Minggu, 08 Mei 2011

KIsah Cinta Seorang Wartawan



Judul : Belahan Jiwa

Penulis : Rosihan Anwar

Penerbit : Kompas

Terbit : I, April 2011

Tebal : 234 halaman

Harga : Rp. 48.000



Di antara puluhan buku maupun kumpulan tulisan yang pernah ditulisnya, Belahan Jiwa adalah buku yang paling memperlihatkan sisi romantis Rosihan Anwar. Buktinya, kata-kata seperti "sayang", "cinta" dan "salam manis" untuk Zuraida Sanawi, istrinya, bertebaran dalam buku ini.

Rosihan mengenal Ida, begitu panggilan akrab Zuraida, ketika keduanya bekerja di surat kabar Asia Raja. Awalnya hubungan mereka sebatas menyangkut pekerjaan. Tetapi garis tangan telah membawa mereka pada hubungan cinta.

Menurut Rosihan, keseriusannya membina hubungan dengan Ida tidak terlalu mulus. Pasalnya, ibu Ida mempertanyakan kesiapan Ida menerima Rosihan yang kala itu bekerja "hanya" sebagai wartawan.

Rosihan mahfum dengan pendapat calon mertuanya itu. Ia yakin, kebimbangan itu bukan didasarkan pada ketidaksukaan terhadap Rosihan, namun karena ia ingin Ida hidup bahagia. Ini wajar, sebab secara finansial, profesi wartawan saat itu tidaklah menjanjikan.

Dalam sebuah suratnya Ida menegaskan bahwa ia mau menerima Rosihan. Ia tahu benar konsekuensi-konsekuensi menjadi istri wartawan. Namun, dalam pandangan Ida, Rosihan adalah wartawan yang istimewa, itu alasannya ia mau menjadi istrinya.

Dalam buku ini memang dilampirkan sejumlah surat yang menunjukkan bagaimana korespondensi Ida dengan Rosihan. Kata-kata cinta yang sederhana plus cerita lain mengenai sahabat, kerabat dan lingkungan kerja, adalah ciri-ciri surat yang ditulis mereka.

Menariknya, dalam buku ini Rosihan tidak semata mengisahkan perjalanan cintanya, namun juga menuliskan sejumlah peristiwa sejarah. Inilah yang agak sulit untuk dihindari oleh Rosihan yang "berdarah" wartawan itu.

Dalam buku ini misalnya, Rosihan menuliskan peristiwa di kediaman AH Nasution pada saat terjadi G30S tahun 1965. Hal ini diceritakannya karena ia melihat sendiri kejadian tersebut secara “live”. Untuk diketahui, kediaman Rosihan kala itu berada di depan rumah AH Nasution. Baru keesokan harinya ia mengetahui secara lengkap apa yang sebenarnya telah terjadi.

Buku ini disusun oleh Rosihan setelah Ida tutup usia pada 5 September 2010. Dari buku ini terlihat bagaimana terpukulnya Rosihan setelah Ida meninggal dunia.

Bahkan anggota keluarga Rosihan harus berkali-kali memperingatkannya untuk tidak terus-menerus tenggelam dalam duka. Life must go on, begitu selalu disampaikan oleh anak-anaknya kepada Rosihan.

Lalu apa yang mendorong Rosihan menuliskan memoar ini. Bagi Rosihan menuliskan memoar adalah sebuah permohonan maaf sekaligus koreksi atas kesalahannya kepada Ida di masa lalu.

Seingat Rosihan, stres, tekanan pekerjaan, ancaman breidel, hingga situasi politik yang tidak menentu, kerap membuat dirinya ogah bicara kepada Ida. Ini yang diselali Rosihan. Tetapi Ida tidak melakukan protes, sebaliknya ia diam dan mengurus pekerjaan rumah seperti biasa. Itulah ekspresi cinta Ida yang besar terhadap Rosihan.

Buku ini bagaikan sebuah epilog dalam perjalanan hidup Rosihan. Sebuah epilog tentang cinta dan kesetiaan. Di sini Rosihan telah menyampaikannya dengan sangat indah ***


Kisah Pengabdian Inggit Garnasih



Judul : Kuantar ke Gerbang

Penulis : Ramadhan KH

Penerbit : Bentang

Terbit : I, Maret 201

Halaman : x + 431 Halaman


Banyak keberhasilan tokoh besar justru didukung oleh perempuan hebat dan kuat di belakangnya. Perempuan itu tidak lain adalah para istri yang selalu setia. Pengorbanan dan dedikasi istrilah yang mengantarkan para suami ke gerbang kebesaran.

