Senin, 05 Januari 2009

Absurditas Manusia Jakarta

Di Jakarta berbagai hal dapat terjadi, mulai dari hal yang masuk akal, sampai hal-hal yang membalik-balikan logika. Hal inilah yang kemudian menjadi ciri manusia Jakarta atau yang dalam buku ini diistilahkan sebagai Homo Jakartensis.

Secara umum manusia Jakarta memang tidak beda dengan manusia yang hidup di kota-kota lain. Jika manusia Jakarta minum kopi, manusia di Wonosari juga tidak sedikit yang gemar ngopi. Jika manusia Jakarta mandi memakai sabun, toh manusia di Ciranjang pun mandi memakai sabun.

Namun yang membedakan manusia Jakarta dengan manusia di kota lain adalah cara dalam memaknai kegiatan fungsional tadi, ngopi misalnya. Bagi manusia Jakarta, minum kopi tidak sekadar menyeruput minuman berwarna hitam kecoklatan itu, tetapi di sana juga terdapat selera, cara memilih dan jugasoal citra

Salah satu contoh yang dikedepankan oleh Seno untuk menandai fenomena ini adalah hal makan. Makan bukan sekadar makan enak sesuai selera dan sekaligus mengenyangkan, tetapi juga memiliki makna simbolik. Makan di warung tenda yang menyajikan masakan Sunda, jelas berbeda dengan makan di restoran Dapur Sunda yang ber-AC dengan pelayan-pelayan yang ramah.

Akibatnya, kalau mau pamer, mengajak seluruh keluarga untuk pesta makan, siapkanlah uang sebanyak-banyaknya. Tetapi, kalau ingin makan dengan selera sendiri, meskipun masih memakai dasi, berpanas-panas di warung tenda pun jadi.

Kemudian soal mobil. Mobil ternyata tidak melulu alat transportasi, namun juga merupakan prestise, sebuah identitas bagi pemiliknya. Kehormatan pun diterjemahkan pada simbol mobil tersebut. Tidak heran jika bemper mobil tersebut lecet atau penyok karena terserempet, maka seakan-akan ikut lecet dan penyok pula harga diri dan kehormatan pemiliknya.
Padahal itulah fungsi bemper, yakni untuk menahan agar benturan dari mobil lain tidak langsung mengenai body mobil. Bukankah sebaiknya bemper yang penyok dari pada body mobil yang penyok.

Dari beberapa contoh peristiwa di atas tampak bagaimana citra, nilai dan gaya menjadi hal yang penting bagi manusia Jakarta. Uniknya proses ini terus menerus berputar selama manusia Jakarta itu ada. Dengan citra dan gaya inilah berbagai persoalan dapat diselesaikan dengan mudah.

Dalam dunia bisnis misalnya, memperlihatan citra bonifide perusahaan menjadi elemen yang sangat penting. Tidak heran jika sebuah kantor dengan sengaja membeli lukisan berharga ratusan juta rupiah untuk dipasang di lobby kantor agar timbul kesan direktur perusahan tersebut adalah orang yang tahu banyak soal seni.

Di dalam buku ini Seno memang seolah ingin menelanjangi manusia-manusia Jakarta. Ia seperti ingin menunjukkan di balik penampilan manusia Jakarta yang bekesan megah, mewah, dan gemerlap justru terdapat kekacauan, keanehan, dan disoreintasi yang kronis.
Kumpulan kolom ini adalah mengenai absurditas manusia Jakarta. Apakah absurditas ini adalah sesuatu yang salah atau keliru? Seno tidak secara terang-terangan mengatakannya, namun paling tidak ia mengajak pembaca untuk melihat sebuah gejala sosiologis yang terjadi pada manusia Jakarta.***

Absurditas Manusia Jakarta

Di Jakarta berbagai hal dapat terjadi, mulai dari hal yang masuk akal, sampai hal-hal yang membalik-balikan logika. Hal inilah yang kemudian menjadi ciri manusia Jakarta atau yang dalam buku ini diistilahkan sebagai Homo Jakartanesis.

Secara umum manusia Jakarta memang tidak beda dengan manusia yang hidup di kota-kota lain. Jika manusia Jakarta minum kopi, manusia di Wonosari juga tidak sedikit yang gemar ngopi. Jika manusia Jakarta mandi memakai sabun, toh manusia di Ciranjang pun mandi memakai sabun.

