Jumat, 06 Februari 2009

Catatan Perempuan Wartawan di Tengah Konflik Timtim



Judul: Timor Timur, Satu Menit Terakhir
Penulis: CM Rien Kuntari
Penerbit: Mizan Pustaka, Bandung
Cetakan: November 2008
Tebal: 483 halaman


Peristiwa lepasnya Timor Timur (Timtim) dari Indonesia diwarnai berbagai konflik, baik secara politik maupun sosial. Bahkan konflik tersebut berujung pada pertumpahan darah. Hal yang mengusik keingintahuan adalah, bagaimana seorang juru warta harus bersikap di tengah konflik tersebut.


Itulah yang dicoba disampaikan buku ini. Penulisnya, CM Rien Kuntari, tidak hanya mengisahkan berbagai peristiwa yang terjadi di Timtim baik menjelang maupun sesudah jajak pendapat, tetapi juga bagaimana ia sebagai seorang wartawan harus bertindak dan bersikap di tengah pihak-pihak yang sedang bertikai.


Dalam buku ini, Rien menyampaikan banyak pengalamannya selama melakukan tugas jurnalistiknya yang mungkin tidak pernah ia tulis dalam pemberita. Salah satu alasannya adalah untuk meredam konflik ataupun gesekan sosial yang semakin melebar. Sebab, seperti dikisahkan Rien, tulisan dalam media dapat mengubah sikap kelompok-kelompok tertentu di Timtim dalam sekejap. Kemarahan kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan dapat terpicu setelah mengetahui tulisan yang dimuat di dalam media.


Bahkan tidak jarang tulisan tersebut dapat memunculkan tuduhan dan "cap" tertentu pada sebuah media, misalnya media yang mendukung integrasi, atau media yang justru mendukung kemerdekaan Timtim. Bahkan, karena hal itu, acap kali wartawan dari media yang bersangkutan menjadi sasaran kemarahan kelompok-kelompok yang bertikai.


Rien misalnya pernah menjadi target kemarahan pasukan milisi. Kelanjutannya, muncul skenario untuk menculik dan "menghabisi" wartawan Kompas (penulis adalah wartawan harian Kompas) tersebut. Menurut informasi yang ia dapat, rencana tersebut dikeluarkan dalam rapat tertutup antara pihak pro-otonomi yang melibatkan pasukan Aitarak dan FPDK (Forum Persatuan Demokrasi dan Keadilan).
Di mata kelompok pro-integrasi Rien merupakan wartawan yan

g telah melakukan dosa yang tidak terampuni, yakni memberikan berita yang seimbang dalam pemberitaan untuk pihak pro-kemerdekaan. Bahkan kepiawaian Rien dalam menjalin hubungan pihak-pihak pro-kemerdekaan telah memunculkan tuduhan dirinya bukan seorang nasionalis. Hal ini menguat ketika Kompas menurunkan laporan tentang Falintil dan wawancara khusus dengan Taur Matan Ruak dalam tiga halaman penuh pada HUT Falintil ke-24.


Padahal Rien sendiri hanya melakukan profesinya sebagai wartawan secara profesional, yakni tidak memihak pada salah satu kubu yang sedang berseberangan secara kepentingan. Namun di lapangan, seperti di wilayah konflik, kenetralan ini dapat diartikan lain. Dengan begitu, seorang wartawan memang dituntut lebih peka lagi dalam melakukan kegiatannya di wilayah tersebut.
Teror dan intimidasi terhadap wartawan memang hal yang biasa terjadi di Timtim pada masa sekitar jajak pendapat. Salah satu korban yang dicatat oleh Rien adalah wartawan Financial Times biro Jakarta, Robert Thoenes. Menurut Rien, wartawan itu tewas terbunuh dengan sayatan di seluruh bibir dan sebagian wajahnya.


Hal lain yang menarik dari buku ini adalah keterusterangan Rien dalam mengungkapkan fakta yang ditemuinya di Timtim, misalnya saja ia mengisahkan bagaimana kekejaman kaum milisi menghabisi rombongan misonaris yang hendak pergi ke Los Palos dari Baucau. Peristiwa ini terjadi sekitar bulan September 1999. Pada saat itu, sembilan orang tewas dengan menyedihkan, di antara para misionaris terdapat seorang sopir, dua orang pemudi, dan satu orang wartawan.