Namun sayang, kiprah perempuan-perempuan luar biasa itu sering terlupakan. Penyebabnya, para tokohlah yang lebih mendapat perhatian maupun ekspos ketimbang istri mereka.

Para perempuan ini memang tidak mengharapkan balasan. Namun, penghargaan patut mereka terima atas apa yang telah mereka sumbangkan bagi para tokoh yang mereka dampingi.

Begitu juga dengan roman sejarah Kuantar ke Gerbang yang mengisahkan perjalanan Inggit Garnasih dan Soekarno. Dari buku ini dapat terlihat bagaimana pengorbanan maupun sumbangsih Inggit terhadap Soekarno.

Dikisahkan dalam novel ini, bagaimana Inggit telah melakukan banyak hal untuk mendukung aktivitas Soekarno, dimulai dari ketika Soekarno masih menjadi mahasiswa di Bandung, hingga ketika ia mengalami masa-masa sulit di bawah tekanan pemerintah Hindia Belanda.

Pengorbanan Inggit Garnasih ini dideskripsikan oleh Ramadhan KH, penulis buku ini, misalnya ketika Inggit harus mencari nafkah untuk keluarga. Maklum, ketika masih menjadi mahasiswa, Soekarno belum memiliki pekerjaan. Padahal saat itu ia telah menikah dengan Inggit.

Hal yang sama juga terjadi ketika Soekarno dijebloskan ke dalam penjara oleh pemerintah Belanda karena dituduh telah merencanakan kejahatan. Ketika itu Inggit tetap setia mendampingi Soekarno.

Inggit menutup-tutupi kesulitan dirinya agar Soekarno tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya. Ia ingin Soekarno tetap merasa tenang dan tidak diganggu pikiran tentang dirinya.

Bahkan ketika Inggit terpaksa berjalan bersama anaknya kaki dari Bandung menuju penjara Sukamiskin, Ujung Berung, Bandung, untuk menjenguk Soekarno, hal itu tidak diceritakannya. Ini menunjukkan bahwa Inggit ingin Soekarno tidak dibebani hal yang "tidak penting" selama berada di penjara.

Kesetian Inggit teruji kembali ketika Soekarno diasingkan ke Ende maupun ke Bengkulu. Ketika itu Inggit menyatakan akan mengikuti Soekarno ke pengasingan. Hal ini tentu bukan perkara mudah, apalagi kedua daerah itu merupakan wilayah yang belum pernah didatangi oleh Inggit sebelumnya.

Tetapi Inggit tidak memedulikan hal itu. Keputusannya untuk mengabdi kepada sang suami sudah bulat. Bagi Inggit, mendampingi suami dalam susah maupun senang sudah menjadi kewajiban seorang istri.

Hal yang paling melukai Inggit adalah ketika Soekarno mengemukakan keinginananya untuk memiliki anak. Itu berarti Soekarno harus menikah dengan perempuan lain karena Inggit kecil kemungkinanya untuk bisa memberikan anak.

Namun toh Inggit pasrah. Sebab ia tahu, dengan memberikan kesempatan kepada Soekarno untuk menikah dengan perempuan lain, berarti ia telah memberikan kesempatan kepada lelaki itu untuk berbuat banyak untuk Indonesia.

Itulah potret pengorbanan dan totalitas perempuan para pendamping tokoh besar negeri ini. Sekecil apapun, selalu ada yang diberikan demi sukses sang suami. Apa yang diterima, mereka tidak peduli.***

Dimuat di HU Koran Jakarta


Rabu, 27 April 2011

Kekuatan Mimpi dan Harapan



Judul : Bocah Penjinak Angin

Penulis : William Kamkwamba dan Bryan Mealer

Penerbit : Literati

Terbit : I, April 2011

Tebal : 396 halaman

Harga : Rp. 54.000

Mimpi dan ketekunan adalah kombinasi yang tepat untuk mewujudkan cita-cita. Pada titik tertentu, keduanya tidak hanya mengubah seseorang, tetapi juga mengubah dan menginspirasi orang-orang di sekitarnya.