Namun yang membedakan manusia Jakarta dengan manusia di kota lain adalah cara dalam memaknai kegiatan fungsional tadi, ngopi misalnya. Bagi manusia Jakarta, minum kopi tidak sekadar menyeruput minuman berwarna hitam kecoklatan itu, tetapi di sana juga terdapat selera, cara memilih dan jugasoal citra

Salah satu contoh yang dikedepankan oleh Seno untuk menandai fenomena ini adalah hal makan. Makan bukan sekadar makan enak sesuai selera dan sekaligus mengenyangkan, tetapi juga memiliki makna simbolik. Makan di warung tenda yang menyajikan masakan Sunda, jelas berbeda dengan makan di restoran Dapur Sunda yang ber-AC dengan pelayan-pelayan yang ramah.

Akibatnya, kalau mau pamer, mengajak seluruh keluarga untuk pesta makan, siapkanlah uang sebanyak-banyaknya. Tetapi, kalau ingin makan dengan selera sendiri, meskipun masih memakai dasi, berpanas-panas di warung tenda pun jadi.

Kemudian soal mobil. Mobil ternyata tidak melulu alat transportasi, namun juga merupakan prestise, sebuah identitas bagi pemiliknya. Kehormatan pun diterjemahkan pada simbol mobil tersebut. Tidak heran jika bemper mobil tersebut lecet atau penyok karena terserempet, maka seakan-akan ikut lecet dan penyok pula harga diri dan kehormatan pemiliknya.

Padahal itulah fungsi bemper, yakni untuk menahan agar benturan dari mobil lain tidak langsung mengenai body mobil. Bukankah sebaiknya bemper yang penyok dari pada body mobil yang penyok.

Dari beberapa contoh peristiwa di atas tampak bagaimana citra, nilai dan gaya menjadi hal yang penting bagi manusia Jakarta. Uniknya proses ini terus menerus berputar selama manusia Jakarta itu ada. Dengan citra dan gaya inilah berbagai persoalan dapat diselesaikan dengan mudah.

Dalam dunia bisnis misalnya, memperlihatan citra bonifide perusahaan menjadi elemen yang sangat penting. Tidak heran jika sebuah kantor dengan sengaja membeli lukisan berharga ratusan juta rupiah untuk dipasang di lobby kantor agar timbul kesan direktur perusahan tersebut adalah orang yang tahu banyak soal seni.

Di dalam buku ini Seno memang seolah ingin menelanjangi manusia-manusia Jakarta. Ia seperti ingin menunjukkan di balik penampilan manusia Jakarta yang bekesan megah, mewah, dan gemerlap justru terdapat kekacauan, keanehan, dan disorientasi yang kronis.

Kumpulan kolom ini adalah mengenai absurditas manusia Jakarta. Apakah absurditas ini adalah sesuatu yang salah atau keliru? Seno tidak secara terang-terangan mengatakannya, namun paling tidak ia mengajak pembaca untuk melihat sebuah gejala sosiologis yang terjadi pada manusia Jakarta.***

Minggu, 13 April 2008

Menyusuri Lorong Kenangan Ajip Rosidi




Judul : Hidup Tanpa Ijazah, Yang Terekam dalam Kenangan
Penulis : Ajip Rosidi
Penerbit : Pustaka Jaya
Tebal : 1330 halaman
Cetakan : Januari 2008

Ajip Rosidi memang tokoh luar biasa. Ia bukan orang baru dalam jagat sastra Indonesia. Pemikirannya telah memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi sastra dan kebudayaan Indonesia. Namun siapa sangka, guru besar tamu pada Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa Asing), Jepang, ini bahkan tidak memiliki ijazah sekolah menengah.
Itulah salah satu kisah hidup yang disampaikan oleh Ajip Rosidi dalam buku Hidup Tanpa Ijazah ini. Di dalam buku ini Ajip mengisahkan, alasan mengapa ia tidak memiliki ijazah sekolah menengah.

Kejadiannya bermula ketika ujian nasional sekolah menengah ditahun 1956, dikabarkan sering mengalami kebocoran soal. Banyak orang yang dapat memperoleh soal ujian sebelum waktu ujian tiba. Tentu saja, caranya dengan menyogok guru sekolah.
Dari kenyataan inilah Ajip Rosidi memilih untuk tidak mengikuti ujian sekolah menengah. Baginya, hidup tidak harus digantungkan pada secarik kertas bernama ijazah. Prestasi kerja, kemampuan dan pengakuan masyarakat terhadap seseoranglah yang dapat menentukan seseorang dapat bekerja atau tidak.