Rien sendiri mengakui, ketika dirinya menjadi target pembunuhan kaum milisi, ia mengalami ketakutan yang luar biasa. Sebagai manusia biasa, ia juga merasakan kengerian ketika warga Timtim yang sebelumnya tampak ramah, tiba-tiba berbalik menjadi tidak bersahabat dan bahkan menampakkan sikap permusuhan. Bahkan sebelumnya ia juga sempat dihadang moncong pistol yang dihadapkan ke arah kepalanya dari jarak dekat.


Namun, nalurinya sebagai wartawan tidak menyurutkan ia untuk kembali ke Timtim. Ia seperti merasa "gatal" jika hanya memantau perkembangan situasi di Timtim dari Jakarta. Ia merasa harus langsung berada di Timtim untuk melihat apa saja yang sebenarnya terjadi di wilayah itu, ketimbang mengutip dari berbagai media asing dengan berbagai versi.


Itu sebabnya, ketika INTERFET (International Force for East Timor) yang dikomandani Australia memintanya untuk kembali ke Timtim pada pertengahan Oktober 1999, ia langsung menyambutnya. Apalagi hal ini didukung oleh atasan Rien di harian tempatnya bekerja.
Mengenai hal ini, Rien menuliskan, bahwa pada akhirnya INTERFET membutuhkan media juga untuk mengimbangi pemberitaan negatif mengenai Australia. Padahal sebelumnya wartawan Indonesia betul-betul mengalami perlakuan diskriminasi dari pasukan tersebut.


Memang, persoalan Timtim tidak lepas dari persoalan hubungan antara Australia dan Indonesia. Sejak pasukan INTERFET tiba di Indonesia, hubungan kedua negara ini selalu memanas. Hal ini tidak lepas dari sikap Australia yang arogan terhadap Indonesia. Hal ini bahkan menyulut protes dari Indonesia.


Salah satu kasus yang memicu ketegangan antara Indonesia dan Australia adalah operasi rahasia yang dilakukan oleh Australia di wilayah Timtim. Meskipun hal ini diprotes oleh pihak TNI, namun pihak Australia tetap tidak ambil pusing. Pada perkembangan berikutnya, aksi Australia ini mengundang kemarahan sejumlah negara, termasuk Amerika. Kemarahan Amerika tersebut dipicu oleh keengganan Australia untuk membagi hasil dari operasi rahasia tersebut.
Hal lain yang menarik dalam buku ini adalah bagaimana sebagai seorang wartawan Rien memiliki tanggung jawab yang tidak sekadar menuliskan berita secara netral tetapi berpikir dengan spektrum ataupun kepentingan yang luas. Misalnya saja ketika ia menghadiri homili Uskup Mgr Filipe Ximenes Belo, SDB pada misa penutupan bulan Oktober, atau bulan devosi kepada Bunda Maria.


Dalam khotbahnya ketika itu, uskup justru menjelek-jelekkan Indonesia. Bahkan secara terang-terangan ia menyerang kaum milisi dengan menyatakan kaum milisi harus "mencuci tangan yang berlumuran darah", dan menebus dosa yang telah diperbuatnya secara setimpal.
Khotbah tersebut disampaikan secara berapi-api seakan tidak satupun kebaikan di pihak Indonesia. Padahal ketika kekacauan di Timtim memuncak justru dialah yang lari meninggalkan umatnya di Timtim, dan misionaris Indonesialah yang tetap berada di Timtim.


Isi khotbah tersebut membuat Rien bertanya-tanya, apakah benar ia tengah mendengar khotbah dari seorang penerima Nobel Perdamaian? Jika menuruti keinginan hati, mungkin Rien ingin menuliskan apa yang didengarnya itu ke dalam berita. Namun pada saat itu ia teringat kepada Xanana, Taur Matan Ruak, dan Falur Rate Laec. Ketiga tokoh Timtim yang tidak pernah lepas dari senjata itu justru selalu meniupkan angin perdamaian, rekonsiliasi dan perdamaian.