Kisah dalam buku ini adalah contoh untuk hal tersebut. Demi mimpinya, seorang remaja miskin di Malawi, Afrika, nekad melakukan hal-hal dianggap konyol oleh kebanyakan orang. Ia bahkan tidak menggubris ejekan orang lain tentang dirinya, sebab ia yakin, apa yang dilakukannya akan membawa perubahan.

Adalah William Kamkwamba, bocah Malawi, Afrika, yang tumbuh di sebuah kawasan miskin. Musim panas panjang yang melanda negeri itu tidak hanya membuat dirinya terpaksa angkat kaki dari sekolah, namun juga membuat sejumlah temannya meregang nyawa karena kelaparan.

Tersingkir dari bangku sekolah ternyata tidak membuat ia patah semangat. Sementara terus bekerja membantu orangtuanya, William terus belajar. Sejumlah buku fisika dan teknik listrik dari perpustakaan dilalapnya.

Meskipun banyak hal yang tidak ia mengerti, namun kemauan keras telah membuka jalan kepadanya untuk memahami hal-hal tersebut. Apa yang sebelumnya dipahami secara samar, dengan studi pustaka, hal itu menjadi lebih jelas.

Kesungguhan itu akhirnya membuahkan hasil. Ia berhasil mendirikan sebuah kincir angin yang menghasilkan tenaga listrik. Orang-orang yang semula menganggap William "tidak waras" akhirnya mengakui kehebatannya.

Sukses inilah yang mengantarkan William menghadiri konferensi TED (Technology, Entertainment and Design). TED adalah sebuah pertemuan tahunan dimana para penemu, ilmuan dan pencipta, berbagi gagasan dan ide.

Dari apa yang dialami William, kita dapat belajar bahwa keterbatasan dan kekurangan tidak selalu menghambat usaha atau mimpi seseorang. Sebaliknya kendala itu sesungguhnya mendorong seseorang untuk lebih kreatif.

Barang bekas, benda-benda rongsokan misalnya, dapat diubah menjadi benda-benda yang lebih berguna. Bagi William tujuannya adalah satu, membangun sesuatu yang ia percaya kelak dapat melepaskan keluarganya dari kemiskinan dan kelaparan.

Pencapaian William tidak diraih dengan mudah. Kewajiban untuk membantu orangtua di ladang, kemiskinan, dukungan yang minim dari orang-orang di sekitarnya, adalah bukti bahwa mimpinya sulit untuk dicapai. Namun, keinginan yang kuat telah membalikkan keadaan itu.

William pun menjadi sumber inspirasi bagi orang-orang di desanya. Ia tidak banyak bicara. Namun karyanyanyalah yang berbicara dan menunjukkan siapa William sesungguhnya.

Selain sepak terjang William, buku ini juga mengisahkan selintas mengenai Afrika secara antropologis. Kepercayaan tradisional Afrika ternyata menjadi salah satu penghambat kemajuan. Sihir dan tahayul lebih sering mendapatkan tempat lebih luas dalam jalan pikiran mereka ketimbang hal-hal yang rasional.

Sementara itu, dari dunia politik, diceritakan selintas dalam buku ini bagaimana lembaga-lembaga resmi di negeri itu telah melakukan korupsi yang tidak tanggung-tanggung. Akibatnya kemiskinan kian meluas. Pemerintah yang tidak memedulikan rakyatnya turut memperparah kondisi ini. Namun, mimpi dan semangat perubahanlah yang dapat merombak keadaan.***


Kamis, 07 April 2011

Indonesia di Mata Seorang Jerman



Judul : A Magic Gecko

Penulis : Horst Henry Geerken

Penerbit : Penerbit Buku Kompas

Terbit : I, Februari 2011

Tebal : 407 halaman

Harga : Rp. 86.000

Pengalaman menginjakkan kaki di negeri-negeri Timur selalu menyisakan pertanyaan bagi mereka yang terbiasa dengan alam pikiran Barat. Kosomologi, cara berpikir, gaya hidup, serta sistem nilai Timur yang berbeda dengan Barat, adalah faktor yang membuat "perjumpaan" dengan Timur terkesan selalu bertumbukan.

Padahal jika saja semua perbedaan itu dapat dikompromikan, pertemuan itu akan menjadi lebih indah. Tidak harus ada gejolak ataupun penolakan yang berarti. Sebaliknya keselarasanlah yang terjadi.

