Senin, 05 Januari 2009

Melihat Berbagai Dimensi Peristiwa dengan Humor


Judul: Presiden Guyonan
Penulis: Butet Kartaredjasa
Tebal: xxiv + 285 halaman
Penerbit: Kitab Sarimin, Yogyakarta,
Terbit: November 2008
Sebuah surat kabar memuat ratusan berita setiap harinya. Berbagai peristiwa dihadirkan ke hadapan pembaca.secara bertubui-tubi. Isu demi isu terus berganti setiap minggunya. Nyaris tidak ada isu yang dapat bertahan lama. Pembaca pun seperti mengalami amnesia isu.
Ini adalah konsekuensi dari media massa yang selalu mengutamakan aktualitas. Aktualitas dan kecepatan menyiarkan sebuah berita menjadi menjadi sebuah keharusan. Padahal kedalaman sebuah berita juga diperlukan agar dimensi-dimensi dari sebuah berita dapat ditangkap oleh pembaca.
Oleh sebab itu, harus ada sebuah cara agar isu-isu yang mengemuka di media masa tidak terlindas begitu saja oleh isu-isu lain yang terus menjejali ruang pikiran pembaca. Cara ini harus dapat mengajak pembaca untuk melihat dimensi-dimensi lain dari sebuah peristiwa, merenungkan, merefleksikan, dan bahkan menginterpretasikannya
Untuk itulah sebuah kolom hadir di surat kabar. Kolom tidak hadir dengan perhitungan kecepatan dan aktualitas, meskipun persoalan yang dikemukakan dapat saja merupakan sesuatu yang aktual, tetapi selalu mengajak pembaca untuk sejenak melongok peristiwa tersebut dan memberikan diri untuk merenungkannya.
Tentu saja, untuk mencapai hal ini kolom harus hadir dengan format dan caranya yang berbeda dan khas. Di sinilah kepiawaian seorang penulis kolom dibutuhkan, dan Butet Kartaredjasa telah memilih caranya sendiri untuk mengajak pembaca melihat secara reflektif realitas yang ada di sekitarnya.
Untuk mengajak pembaca merenungkan persoalan atau fenomena yang terjadi dalam masyarakat, Butet menghadirkan tulisan-tulisan yang dapat mengundang pembaca tersenyum atau bahkan tertawa. Kolom-kolomnya tidak hadir dengan cara yang memberat karena ia tahu, apabila persoalan yang disampaikannya saja sudah berat, maka tidak perlu lagi memberikan beban kepada pembaca dengan menghadirkan tulisan-tulisan yang sulit diicerna. Di sinilah letak salah satu kekuatan kolom-kolom ini.
Kelebihan lain kolom-kolom Butet yang pernah dimuat di harian Suara Merdeka di Semarang ini adalah hadirnya tokoh Mas Celathu bersama anggota keluarganya, yakni Mbakyu Celathu, istrinya, serta anak-anaknya. Lewat tokoh-tokoh inilah Butet menyajikan isu-isu penting yang mungkin terlupakan dalam dinamika kerja sebuah media.
Namun tokoh sentral Mas Celathu memang sangat dominan dalam kolom-kolom Butet ini. Lewat sosok inilah Butet menyampaikan buah pikirannya. Tokoh ini digambarkannya sering muncul dengan kegelisahan-kegelisahan, kegeraman-kegeraman, dan bahkan dengan kebingungan-kebingungannya sendiri, yang merupakan respon dari apa yang dilihat dan dicermati dari lingkungannya.
Mas Celtahu juga bukan hanya sosok sederhana yang terkadang terkesan selalu bebas berbicara, tukang njeplak, dan tajam dalam mengritik, tapi juga sering muncul dengan gagasan yang melawan mainstream. Sebut saja ketika ia bicara soal gay dan lesbian dalam kolomnya yang berjudul Psikopat Anyar. Dalam tulisan ini dikisahkan bagaimana Mas Celathu mencoba meluruskan anggapan umum masyarakat mengenai para gay dan lesbian yang terlanjur diberi cap negatif. Mas Celathu digambarkan mengajak masyarakat untuk menghargai keberadaan kelompok ini. Gay dan lesbian tidak selalu identik dengan pembunuhan kejam, mutilasi atau berbagai kejahatan lain. Justru mereka yang berprofesi mulia, dijangkiti sindrom psikopat.
