menjadi hal yang esensial. Konsumen harus didengarkan, baik pujian hingga cacian mengenai produk yang kita tawarkan.
Mengapa demikian? Karena esensi dari media sosial marketing adalah mendengarkan dan memberikan respon. Tanpa hal ini, sulit bagi marketer untuk meningkatkan brand enggagemnet konsumen.
Nah, jika anda adalah peminat social media marketing, liriklah buku ini.
Rabu, 25 Juli 2012
Serba-serbi Masyarakat Kolonial Batavia
Penulis: Henderik E Niemeijer
Penerbit: Masup Jakarta
Terbit: Juli, 2012
Halaman:
Harga: Rp. 180.000 (hard cover)
Memahami Jakarta
pada masa kolonial yang kala itu masih disebut Batavia memang menarik.
Pasalnya, dari situlah kita dapat melihat dimensi-dimensi sosiologis-politis
yang kemudian membentuk Jakarta masa kini. Buku ini rasanya adalah salah satu
referensi yang dapat menambah derajat pemahaman kita mengenai dimensi-dimensi
tersebut.
Pada bagian awal
buku ini pembaca mungkin akan terperangah mengetahui bahwa Batavia pada abad 17
ternyata tidak lebih dari sebuah kota perbudakan. Kala itu perbudakan mendapat tempat yang subur karena
memiliki payung legalitas dari pemerintah kolonial. Penyebabnya pemerintah memiliki kepentingan untuk
menempatkan pekerja murah untuk mengembangkan Batavia menjadi kota dagang.
Akibatnya budak
tidak hanya didatangkan dari berbagai pulau di luar Jawa seperti Maluku,
Sulawesi atupun Bali, melainkan juga dari luar negeri seperti India, Srilanka,
hingga Filipina. Para budak ini kemudian diperjualbelikan oleh tuan-tuan
mereka. Di kemudian hari kedatangan para budak di batavia memunculkan masalah
kemasyarakatan tersendiri di Batavia, mulai dari pergundikan, kriminal, hingga
kekerasan (hal. 31-57).
Kemunculan budak
dan pendatang ke Batavia telah menjadikan kota ini sebuah kuali adukan (melting pot). Namun itu pun memunculkan
potensi gesekan. Kehadiran kelompok etnis Cina misalnya, telah memicu konflik
tersendiri. Salah satu yang tercatat dalam buku ini adalah kebiasaan berjudi
yang kerap berujung pada keributan. Akibatya pemerintah harus membatasi
perjudian.
Namun,
situasinya menjadi dilematis. Pasalnya, di satu sisi, pemerintah yang berkuasa
memperoleh pendapatan dari perjudian tersebut. Setiap rumah judi ataupun
pesta-pesta yang menyelenggarakan perjudian, diharuskan menyerahkan semacam
pajak kepada pemerintah Batavia.
Masalah lain
yang juga sering muncul ke permukaan pada abad 17 adalah konflik antar pemeluk
agama. Hal ini terjadi antara penganut Kristen dan Katolik. Kala itu para
pendeta Kristen terang-terangan menolak misi yang dijalankan oleh pemuka agama
Katolik. (hal. 239-254). Bahkan tanpa segan mereka menganggap ibadah ataupun
ritus yang dipimpin oleh pemuka Katolik dianggap ilegal.
Hal yang harus
dicatat mengenai hubungan antar pemeluk agama pada masa kolonial adalah
kenyataan Islam yang terus berkembang dan memegang peranan penting. Bahkan
kemudian pemerintah Hindia Belanda lebih membuka kesempatan untuk perkembangan
Islam ketimbang agama Katolik.
Pada halaman
217-220 bahkan disampaikan bahwa Islam tidak dianggap sebagai “bahaya”,
sebaliknya banyak ulama Islam yang dianggap dapat bekerja sama dengan
pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memiliki posisi khusus.
Hal berbeda dialami oleh praktik-praktik relijius
yang dilakukan oleh etnis Cina. Dalam buku ini praktik keagamaan yang dilakukan
oleh etnis Cina cenderung dianggap membuat keributan. Tidak mengherankan jika
pemerintah perlu untuk melarang kegiatan tersebut.
Buku ini menarik
untuk memahahami kehidupan masyarakat kolonial Batavia. Sayangnya, catatan yang
banyak didasarkan pada dokumen administrasi pemerintahan ini, tidak diformulasi
dengan cara yang lebih cair. Padahal cara yang lebih cair akan membuat pembaca
lebih asyik mengikuti “perjalanan ke masa lalu” ini.
Simak saja buku Semerbak Bunga di Bandung Raya (1998)
yang ditulis oleh Haryoto Kunto. Banyak
cerita dan fakta tentang Kota Bandung yang didasarkan pada literatur masa lalu,
namun disampaikan dengan cara yang “renyah”, menawan , dengan bumbu-bumbu yang
jenaka di sana-sini. Akhirnya, jadilah sebuah buku yang menarik untuk
dinikmati.***
Langganan:
Postingan (Atom)