Oleh karena itu, Ajip yang saat itu sudah memperoleh pengalaman mengajar dan menulis sastra, merasa tidak memerlukan ijazah lagi. Ia ingin membuktikan bahwa seseorang dapat hidup tanpa ijazah. Keinginannya tersebut ia kemukakan kepada kepala sekolahnya.

Dari sisi yang lain, Ajip dapat digolongkan sebagai seseorang yang berani untuk mengungkapkan gagasan dan opininya mengenai sesuatu. Ia selalu bicara langsung pada inti persoalan, tanpa ditutup-tutupi, jika ada hal yang ingin disampikan. Ia bahkan seperti tidak memedulikan siapa orang yang sedang diajaknya bicara. Apalagi kalau dirinya yakin apa yang dikemukakannya adalah sesuatu yang benar.

Misalnya saja ketika ia mengungkapkan ketidaksetujuannya perihal roman psikologis yang disampaikan oleh guru Kesusateraan Indonesia di sekolah menangah. Ketika itu Ajip mengemukakan argumentasinya. Namun belum selesai ia bicara, guru tersebut membentak dan menyuruhnya keluar. Sayang, pada bagian ini Ajip tidak menceritakan kelanjutan peristiwa tersebut. Apakah ia benar-benar keluar dari kelas, atau tetap berada di dalam kelas dan mempertahankan argumentasinya.

Keberanian Ajip tersebut terus terbawa saat ia berkiprah sebagai satrawan. Misalnya saja ketika ia menuliskan karangannya di Sipatahaoenan. Ketika karangan tersebut dimuat, reaksi yang muncul sungguh di luar dugaan. Kala itu ia mendapat serangan dari banyak sastrawan Sunda. Namun semua itu ditanggapinya dengan nada mengolok-olok. Tujuan Ajip tentu bukan sekadar mengolok-olok, tetapi ia ingin ada geliat baru dalam kesusatraan Sunda.

Nada serupa juga terlihat ketika Ajip menanggapi rencana rektor Universitas Padjadjaran untuk memberikan gelar penghormatan. Namun hingga melewati batas waktu yang direncanakan, tidak juga ada kejelasan soal pemberian gelar kehormatan tersebut. Akhirnya, pidato yang dipersiapkan untuk menerima gelar kehormatan itu dimasukkan ke dalam buku yang diterbitkan untuk menyambut 70 Tahun Romo dick Hartoko yang sudah dikenalnya sejak lama.
Menanggapi ketidakjelasan tersebut, Ajip Rosidi mengatakan bahwa ia tidak memerlukan gelar penghargaan. Selama ini ia sudah hidup cukup baik tanpa gelar apa pun. Ketika temannya meminta Ajip untuk menelusuri surat rahasia dari Menteri Pendidikan kepada Dirjen Pendidikan Tinggi, Ajip menolak dan dengan tegas. Ia mengatakan, dirinya tidak membutuhkan gelar itu. Bagi Ajip gelar tersebut tidak banyak artinya. Gelar kehormatan itu tidak akan menaikkan gajinya di Jepang, dan tidak akan membuatnya lebih terkenal.

Salah satu gagasan penting Ajip Rosidi dalam kesusasteraan adalah pemberian penghargaan Rancage. Hadiah ini diberikan khusus kepada karya-karya sastra berbahasa daerah. Pada awalanya penghargaan tersebut hanya diberikan kepada karya sastra Sunda. Namun pada perkembangannya, hadiah Rancage tidak hanya diberikan kepada sastra berbahasa Sunda, tetapi juga bahasa daerah lainnya seperti Sastra Jawa dan Sastra Bali.

Ajip mejelaskan, pemberian hadiah Rancage adalah semata-mata untuk menunjukkan bahwa kerja keras para penulis sastra daerah mendapat perhatian yang layak, dan dihargai. Kata Rancage sendiri diambil dari carita pantun yang berarti aktif-kreatif.

Di samping gagasan dalam sastra dan kebudayaan, hal yang juga menarik dari buku ini adalah penggalan-penggalan cerita dari sejumlah orang yang pernah berinterkasi dengan Ajip. Mereka bisa keluarga, kerabat, satrawan, pejabat atau tokoh politik yang pernah bertemu dengannya. Dari sinilah pembaca dapat mengetahui kisah-kisah yang bersifat human interest dari tokoh tersebut.