Tidak hanya itu, Mas Celathu pun acap kali tergoda dan ”gatal” untuk memberikan komentar, tanggapan, pujian ataupun ejekan dari apa yang ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari. Ini sesuai dengan istilah celathu, yang dalam bahasa Jawa dapat berarti nyeletuk, menyahut, atau "menyambar" omongan orang lain. Alhasil, dengan cara yang jenaka, pentolan teater Gandrik ini, mengritik dan mengolok-olok berbagai kejadian atau keadaan yang menurutnya tidak tepat, melanggar aturan, ataupun keliru sama sekali.
Tetapi Butet tidak selalu memoisisikan Mas Celathu sebagai pengritik yang selalu bersih sehingga seakan-akan punya otoritas menunjuk kesalahan orang lain alias menghakimi. Di sisi lain justru ia menghadirkan Mas Celathu sebagai sosok yang manusiawi, yang sering khilaf, berbuat kekliruan, yang terkadang justru terjebak dalam kondisi atau persoalan yang sebelumnya sering ia kritik.
Simak saja di kolom berjudul Isteri Bernyali. Dalam kolom ini dikisahkan Mas Celathu tergoda untuk "berbisnis" di lokasi yang tertimpa bencana alam. Ia melihat di lokasi bencana alam inilah ia bisa meraup keuntungan dengan berdagang berbagai benda yang dibutuhkan oleh mereka yang tertimpa bencana alam. Namun ide tersebut dimentahkan begitu saja oleh sang istri. Sang istri menilai gagasan tersebut tidak etis karena mencari keuntungan di atas kesusahan orang lain. Diserang seperti itu, Mas Celathu pun mengkeret tak berkutik. Rupanya Mas Celathu yang doyan memarahi penguasa pun bisa tunduk terhadap istrinya.
Salah satu kelebihan kolom-kolom dalam Presiden Guyonan ini adalah bagaimana Butet memakai istilah-istilah dalam bahasa Jawa. Ini wajar saja, sebab kolom ini memang hadir di tengah-tengah masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa. Tetapi toh persoalan yang disampaikan bukan persoalan primordial, tetapi persoalan yang lebih luas lagi spekttrumnya, persoalan. Penggunaan istilah dalam bahasa Jawa justru membuat kolom ini lebih hidup, lebih "berbumbu" sehingga unsur humor yang dibangun di dalamnya lebih kental. Mereka yang tidak terlalu paham bahasa Jawa dapat melihat arti atau makna dari istilah-istilah tersebut di bagian akhir buku ini.
Penggunaan istilah dalam bahasa Jawa yang dilakukan oleh Butet tersebut, mengingatkan kita kepada kolom-kolom almarhum Umar Kayam yang dimuat di harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta. Dalam kolom-kolom tersebut Umar Kayam juga menggunakan istilah-istilah Jawa yang begitu mengena. Dengan istilah-istilah itu justru sendirian, ejekan, ataupun kritik yang dilontarkan menjadi lebih "ciamik" untuk dinikmati.
Catatan lain dari kolom-kolom Butet ini adalah, ia menggunakan "logika terbalik" untuk memaknai masalah-masalah yang ditulis. Hal yang dimaksudkan di sini adalah, apabila sebuah persoalan dipandang serius, seseorang cenderung merseponnya dengan serius pula. Bahkan, sejumlah teori Barat--baik teori politik, ekonomi atau sosial--digunakan untuk memaknai dan mencarikan jalan keluar dari persoalan yang ada.
Namun tidak demikian dengan Butet. Dalam kolom-kolomnya ini, ia justru merseponnya dengan cara yang ringan, sederhana, bahkan cenderung melucu. Persoalan-persoalan yang ada selalu dihampirinya dengan cara yang membuat orang tergelitik. Inilah yang dimaksudkan "logika terbalik". Sesuatu yang tampak serius, ”angker” atau bahkan elit, di kolom-kolom justru diresponnya hanya dengan tertawa. Di sini Butet seperti ingin mengajak pembaca menghampiri setiap masalah dengan cara yang terbalik. Ia seperti ingin berkata, buat apa susah-susah merunyamkan pikiran hanya karena memikirkan persoalan yang sudah terlalu ruwet. Lebih baik hadapi saja dengan senyum. Buat apa mengerutkan dahi karena melihat kesedihan yang terlampau menyedihkan, lebih baik tertawa saja agar kesedihan itu lebih dapat dapat terobati.***