Akhirnya, Rien memilih memihak kepada Xanana dan kawan-kawannya. Ketimbang menuliskan berita yang berisi ucapan menyakitkan dari sang uskup yang mungkin akan menyulut gesekan yang lebih luas, baik ia menuliskan berita yang lebih menyejukkan setiap pihak. Sebab dengan begitu perdamaian di Timtim akan lebih mudah terwujud.


Secara garis besar, dalam buku ini dapat dilihat bagaimana seorang wartawan menjalankan tugasnya. Wartawan tidak hanya dituntut untuk memiliki kepiawaian dalam menjalankan profesinya, serta keberanian dalam menghadapi situasi yang paling ekstrem, tetapi juga mempunyai hati untuk menentukan keutamaan. Virtus in medio, keutamaan itu ada di tengah.****

Senin, 05 Januari 2009

Melihat Berbagai Dimensi Peristiwa dengan Humor


Judul: Presiden Guyonan
Penulis: Butet Kartaredjasa
Tebal: xxiv + 285 halaman
Penerbit: Kitab Sarimin, Yogyakarta,
Terbit: November 2008
Sebuah surat kabar memuat ratusan berita setiap harinya. Berbagai peristiwa dihadirkan ke hadapan pembaca.secara bertubui-tubi. Isu demi isu terus berganti setiap minggunya. Nyaris tidak ada isu yang dapat bertahan lama. Pembaca pun seperti mengalami amnesia isu.
Ini adalah konsekuensi dari media massa yang selalu mengutamakan aktualitas. Aktualitas dan kecepatan menyiarkan sebuah berita menjadi menjadi sebuah keharusan. Padahal kedalaman sebuah berita juga diperlukan agar dimensi-dimensi dari sebuah berita dapat ditangkap oleh pembaca.
Oleh sebab itu, harus ada sebuah cara agar isu-isu yang mengemuka di media masa tidak terlindas begitu saja oleh isu-isu lain yang terus menjejali ruang pikiran pembaca. Cara ini harus dapat mengajak pembaca untuk melihat dimensi-dimensi lain dari sebuah peristiwa, merenungkan, merefleksikan, dan bahkan menginterpretasikannya
Untuk itulah sebuah kolom hadir di surat kabar. Kolom tidak hadir dengan perhitungan kecepatan dan aktualitas, meskipun persoalan yang dikemukakan dapat saja merupakan sesuatu yang aktual, tetapi selalu mengajak pembaca untuk sejenak melongok peristiwa tersebut dan memberikan diri untuk merenungkannya.
Tentu saja, untuk mencapai hal ini kolom harus hadir dengan format dan caranya yang berbeda dan khas. Di sinilah kepiawaian seorang penulis kolom dibutuhkan, dan Butet Kartaredjasa telah memilih caranya sendiri untuk mengajak pembaca melihat secara reflektif realitas yang ada di sekitarnya.
Untuk mengajak pembaca merenungkan persoalan atau fenomena yang terjadi dalam masyarakat, Butet menghadirkan tulisan-tulisan yang dapat mengundang pembaca tersenyum atau bahkan tertawa. Kolom-kolomnya tidak hadir dengan cara yang memberat karena ia tahu, apabila persoalan yang disampaikannya saja sudah berat, maka tidak perlu lagi memberikan beban kepada pembaca dengan menghadirkan tulisan-tulisan yang sulit diicerna. Di sinilah letak salah satu kekuatan kolom-kolom ini.
Kelebihan lain kolom-kolom Butet yang pernah dimuat di harian Suara Merdeka di Semarang ini adalah hadirnya tokoh Mas Celathu bersama anggota keluarganya, yakni Mbakyu Celathu, istrinya, serta anak-anaknya. Lewat tokoh-tokoh inilah Butet menyajikan isu-isu penting yang mungkin terlupakan dalam dinamika kerja sebuah media.
Namun tokoh sentral Mas Celathu memang sangat dominan dalam kolom-kolom Butet ini. Lewat sosok inilah Butet menyampaikan buah pikirannya. Tokoh ini digambarkannya sering muncul dengan kegelisahan-kegelisahan, kegeraman-kegeraman, dan bahkan dengan kebingungan-kebingungannya sendiri, yang merupakan respon dari apa yang dilihat dan dicermati dari lingkungannya.
Mas Celtahu juga bukan hanya sosok sederhana yang terkadang terkesan selalu bebas berbicara, tukang njeplak, dan tajam dalam mengritik, tapi juga sering muncul dengan gagasan yang melawan mainstream. Sebut saja ketika ia bicara soal gay dan lesbian dalam kolomnya yang berjudul Psikopat Anyar. Dalam tulisan ini dikisahkan bagaimana Mas Celathu mencoba meluruskan anggapan umum masyarakat mengenai para gay dan lesbian yang terlanjur diberi cap negatif. Mas Celathu digambarkan mengajak masyarakat untuk menghargai keberadaan kelompok ini. Gay dan lesbian tidak selalu identik dengan pembunuhan kejam, mutilasi atau berbagai kejahatan lain. Justru mereka yang berprofesi mulia, dijangkiti sindrom psikopat.