Salah satu orang dikisahkan oleh Ajip adalah Pramoedya Ananta Toer. Dalam buku ini Ajip memaparkan bahwa Pramoedya adalah orang yang sangat egosentris. Buktinya Pramoedya mengajak istrinya untuk tidak tinggal bersama mertuanya. Meskipun mertuanya adalah orang kaya yang memiliki banyak rumah, namun Pramoedya memilih untuk tinggal di rumah petak beralas tanah di kawasan Rawamangun, Jakarta, bersama istrinya. Padahal, menurut Ajip, mungkin baru saat itulah Maemunah, istri Pramoedya, untuk pertama kalinya tinggal di rumah beralas tanah.

Masih kisah di seputar Pramoedya, Ajip menceritakan bagaimana di masa Pram mengalami krisis keuangan, ia mendapat order untuk menerjemahkan karya utama Maxim Gorky, Ibunda. Menurut Ajip, tidak mengherankan jika Pramoedya sampai beranggapan bahwa orang yang membantunya ketika mengalami kesulitan adalah orang kiri. Hal ini terjadi ketika sejumlah majalah tidak mau lagi memuat tulisan-tulisannya, dan beberapa penerbit mengembalikan hak penerbitannya serta berhenti mencetak buku-buku Pram.Buku Hidp Tanpa Ijazah ini memang menarik untuk dibaca. Gaya bertutur Ajip yang khas, tulisan yang enak dibaca, dan isi yang kaya, membuat pembaca tidak bosan untuk membaca buku ini hingga akhir, seperti menyusuri lorong kenangan yang sarat dengan kisah dan cerita hidup. ****

Minggu, 02 Maret 2008

Jeli Melihat Peluang Bisnis





Judul: 40 Bisnis dan Investasi yang Menggiurkan
Penulis: Agung Budi Santoso
Penerbit: Panta Rei
Tebal: 253 Halaman
Terbit: November 2007


Kini semakin banyak orang yang berminat untuk memiliki usaha sendiri. Bahkan orang yang sudah memiliki pekerjaan tetap pun selalu mencari peluang untuk menambah pendapatan dengan cara ini. Bisnis yang dilakukan tidak perlu terlalu besar, tetapi yang penting dapat memberikan income tambahan yang memuaskan setiap bulannya.

Namun orang acap kali harus memutar otak untuk menentukan jenis usaha yang akan digelutinya. Mereka tidak mengetahui jenis usaha seperti apa yang cocok dilakukan, baik dari segi modal maupun keuntungan yang akan diraih. Akhirnya mereka menemukan jalan buntu.
Sebetulnya banyak sekali peluang bisnis yang dapat dilakukan. Bahkan mungkin peluang itu ada di sekitar lingkungan sendiri, baik lingkungan rumah atau kantor. Namun ironisnya peluang itu sering luput dari tangkapan ”indera ke enam” bisnis seseorang. Akibatnya, jutaan rupiah yang sebenarnya dapat mengalir ke dalam kantong malah hilang begitu saja. Hal yang menyedihkan, peluang yang ada di depan mata justru disambar oleh orang lain.

Hal itulah yang sebetulnya ingin disampaikan dalam buku 40 Bisnis dan Investasi Menggiurkan ini. Buku ini seperti ingin menunjukkan bahwa peluang berbisinis dan berinvestasi sesungguhnya masih sangat terbuka terbuka lebar, mulai dari bisnis berisiko rendah, hingga bisnis dengan risiko lebih tinggi.

Tidak hanya itu, penulis menyampaikan bahwa dari hal yang terkesan sepele, ternyata dapat dimulai sebuah bisnis yang hasilnya tidak dapat dikatakan kecil. Salah satu contoh bisnis yang ditawarkan penulis adalah bisnis kliping. Siapa pernah menduga bahwa bisnis ini ternyata cukup menjanjikan. Hanya dengan bermodal berlangganan koran, majalah dan tabloid, atau bahkan membeli bekas secara kiloan, seseorang dapat menghasilkan jutaan rupiah dari kliping yang dikumpulkannya.

Bisnis lain yang juga tidak bermodal banyak namun bisa menjadi andalan dalam mencari pendapatan tambahan adalah lahan parkir. Dengan modal utama lahan kosong saja, seseorang dapat memulai usaha lahan parkir. Apalagi lokasi lahan kosong yang dimiliki sangat dekat dengan kantor, pertokoan, atau sekolah yang tidak memiliki lahan parkir yang memadai.
Masih banyak lagi bisnis maupun investasi yang disampaikan dalam buku ini, mulai dari berjualan bubur ayam, es campur, waralaba, invetasi emas, hingga bermain saham. Namun secara garis besar buku ini membagi bisnis dan investasi menjadi empat bagian.