Keberhasilan itulah kira-kira telah dicapai oleh Horst Henry Geerken selama menjalankan tugasnya di Indonsia. Ia tidak hanya dapat memahami semesta pemikiran orang-orang Indonesia, namun juga menerimanya sebagai bagian budaya.

Geerken yang berkebangsaan Jerman adalah pegawai telekomunikasi Jerman yang tengah menjalankan tugasnya di Indonesia. Ia datang ke Indonesia pada tahun 1963 untuk membantu membangun jaringan telekomunikasi yang sangat dibutuhkan pada saat itu.

Kehadirannya di Indonesia menjelang kejatuhan Presiden Soekarno telah membawa Geerken ke dalam sebuah pengalaman menarik sekaligus menegangkan. Menarik karena ia menjadi saksi sebuah peristiwa sejarah Indoneisa. Menegangkan karena Geerken melihat sendiri kekacauan politik yang berakhir dengan pertumpahan darah.

Dalam buku ini Geerken menyajikan berbagai catatan tentang Indonesia dan keindonesiaan. Catatatan-catatan ini seperti sebuah upaya untuk memotret realitas masyarakat Indonesia secara umum.

Sebut saja kecenderungan masyarakat Indonesia untuk memercayai hal-hal yang bersifat suparantural, mistik dan serta tahayul. Bagi Geerken hal-hal tersebut bertolak belakang dengan rasionalitas Barat.

Namun Geerken tidak menolak hal tersebut. Malah dalam beberapa kasus ia membiarkan pembantunya melakukan praktik itu di lingkungannya. Hal ini menunjukkan bahwa Geerken tidak alergi dengan perbedaan-perbedaan yang ada.

Meskipun begitu, Geerken juga mencatat sejumlah masalah budaya yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Bagi Geerken hal itu tidak lepas dari latar belakang yang rumit. Inferioritas terhadap bangsa berkulit putih misalnya, adalah wujud keberhasilan pemerintah kolonial dalam menanamkan ketakutan yang berlebihan terhadap bangsa penjajah. Akibatnya, dalam jangka waktu panjang, orang-orang berkulit putih dianggap sebagai orang dengan derajat yang lebih tinggi.

Namun Geerken mencatat juga, sepak terjang Soekarno dalam politik internasional adalah bentuk pemberontakan dan usaha untuk lepas dari inferioritas tersebut. Soekarno yang terang-terangan melawan imperialisme Amerika Serikat dan Inggris adalah simbol perlawanan itu.

Lewat catatannya Geerken ingin menegaskan bahwa bangsa yang terjajah pun memliki potensi untuk melakukan perlawanan serta pemberontakan. Penolakan terhadap intervensi negara-negara Barat adalah sebuah pesan bahwa banyak masalah di negara berkembang tidak selalu dapat diselesaikan dengan formualsi Barat.

Tidak mengherankan apabila kemudian Soekarno dekat dengan Blok Timur. Namun inilah yang memicu kegerahan Amerika Serikat. Dari sinilah berhembus isu bahwa dinas rahasia Amerika Serikat, CIA, memiliki peran yang strategis dalam menjatuhkan Presiden Soekarno.

Bahkan ada indikasi bahwa lembaga yang sama juga berperan dalam pembasmian orang-orang yang dianggap berhaluan komunis. Mengenai hal tersebut Geerken menegaskan, bukti-bukti yang ada mengarah kepada keterlibatan Amerika Serikat.

Namun Amerika Serikat tidak mau mengakuinya. Padahal ada bukti bahwa Kedutaan Besar Amerika Serika di Jakarta memiliki daftar nama orang-orang komunis dalam tubuh militer Indonesia. Orang-orang ini kemudian disingkirkan secara sistematis (hal. 264).

Kedekatan Geerken dengan Soekarno tidak hanya menguak sejumlah aktivitas politik Soekarno, namun juga kehidupan pribadi presiden pertama Republik Indonesia tersebut. Di sinilah sisi lain Soekarno terungkap. Ia tidak hanya seorang presiden, namun juga seorang seniman dengan citarasa yang tinggi. Sebagian kecil kisah cintanya pun diungkapkan Geerken dalam buku ini.

Meskipun buku ini memiliki sub judul Peran CIA di Balik Jatuhnya Soekarno, tetapi tidak seluruh bab dalam buku ini mengulas hal tersebut. Sebagian besar isi buku ini adalah pengalaman Geerken bertemu dengan banyak orang Indonesia, baik secara kultural maupun filosofis. Dari sinilah ia mengenal "kekayaan" keindonesiaan.