Tidak hanya itu, Mas Celathu pun acap kali tergoda dan ”gatal” untuk memberikan komentar, tanggapan, pujian ataupun ejekan dari apa yang ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari. Ini sesuai dengan istilah celathu, yang dalam bahasa Jawa dapat berarti nyeletuk, menyahut, atau "menyambar" omongan orang lain. Alhasil, dengan cara yang jenaka, pentolan teater Gandrik ini, mengritik dan mengolok-olok berbagai kejadian atau keadaan yang menurutnya tidak tepat, melanggar aturan, ataupun keliru sama sekali.
Tetapi Butet tidak selalu memoisisikan Mas Celathu sebagai pengritik yang selalu bersih sehingga seakan-akan punya otoritas menunjuk kesalahan orang lain alias menghakimi. Di sisi lain justru ia menghadirkan Mas Celathu sebagai sosok yang manusiawi, yang sering khilaf, berbuat kekliruan, yang terkadang justru terjebak dalam kondisi atau persoalan yang sebelumnya sering ia kritik.
Simak saja di kolom berjudul Isteri Bernyali. Dalam kolom ini dikisahkan Mas Celathu tergoda untuk "berbisnis" di lokasi yang tertimpa bencana alam. Ia melihat di lokasi bencana alam inilah ia bisa meraup keuntungan dengan berdagang berbagai benda yang dibutuhkan oleh mereka yang tertimpa bencana alam. Namun ide tersebut dimentahkan begitu saja oleh sang istri. Sang istri menilai gagasan tersebut tidak etis karena mencari keuntungan di atas kesusahan orang lain. Diserang seperti itu, Mas Celathu pun mengkeret tak berkutik. Rupanya Mas Celathu yang doyan memarahi penguasa pun bisa tunduk terhadap istrinya.
Salah satu kelebihan kolom-kolom dalam Presiden Guyonan ini adalah bagaimana Butet memakai istilah-istilah dalam bahasa Jawa. Ini wajar saja, sebab kolom ini memang hadir di tengah-tengah masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa. Tetapi toh persoalan yang disampaikan bukan persoalan primordial, tetapi persoalan yang lebih luas lagi spekttrumnya, persoalan. Penggunaan istilah dalam bahasa Jawa justru membuat kolom ini lebih hidup, lebih "berbumbu" sehingga unsur humor yang dibangun di dalamnya lebih kental. Mereka yang tidak terlalu paham bahasa Jawa dapat melihat arti atau makna dari istilah-istilah tersebut di bagian akhir buku ini.
Penggunaan istilah dalam bahasa Jawa yang dilakukan oleh Butet tersebut, mengingatkan kita kepada kolom-kolom almarhum Umar Kayam yang dimuat di harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta. Dalam kolom-kolom tersebut Umar Kayam juga menggunakan istilah-istilah Jawa yang begitu mengena. Dengan istilah-istilah itu justru sendirian, ejekan, ataupun kritik yang dilontarkan menjadi lebih "ciamik" untuk dinikmati.
Catatan lain dari kolom-kolom Butet ini adalah, ia menggunakan "logika terbalik" untuk memaknai masalah-masalah yang ditulis. Hal yang dimaksudkan di sini adalah, apabila sebuah persoalan dipandang serius, seseorang cenderung merseponnya dengan serius pula. Bahkan, sejumlah teori Barat--baik teori politik, ekonomi atau sosial--digunakan untuk memaknai dan mencarikan jalan keluar dari persoalan yang ada.
Namun tidak demikian dengan Butet. Dalam kolom-kolomnya ini, ia justru merseponnya dengan cara yang ringan, sederhana, bahkan cenderung melucu. Persoalan-persoalan yang ada selalu dihampirinya dengan cara yang membuat orang tergelitik. Inilah yang dimaksudkan "logika terbalik". Sesuatu yang tampak serius, ”angker” atau bahkan elit, di kolom-kolom justru diresponnya hanya dengan tertawa. Di sini Butet seperti ingin mengajak pembaca menghampiri setiap masalah dengan cara yang terbalik. Ia seperti ingin berkata, buat apa susah-susah merunyamkan pikiran hanya karena memikirkan persoalan yang sudah terlalu ruwet. Lebih baik hadapi saja dengan senyum. Buat apa mengerutkan dahi karena melihat kesedihan yang terlampau menyedihkan, lebih baik tertawa saja agar kesedihan itu lebih dapat dapat terobati.***