Bagian pertama mengupas bisnis dan investasi yang berkaitan dengan jasa. Bisnis yang berkaitan dengan bidang ini diantaranya adalah sebagai penulis artikel, penulis buku, penerjemah, penulis skenario, waralaba laundry hingga penyewaan alat pesta.

Bagian ke dua membahas bisnis yang berkaitan dengan makanan dan minuman. Di dalamnya dikupas bisnis katering, jus, toko oleh-oleh, hingga warung STMJ. Pada bagian ke tiga diuraikan berbagai investasi untuk melipatgandakan uang, mulai dari mini market, reksadana, bermain saham, sampai investasi dalam bentuk emas. Sedangkan pada bagian ke empat dipaparkan bagaimana membuka keran uang dengan bisnis budidaya dan kerajinan. Di sini dibahas bisnis-bisnis seperti beternak ikan cupang, kolam pemancingan ikan, beternak lele, tanaman hias hingga usaha florist.

Menariknya, setiap bisnis yang dibahas dalam buku ini disertai ilustrasi biaya yang harus dikeluarkan dan keuntungan yang akan didapat. Dengan demikian pembaca akan lebih mudah mengukur dan mendapatkan gambaran dari bisnis yang akan dijalankan.

Berbagai jenis bisnis maupun investasi yang disampaikan dalam buku ini memberikan inspirasi pada pembacanya bahwa peluang bisnis masih terbuka lebar. Siapa pun dapat melakukannya, tergantung isi kocek tentunya. Namun, yang paling penting adalah, buku ini mengajarkan bahwa kejelian melihat peluang merupakan kunci sukses setiap bisnis maupun investasi yang dilakukan.***

Kamis, 06 Desember 2007

Eksklusi Sosial Petani China




KEMAJUAN ekonomi China memang pesat dan mencengangkan. Tidak mengherankan jika di Asia,secara ekonomi, China bukan lagi anjing lucu, tetapi telah berubah menjadi serigala menggetarkan banyak negara.

Hal inilah yang acap menjadi inspirasi bagi sejumlah negara di Asia untuk menggenjot kemajuan ekonomi mereka untuk memperoleh pencapaian yang sama dengan negeri tirai bambu itu. Namun di balik kemajuan itu, banyak cerita memilukan terjadi.Hal ini terjadi terutama pada para petani.

Dalam buku ini dikisahkan bagaimana para petani di China mendapat tekanan yang luar biasa dari para pejabat lokal.Tekanan tersebut dilakukan dengan cara yang bahkan tidak berperikemanusiaan.

Akibatnya, para petani tersebut menghadapi penderitaan yang hebat. Salah satu bentuk tekanan yang dilakukan pejabat lokal adalah pemungutan pajak atas para petani dengan jumlah yang jauh di luar batas kemampuan. Pungutan pajak tersebut tidak lagi memandang kemampuan petani, para pejabat lokal hanya mau tahu para petani tersebut melunasi pajaknya sesegera mungkin.

Ironisnya, para pejabat itu menggunakan hasil pungutan pajak untuk kepentingan dan kekayaannya sendiri Akibat dari tekanan ini, sering kali terjadi pertikaian antara para petani dengan pejabatpejabat lokal. Tidak jarang pertikaian tersebut berujung pada tindak penyiksaan dan pembantaian.

Kejadian seperti di atas bukan hal baru di China. Salah satu kisah penyiksaan itu terjadi di desa Zhang, Provinsi Anhui. Kejadian ini bermula ketika Deputi Kepala di desa tersebut mulai bosan dan kian geram dengan para petani yang selalu mengadukan perbuatannya menyalahgunakan dana warga.

Ketika kekesalan sang Deputi Kepala memuncak,diajaknya petugas keamanan dan anakanaknya untuk mengunjungi salah seorang warga desa bernama Zhang Guiyo. Zhang Guiyo adalah warga desa yang sering menyarangkan tuduhan masalah keuangan desa Kepala Deputi. Namun kunjungan itu bukanlah kunjungan biasa, melainkan bertujuan untuk menganiaya Zhang Guiyo.
Menyikapi hal ini warga desa pun bereaksi.Mereka mengadukan perbuatan Deputi Kepala tersebut kepada Kepala Partai di tingkat desa.Hasilnya,aparat partai di tingkat kecamatan menginstruksikan audit umum yang menyangkut keuangan di seluruh desa. Hal ini tentu saja membuat Deputi Kepala meradang. Bersama anaknya ia kembali menyambangi rumah Zhang Guiyo.