Melihat Berbagai Dimensi Peristiwa dengan Humor


Absurditas Manusia Jakarta

Di Jakarta berbagai hal dapat terjadi, mulai dari hal yang masuk akal, sampai hal-hal yang membalik-balikan logika. Hal inilah yang kemudian menjadi ciri manusia Jakarta atau yang dalam buku ini diistilahkan sebagai Homo Jakartensis.

Secara umum manusia Jakarta memang tidak beda dengan manusia yang hidup di kota-kota lain. Jika manusia Jakarta minum kopi, manusia di Wonosari juga tidak sedikit yang gemar ngopi. Jika manusia Jakarta mandi memakai sabun, toh manusia di Ciranjang pun mandi memakai sabun.

Namun yang membedakan manusia Jakarta dengan manusia di kota lain adalah cara dalam memaknai kegiatan fungsional tadi, ngopi misalnya. Bagi manusia Jakarta, minum kopi tidak sekadar menyeruput minuman berwarna hitam kecoklatan itu, tetapi di sana juga terdapat selera, cara memilih dan jugasoal citra

Salah satu contoh yang dikedepankan oleh Seno untuk menandai fenomena ini adalah hal makan. Makan bukan sekadar makan enak sesuai selera dan sekaligus mengenyangkan, tetapi juga memiliki makna simbolik. Makan di warung tenda yang menyajikan masakan Sunda, jelas berbeda dengan makan di restoran Dapur Sunda yang ber-AC dengan pelayan-pelayan yang ramah.

Akibatnya, kalau mau pamer, mengajak seluruh keluarga untuk pesta makan, siapkanlah uang sebanyak-banyaknya. Tetapi, kalau ingin makan dengan selera sendiri, meskipun masih memakai dasi, berpanas-panas di warung tenda pun jadi.

Kemudian soal mobil. Mobil ternyata tidak melulu alat transportasi, namun juga merupakan prestise, sebuah identitas bagi pemiliknya. Kehormatan pun diterjemahkan pada simbol mobil tersebut. Tidak heran jika bemper mobil tersebut lecet atau penyok karena terserempet, maka seakan-akan ikut lecet dan penyok pula harga diri dan kehormatan pemiliknya.
Padahal itulah fungsi bemper, yakni untuk menahan agar benturan dari mobil lain tidak langsung mengenai body mobil. Bukankah sebaiknya bemper yang penyok dari pada body mobil yang penyok.

Dari beberapa contoh peristiwa di atas tampak bagaimana citra, nilai dan gaya menjadi hal yang penting bagi manusia Jakarta. Uniknya proses ini terus menerus berputar selama manusia Jakarta itu ada. Dengan citra dan gaya inilah berbagai persoalan dapat diselesaikan dengan mudah.

Dalam dunia bisnis misalnya, memperlihatan citra bonifide perusahaan menjadi elemen yang sangat penting. Tidak heran jika sebuah kantor dengan sengaja membeli lukisan berharga ratusan juta rupiah untuk dipasang di lobby kantor agar timbul kesan direktur perusahan tersebut adalah orang yang tahu banyak soal seni.