Melihat Berbagai Dimensi Peristiwa dengan Humor


Absurditas Manusia Jakarta

Di Jakarta berbagai hal dapat terjadi, mulai dari hal yang masuk akal, sampai hal-hal yang membalik-balikan logika. Hal inilah yang kemudian menjadi ciri manusia Jakarta atau yang dalam buku ini diistilahkan sebagai Homo Jakartensis.

Secara umum manusia Jakarta memang tidak beda dengan manusia yang hidup di kota-kota lain. Jika manusia Jakarta minum kopi, manusia di Wonosari juga tidak sedikit yang gemar ngopi. Jika manusia Jakarta mandi memakai sabun, toh manusia di Ciranjang pun mandi memakai sabun.

Namun yang membedakan manusia Jakarta dengan manusia di kota lain adalah cara dalam memaknai kegiatan fungsional tadi, ngopi misalnya. Bagi manusia Jakarta, minum kopi tidak sekadar menyeruput minuman berwarna hitam kecoklatan itu, tetapi di sana juga terdapat selera, cara memilih dan jugasoal citra

Salah satu contoh yang dikedepankan oleh Seno untuk menandai fenomena ini adalah hal makan. Makan bukan sekadar makan enak sesuai selera dan sekaligus mengenyangkan, tetapi juga memiliki makna simbolik. Makan di warung tenda yang menyajikan masakan Sunda, jelas berbeda dengan makan di restoran Dapur Sunda yang ber-AC dengan pelayan-pelayan yang ramah.

Akibatnya, kalau mau pamer, mengajak seluruh keluarga untuk pesta makan, siapkanlah uang sebanyak-banyaknya. Tetapi, kalau ingin makan dengan selera sendiri, meskipun masih memakai dasi, berpanas-panas di warung tenda pun jadi.

Kemudian soal mobil. Mobil ternyata tidak melulu alat transportasi, namun juga merupakan prestise, sebuah identitas bagi pemiliknya. Kehormatan pun diterjemahkan pada simbol mobil tersebut. Tidak heran jika bemper mobil tersebut lecet atau penyok karena terserempet, maka seakan-akan ikut lecet dan penyok pula harga diri dan kehormatan pemiliknya.
Padahal itulah fungsi bemper, yakni untuk menahan agar benturan dari mobil lain tidak langsung mengenai body mobil. Bukankah sebaiknya bemper yang penyok dari pada body mobil yang penyok.

Dari beberapa contoh peristiwa di atas tampak bagaimana citra, nilai dan gaya menjadi hal yang penting bagi manusia Jakarta. Uniknya proses ini terus menerus berputar selama manusia Jakarta itu ada. Dengan citra dan gaya inilah berbagai persoalan dapat diselesaikan dengan mudah.

Dalam dunia bisnis misalnya, memperlihatan citra bonifide perusahaan menjadi elemen yang sangat penting. Tidak heran jika sebuah kantor dengan sengaja membeli lukisan berharga ratusan juta rupiah untuk dipasang di lobby kantor agar timbul kesan direktur perusahan tersebut adalah orang yang tahu banyak soal seni.