Kericuhan kembali terjadi di rumah ini. Buntutnya, dalam hitungan menit, empat orang tewas di tangan Kepala Deputi dan komplotannya. Kejadian ini membuktikan bagaimana arogansi kekuasaan dan korupsi masih menjangkiti banyak pejabat lokal di China.

Hal seperti di atas terjadi di hampir seluruh wilayah pertanian di China. Tanah pertanian yang harusnya memberikan penghidupan bagi para petani akhirnya menjadi beban bagi mereka sendiri, terutama karena pajak. Hal semacam inilah yang kemudian mendorong para petani China untuk bergerak menuju kota dan menjadi ”migran kota”.

Jumlah migran kota ini sangat besar.Pada tahun 2005 saja di Shanghai terdapat 1, 25 juta migran dari Anhui. Belum lagi dari provinsi-provinsi lainnya. Di kota mereka melakukan pekerjaan yang justru ditampik oleh penduduk lokal.Namun karena kerja keras yang luar biasa, banyak dari migran ini yang berhasil menduduki jabatan manajerial dan membawahi pekerja-pekerja lokal.

Eksklusi Sosial
Sayangnya, nasib migran kota tidak seindah kedengarannya Ada beberapa masalah yang dikemukakan penulis buku ini. Salah satunya adalah eksklusi sosial yang dikenakan oleh pemerintah kota. Kendati pun para migran ini telah memberikan sumbangan besar bagi perkembangan ekonomi, namun pemerintah kota tidak akan pernah memberikan status permanen di kota.

Akibatnya, mereka tidak akan mendapatkan asuransi kesehatan, keuntungan perumahan yang diperoleh warga kota lain. Perlakukan diskriminatif ini tentu sangat merugikan para migran kota. Tampak di sini adanya sebuah garis pembatas yang jelas antara penduduk kota dan para migran kota.

Pembatasan ini juga sekaligus membatasi migran kota dalam soal status, kesempatan, pendapatan, populasi, dan pemberian izin kerja. Sayangnya wewenang pembatasan ini diserahkan kepada badan-badan keamanan umum. Konsekuensinya, migran kota diperlakukan sebagai penjahat yang potensial. Hal ini menciptakan kesenjangan antara penduduk lokal dengan kaum migran.

Tentu saja stabilitas sosial menjadi terancam. Masalah berikutnya adalah menurunnya jumlah sumber daya manusia di desa. Hal ini disebabkan migrasi masyarakat desa ke kota.Akibatnya, investasi di desa menjadi berkurang. Ekonomi di pedesaan pun akan terkena imbasnya.
Dari tahun 1985 hingga tahun 1994 misalnya, tercatat 300 miliar yuan tersedot dari desa ke kota. Ini artinya desa perlahan-lahan tengah kehilangan potensinya dan kemiskinan mulai membayang di ambang pintu. Solusi dari persoalan terakhir ini, menurut buku ini, adalah mengembalikan potensi para petani. Du Runsheng, salah satu pakar ekonomi yang pernah menduduki posisi penting di partai dan pemerintahan China berpendapat, penting untuk menciptakan sebuah sistem maupun lingkungan yang menguntungkan dan dapat memotivasi para petani.

Misalnya saja mengundang- undangkan hak penggunaan tanah untuk para petani, termasuk di dalamnya hak mengontrak, hak mengelola, hak memakai, hingga hak untuk menggunakannya sebagai jaminan (halaman 337). Buku yang pernah dilarang terbit di China ini menunjukkan bahwa di balik kemajuan China terdapat begitu banyak persoalan, mulai dari persoalan sosiologis, pembangunan sosial,hingga ekonomi.

Dari sini pembacanya bisa belajar bahwa pembangunan bukanlah hal yang mudah. Karena itulah, pembangunan menuntut kesungguhan berbagai pihak. Disain pembangunan pun tidak dapat diserahkan begitu saja pada teknokrat atau ekonom, tetapi partisipasi masyarakat itu sendiri. Pembangunan juga bukan melulu persoalan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan industri yang melaju pesat, tetapi juga pembangunan yang berorientasi pada manusia.(*)
Nigar Pandrianto
Dimuat di Harian Seputar Indonesia, 18 Nopember 2007