Di dalam buku ini Seno memang seolah ingin menelanjangi manusia-manusia Jakarta. Ia seperti ingin menunjukkan di balik penampilan manusia Jakarta yang bekesan megah, mewah, dan gemerlap justru terdapat kekacauan, keanehan, dan disoreintasi yang kronis.
Kumpulan kolom ini adalah mengenai absurditas manusia Jakarta. Apakah absurditas ini adalah sesuatu yang salah atau keliru? Seno tidak secara terang-terangan mengatakannya, namun paling tidak ia mengajak pembaca untuk melihat sebuah gejala sosiologis yang terjadi pada manusia Jakarta.***

Absurditas Manusia Jakarta

Di Jakarta berbagai hal dapat terjadi, mulai dari hal yang masuk akal, sampai hal-hal yang membalik-balikan logika. Hal inilah yang kemudian menjadi ciri manusia Jakarta atau yang dalam buku ini diistilahkan sebagai Homo Jakartanesis.

Secara umum manusia Jakarta memang tidak beda dengan manusia yang hidup di kota-kota lain. Jika manusia Jakarta minum kopi, manusia di Wonosari juga tidak sedikit yang gemar ngopi. Jika manusia Jakarta mandi memakai sabun, toh manusia di Ciranjang pun mandi memakai sabun.

Namun yang membedakan manusia Jakarta dengan manusia di kota lain adalah cara dalam memaknai kegiatan fungsional tadi, ngopi misalnya. Bagi manusia Jakarta, minum kopi tidak sekadar menyeruput minuman berwarna hitam kecoklatan itu, tetapi di sana juga terdapat selera, cara memilih dan jugasoal citra

Salah satu contoh yang dikedepankan oleh Seno untuk menandai fenomena ini adalah hal makan. Makan bukan sekadar makan enak sesuai selera dan sekaligus mengenyangkan, tetapi juga memiliki makna simbolik. Makan di warung tenda yang menyajikan masakan Sunda, jelas berbeda dengan makan di restoran Dapur Sunda yang ber-AC dengan pelayan-pelayan yang ramah.

Akibatnya, kalau mau pamer, mengajak seluruh keluarga untuk pesta makan, siapkanlah uang sebanyak-banyaknya. Tetapi, kalau ingin makan dengan selera sendiri, meskipun masih memakai dasi, berpanas-panas di warung tenda pun jadi.

Kemudian soal mobil. Mobil ternyata tidak melulu alat transportasi, namun juga merupakan prestise, sebuah identitas bagi pemiliknya. Kehormatan pun diterjemahkan pada simbol mobil tersebut. Tidak heran jika bemper mobil tersebut lecet atau penyok karena terserempet, maka seakan-akan ikut lecet dan penyok pula harga diri dan kehormatan pemiliknya.

Padahal itulah fungsi bemper, yakni untuk menahan agar benturan dari mobil lain tidak langsung mengenai body mobil. Bukankah sebaiknya bemper yang penyok dari pada body mobil yang penyok.

Dari beberapa contoh peristiwa di atas tampak bagaimana citra, nilai dan gaya menjadi hal yang penting bagi manusia Jakarta. Uniknya proses ini terus menerus berputar selama manusia Jakarta itu ada. Dengan citra dan gaya inilah berbagai persoalan dapat diselesaikan dengan mudah.

Dalam dunia bisnis misalnya, memperlihatan citra bonifide perusahaan menjadi elemen yang sangat penting. Tidak heran jika sebuah kantor dengan sengaja membeli lukisan berharga ratusan juta rupiah untuk dipasang di lobby kantor agar timbul kesan direktur perusahan tersebut adalah orang yang tahu banyak soal seni.

Di dalam buku ini Seno memang seolah ingin menelanjangi manusia-manusia Jakarta. Ia seperti ingin menunjukkan di balik penampilan manusia Jakarta yang bekesan megah, mewah, dan gemerlap justru terdapat kekacauan, keanehan, dan disorientasi yang kronis.