Di dalam buku ini Seno memang seolah ingin menelanjangi manusia-manusia Jakarta. Ia seperti ingin menunjukkan di balik penampilan manusia Jakarta yang bekesan megah, mewah, dan gemerlap justru terdapat kekacauan, keanehan, dan disoreintasi yang kronis.
Kumpulan kolom ini adalah mengenai absurditas manusia Jakarta. Apakah absurditas ini adalah sesuatu yang salah atau keliru? Seno tidak secara terang-terangan mengatakannya, namun paling tidak ia mengajak pembaca untuk melihat sebuah gejala sosiologis yang terjadi pada manusia Jakarta.***

Absurditas Manusia Jakarta

Di Jakarta berbagai hal dapat terjadi, mulai dari hal yang masuk akal, sampai hal-hal yang membalik-balikan logika. Hal inilah yang kemudian menjadi ciri manusia Jakarta atau yang dalam buku ini diistilahkan sebagai Homo Jakartanesis.

Secara umum manusia Jakarta memang tidak beda dengan manusia yang hidup di kota-kota lain. Jika manusia Jakarta minum kopi, manusia di Wonosari juga tidak sedikit yang gemar ngopi. Jika manusia Jakarta mandi memakai sabun, toh manusia di Ciranjang pun mandi memakai sabun.

Namun yang membedakan manusia Jakarta dengan manusia di kota lain adalah cara dalam memaknai kegiatan fungsional tadi, ngopi misalnya. Bagi manusia Jakarta, minum kopi tidak sekadar menyeruput minuman berwarna hitam kecoklatan itu, tetapi di sana juga terdapat selera, cara memilih dan jugasoal citra

Salah satu contoh yang dikedepankan oleh Seno untuk menandai fenomena ini adalah hal makan. Makan bukan sekadar makan enak sesuai selera dan sekaligus mengenyangkan, tetapi juga memiliki makna simbolik. Makan di warung tenda yang menyajikan masakan Sunda, jelas berbeda dengan makan di restoran Dapur Sunda yang ber-AC dengan pelayan-pelayan yang ramah.

Akibatnya, kalau mau pamer, mengajak seluruh keluarga untuk pesta makan, siapkanlah uang sebanyak-banyaknya. Tetapi, kalau ingin makan dengan selera sendiri, meskipun masih memakai dasi, berpanas-panas di warung tenda pun jadi.

Kemudian soal mobil. Mobil ternyata tidak melulu alat transportasi, namun juga merupakan prestise, sebuah identitas bagi pemiliknya. Kehormatan pun diterjemahkan pada simbol mobil tersebut. Tidak heran jika bemper mobil tersebut lecet atau penyok karena terserempet, maka seakan-akan ikut lecet dan penyok pula harga diri dan kehormatan pemiliknya.

Padahal itulah fungsi bemper, yakni untuk menahan agar benturan dari mobil lain tidak langsung mengenai body mobil. Bukankah sebaiknya bemper yang penyok dari pada body mobil yang penyok.

Dari beberapa contoh peristiwa di atas tampak bagaimana citra, nilai dan gaya menjadi hal yang penting bagi manusia Jakarta. Uniknya proses ini terus menerus berputar selama manusia Jakarta itu ada. Dengan citra dan gaya inilah berbagai persoalan dapat diselesaikan dengan mudah.

Dalam dunia bisnis misalnya, memperlihatan citra bonifide perusahaan menjadi elemen yang sangat penting. Tidak heran jika sebuah kantor dengan sengaja membeli lukisan berharga ratusan juta rupiah untuk dipasang di lobby kantor agar timbul kesan direktur perusahan tersebut adalah orang yang tahu banyak soal seni.

Di dalam buku ini Seno memang seolah ingin menelanjangi manusia-manusia Jakarta. Ia seperti ingin menunjukkan di balik penampilan manusia Jakarta yang bekesan megah, mewah, dan gemerlap justru terdapat kekacauan, keanehan, dan disorientasi yang kronis.

Kumpulan kolom ini adalah mengenai absurditas manusia Jakarta. Apakah absurditas ini adalah sesuatu yang salah atau keliru? Seno tidak secara terang-terangan mengatakannya, namun paling tidak ia mengajak pembaca untuk melihat sebuah gejala sosiologis yang terjadi pada manusia Jakarta.***