Semua itu diungkapkan Geerken secara objektif, lugas, bahkan dengan sangat cair. Inilah yang membuat buku ini tidak membosankan ketika dinikmati.***



Minggu, 27 Maret 2011

Ketertindasan dan Kekuatan Perempuan Jawa


Judul : Hati Sinden

Penulis : Dwi Rahayuningnsih

Penerbit : DIVA Press

Terbit : I, Januri 2011

Tebal : 404 halaman

Harga : Rp. 50.000



Perempuan Jawa adalah wajah ketertindasan. Ia tidak memiliki posisi yang sejajar dengan laki-laki. Sebaliknya, ia menjadi korban dominasi laki-laki. Di sini ada persekongkolan kultural kekuasaan yang menguatkan posisi dan peran tradisional perempuan.

Itulah yang dihadirkan oleh Dwi Rahayuningnsih lewat novel ini. Ia menghadirkan sosok perempuan Jawa dengan problem-problem budaya yang mengungkung. Namun, demi harmoni, mereka lebih memilih untuk “berdamai” dengannya.

Sayem, tokoh sentral dalam Hati Sinden, adalah simbolisasi perempuan Jawa tersebut. Ia berasal dari keluarga miskin. Dua kali ia diceraikan oleh suaminya. Pada perceraian ke dua, alasan yang digunakan ialah Sayem tidak dapat memberikan keturunan.

Perceraian itu ternyata tidak menghancurkan mentalnya. Meskipun dukanya mendalam, Sayem berusaha untuk bangkit. Ia tidak mau tenggelam dalam kesedihan. Ia terus mencoba untuk kembali menata hidupnya.

Ketertarikan Sayem kepada syair-syair Jawa klasik mendorongnya untuk menjadi sinden. Namun bukan uang ataupun popularitas yang dicarinya, melainkan ketenangan yang merasuk ke dalam hati saat ia melantunkan syair-syair Jawa yang penuh makna.

Sayem kemudian bergabung dengan sebuah grup karawitan. Di sini pun ia berhadapan dengan berbagai masalah, mulai dari perseteruan dengan sinden lain, hingga keinginan Priyo, pemimpin grup karawitan tempat ia bergabung, untuk menikahinya.

Hubungan Sayem dengan Priyo mengantarkan Sayem kepada pernikahannya yang ke tiga. Tetapi badai lagi-lagi melanda. Priyo tidak hanya ketahuan sebagai pria yang telah memiliki istri, namun juga terbongkar sebagai lelaki yang tergila-gila kepada perempuan lain.

Sayem akhirnya pasrah. Ia tidak bercerai dengan Priyo namun memutuskan untuk hidup berpisah dengan suaminya itu. Tanpa banyak bantuan dari Priyo, Sayem berusaha untuk membesarkan anak-anaknya.

Di titik inilah tampak Sayem tampil sebagai perempuan Jawa yang memiliki kekuatan. Meskipun ia berada dalam posisi yang terkalahkan, namun ia tidak melakukan pemberontakan dengan melawan kekuasaan. Sebaliknya, Sayem mencoba “bermain” dalam lingkar kekuasaan Priyo sehingga berhasil mengantarkan anak-anaknya ke dalam kehidupan yang lebih baik.

Lewat peran-peran dan nilai-nilai tradisional, Sayem berhasil menjadi pribadi yang kuat dan mengalahkan realitas dalam wilayah subordinasi yang mengepungnya. Seperti yang diungkapkan oleh Sayem sendiri bahwa hidup adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan peran yang dijalankan (hal. 388).

Novel ini seperti mengingatkan bahwa perempuan Jawa yang secara stereotip berada di bawah bayang-bayang kuasa dunia matriarki, memiliki potensi untuk menggeser hegemoni. Ia seakan mendekonstruksi struktur tanpa harus merevolusi konsepsi budaya yang telah mapan.

Kritik terhadap novel ini ialah, hingga separuh buku masih belum tampak dunia sinden seperti yang “dijanjikan” lewat judul. Jika saja Sayem dan dunia kesindenannya dikisahkan lebih awal, maka akan semakin banyak seluk-beluk dunia sinden yang menarik yang dapat disampaikan.***