Kumpulan kolom ini adalah mengenai absurditas manusia Jakarta. Apakah absurditas ini adalah sesuatu yang salah atau keliru? Seno tidak secara terang-terangan mengatakannya, namun paling tidak ia mengajak pembaca untuk melihat sebuah gejala sosiologis yang terjadi pada manusia Jakarta.***

Minggu, 13 April 2008

Menyusuri Lorong Kenangan Ajip Rosidi




Judul : Hidup Tanpa Ijazah, Yang Terekam dalam Kenangan
Penulis : Ajip Rosidi
Penerbit : Pustaka Jaya
Tebal : 1330 halaman
Cetakan : Januari 2008

Ajip Rosidi memang tokoh luar biasa. Ia bukan orang baru dalam jagat sastra Indonesia. Pemikirannya telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi sastra dan kebudayaan Indonesia. Namun siapa sangka, guru besar tamu pada Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa Asing), Jepang, ini bahkan tidak memiliki ijazah sekolah menengah.
Itulah salah satu kisah hidup yang disampaikan oleh Ajip Rosidi dalam buku Hidup Tanpa Ijazah ini. Di dalam buku ini Ajip mengisahkan, alasan mengapa ia tidak memiliki ijazah sekolah menengah.

Kejadiannya bermula ketika ujian nasional sekolah menengah ditahun 1956, dikabarkan sering mengalami kebocoran soal. Banyak orang yang dapat memperoleh soal ujian sebelum waktu ujian tiba. Tentu saja, caranya dengan menyogok guru sekolah.
Dari kenyataan inilah Ajip Rosidi memilih untuk tidak mengikuti ujian sekolah menengah. Baginya, hidup tidak harus digantungkan pada secarik kertas bernama ijazah. Prestasi kerja, kemampuan dan pengakuan masyarakat terhadap seseoranglah yang dapat menentukan seseorang dapat bekerja atau tidak.

Oleh karena itu, Ajip yang saat itu sudah memperoleh pengalaman mengajar dan menulis sastra, merasa tidak memerlukan ijazah lagi. Ia ingin membuktikan bahwa seseorang dapat hidup tanpa ijazah. Keinginannya tersebut ia kemukakan kepada kepala sekolahnya.

Dari sisi yang lain, Ajip dapat digolongkan sebagai seseorang yang berani untuk mengungkapkan gagasan dan opininya mengenai sesuatu. Ia selalu bicara langsung pada inti persoalan, tanpa ditutup-tutupi, jika ada hal yang ingin disampikan. Ia bahkan seperti tidak memedulikan siapa orang yang sedang diajaknya bicara. Apalagi kalau dirinya yakin apa yang dikemukakannya adalah sesuatu yang benar.

Misalnya saja ketika ia mengungkapkan ketidaksetujuannya perihal roman psikologis yang disampaikan oleh guru Kesusateraan Indonesia di sekolah menangah. Ketika itu Ajip mengemukakan argumentasinya. Namun belum selesai ia bicara, guru tersebut membentak dan menyuruhnya keluar. Sayang, pada bagian ini Ajip tidak menceritakan kelanjutan peristiwa tersebut. Apakah ia benar-benar keluar dari kelas, atau tetap berada di dalam kelas dan mempertahankan argumentasinya.

Keberanian Ajip tersebut terus terbawa saat ia berkiprah sebagai satrawan. Misalnya saja ketika ia menuliskan karangannya di Sipatahaoenan. Ketika karangan tersebut dimuat, reaksi yang muncul sungguh di luar dugaan. Kala itu ia mendapat serangan dari banyak sastrawan Sunda. Namun semua itu ditanggapinya dengan nada mengolok-olok. Tujuan Ajip tentu bukan sekadar mengolok-olok, tetapi ia ingin ada geliat baru dalam kesusatraan Sunda.

Nada serupa juga terlihat ketika Ajip menanggapi rencana rektor Universitas Padjadjaran untuk memberikan gelar penghormatan. Namun hingga melewati batas waktu yang direncanakan, tidak juga ada kejelasan soal pemberian gelar kehormatan tersebut. Akhirnya, pidato yang dipersiapkan untuk menerima gelar kehormatan itu dimasukkan ke dalam buku yang diterbitkan untuk menyambut 70 Tahun Romo dick Hartoko yang sudah dikenalnya sejak lama.
Menanggapi ketidakjelasan tersebut, Ajip Rosidi mengatakan bahwa ia tidak memerlukan gelar penghargaan. Selama ini ia sudah hidup cukup baik tanpa gelar apa pun. Ketika temannya meminta Ajip untuk menelusuri surat rahasia dari Menteri Pendidikan kepada Dirjen Pendidikan Tinggi, Ajip menolak dan dengan tegas. Ia mengatakan, dirinya tidak membutuhkan gelar itu. Bagi Ajip gelar tersebut tidak banyak artinya. Gelar kehormatan itu tidak akan menaikkan gajinya di Jepang, dan tidak akan membuatnya lebih terkenal.

Salah satu gagasan penting Ajip Rosidi dalam kesusasteraan adalah pemberian penghargaan Rancage. Hadiah ini diberikan khusus kepada karya-karya sastra berbahasa daerah. Pada awalanya penghargaan tersebut hanya diberikan kepada karya sastra Sunda. Namun pada perkembangannya, hadiah Rancage tidak hanya diberikan kepada sastra berbahasa Sunda, tetapi juga bahasa daerah lainnya seperti Sastra Jawa dan Sastra Bali.

Ajip mejelaskan, pemberian hadiah Rancage adalah semata-mata untuk menunjukkan bahwa kerja keras para penulis sastra daerah mendapat perhatian yang layak, dan dihargai. Kata Rancage sendiri diambil dari carita pantun yang berarti aktif-kreatif.

Di samping gagasan dalam sastra dan kebudayaan, hal yang juga menarik dari buku ini adalah penggalan-penggalan cerita dari sejumlah orang yang pernah berinterkasi dengan Ajip. Mereka bisa keluarga, kerabat, satrawan, pejabat atau tokoh politik yang pernah bertemu dengannya. Dari sinilah pembaca dapat mengetahui kisah-kisah yang bersifat human interest dari tokoh tersebut.

Salah satu orang dikisahkan oleh Ajip adalah Pramoedya Ananta Toer. Dalam buku ini Ajip memaparkan bahwa Pramoedya adalah orang yang sangat egosentris. Buktinya Pramoedya mengajak istrinya untuk tidak tinggal bersama mertuanya. Meskipun mertuanya adalah orang kaya yang memiliki banyak rumah, namun Pramoedya memilih untuk tinggal di rumah petak beralas tanah di kawasan Rawamangun, Jakarta, bersama istrinya. Padahal, menurut Ajip, mungkin baru saat itulah Maemunah, istri Pramoedya, untuk pertama kalinya tinggal di rumah beralas tanah.

Masih kisah di seputar Pramoedya, Ajip menceritakan bagaimana di masa Pram mengalami krisis keuangan, ia mendapat order untuk menerjemahkan karya utama Maxim Gorky, Ibunda. Menurut Ajip, tidak mengherankan jika Pramoedya sampai beranggapan bahwa orang yang membantunya ketika mengalami kesulitan adalah orang kiri. Hal ini terjadi ketika sejumlah majalah tidak mau lagi memuat tulisan-tulisannya, dan beberapa penerbit mengembalikan hak penerbitannya serta berhenti mencetak buku-buku Pram.Buku Hidp Tanpa Ijazah ini memang menarik untuk dibaca. Gaya bertutur Ajip yang khas, tulisan yang enak dibaca, dan isi yang kaya, membuat pembaca tidak bosan untuk membaca buku ini hingga akhir, seperti menyusuri lorong kenangan yang sarat dengan kisah dan cerita hidup. ****