Selasa, 22 Mei 2012

Membaca "Kita" dalam Laci sketsa


Judul: Mangan Ora Mangan Kumpul
Penulis: Umar kayam
Penerbit: Grafiti Pers
Terbit: VII, 2012
Halaman: 458


Menyampaikan persoalan yang terjadi dalam masyarakat tidak harus dilakukan dengan gaya yang serius ataupun "berat". Gaya yang sederhana dan penuh seloroh dapat juga digunakan agar pesan dapat lebih mudah dikomunikasikan.

Itu yang dapat ditangkap ketika membaca kolom-kolom Umar Kayam yang terdapat dalam buku Mangan Ora Mangan Kumpul ini. Gaya tulisannya tidak sekadar santai melainkan juga ringan dan renyah. Tak jarang pembaca juga akan dibuat tersenyum saat "mengunyah" isi tulisan di dalamnya.

Buku ini banyak mengetengahkan persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat kontemporer. Di dalamnya terdapat masalah politik, birokrasi, kemasyarakatan, ekonomi, hingga persoalan kultural.

Umar Kayam seakan berusaha untuk memeras realitas tersebut sehingga sari pati setiap persoalan dapat keluar untuk kemudian dinikmati oleh pembaca. Lusinan masalah dan persoalan ia ungjkapkan dalam kolom-kolomnya. Nukan sekadara m,salah, namun hal-hak yang nyata menuntut penyelesaian.
Umar Kayam
 id.wikipedia.org

Lewat kolom-kolom itu Umar Kayam bukan mengguggat, ataupun melakukan kritik secara langsung, ia hanya melakukan dekodefikasi, untuk kemudian ia sampaikan kepada pembacanya dengam racikan yang lebih "sedap" bagi pembaca.

Formula racikan itu bisa dapat bermacam-macam, salah satunya adalah sentuhan kultur Jawa-- apalagi kolom-kolomnya terbit di harian Kedaulatan Rakyat yang terbit di Yogyakarta.
Dalam kolom-kolomnya Umar Kayam tidak memosisikan dirinya sebagai guru atau sosok yang lebih tahu dari orang lain,  melainkan sosok yang orang  biasa. Karenanya ia dapat lebih bebas mengomentari setiap hal yang dilihatnya.

Sampul cetakan pertama, 1991.
Dalam kolom-kolomnya,  Umar Kayam menampilkan tokoh-tokoh yang dekat dengannya. Bukan tokoh yang kelewat hebat dan terhormat, melainkan pembantu rumah tangga atau batur. Pembantu yang selalu berpikir serba sederhana itu justru ia gunakan untuk melakukan "pembalikan", merontokkan yang serba mapan, serba tinggi dan serba tidak tersentuh.

Pemberian nama tokoh-tokh pembantunya tersebut pun sudah meriupakan sebuah pembalikan, yakni Rigen dan Nansiyem, yang merupakan plesetan nama presiden Amerika Serikat dan istri, Ronald Reagan  dan Nancy Reagan.

Membaca kolom-kolom Umar Kayam, pembaca akan seperti melihat diri sendiri, persoalan sendiri, bahkan mentertawakan diri sendiri, karena memang kita lekat dengan persoalan-persioalan yang dikemukakan oleh Umar Kayam.***


Senin, 07 Mei 2012

Menegaskan Peran Sultan dalam Sejarah


 
Judul   : Sepanjang Hayat Bersama Rakyat
Penulis : Tim Kompas
Editor  : Julius Pour dan Nur Adji
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Terbit   : I, April 2012
Halaman :  xii + 347 Halaman



Problema utama historiografi ialah subjektivitas. Inilah menyebabkan historiografi cenderung tampil sebagaimana diinginkan oleh penulisnya dengan mengabaikan evidensi-evidensi objektif.

Cara memandang peristiwa sejarah yang keliru, orientasi penulisan yang sentralitis, serta berbagai tarikan kepentingan, cenderung  menghasilkan sebuah sejarah yang mistifikatif. Oleh karena itu, pelurusan sejarah menjadi sesuatu yang tidak boleh dihindari.

Begitu pula dengan sejarah Serangan Umum (SU) 11 Maret 1949 di Yogyakarta yang dilakukan oleh tentara gerilya. Peristiwa ini menjadi kontroversial karena berbagai tulisan sejarah memiliki versi yang berbeda-beda mengenai subjek penggagas serangan tersebut.

Banyak literatur menyebutkan, SU digagas oleh Letkol Soeharto, yang kelak menjadi presiden Republik Indonesia. Namun kemudian bantahan muncul yang menyebutkan bahwa peristiwa yang terjadi di Yogyakarta itu adalah inisiatif Sultan Hamengku Bowono IX.

Perbedaan itulah yang banyak dibahas pada bagian awal buku ini. Berbagai kutipan serta pandangan dari pelaku maupun ahli sejarah disampaikan untuk memberikan perspektif yang berbeda, terkait dengan SU.

Dari tulisan yang ada, seakan ingin ditegaskan bahwa Sultan Hamengku Buwono IX-lah yang pertama-tama melihat arti strategis SU bagi eksistensi bangsa Indonesia. Itu sebabnya ia kemudian meminta Letkol Soeharto untuk mengomandoi sebuah operasi yang dicetusnya.

Ketika peristiwa sejarah ini diputarbalikkan, Sultan tidak banyak berkomentar. Penyebabnya,  ia tidak memiliki ambisi untuk dikenang dalam sejarah. Kepentingannya hanya satu yakni kepentingan rakyat.

Selain itu, buku ini juga ingin mempertegas posisi Sultan Hamengku Buwono IX. Baik perannya dalam sejarah bangsa Indonesia, maupun posisinya di hati rakyat. Apalagi Sultan dikenal sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat.

Dalam buku ini diungkapkan sebagian kecil hal yang telah dilakukan oleh Sultan pada masa-masa awal berdirinya Republik Indonesia. Misalnya saja Sultan mempersilakan pusat pemerintahan Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta. Sultan juga  menyumbangkan harta Keraton Yogyakarta untuk membiayai penyelenggaran pemerintahan Republik Indonesia.

Dengan demikian, wacana untuk meniadakan keistimewaan Yogyakarta adalah hal yang ahistoris. Sebagai bangsa yang besar, tidak pantas rasanya menghilangkan ataupun melupakan sejarah.

Bukan hanya kisah besar mengenai Sultan yang diungkapkan dalam buku ini, melainkan juga kisah-kisah human interest yang memperlihatkan karisma dan kesederhanaan seorang Raja Jawa.
Misalnya, ketika Sultan berkunjung ke New York. Suatu kali, di tengah perjalanan kembali ke hotel, ia meminta Joop Ave, yang bertugas sebagai konsul di Konjen RI di New York,  meninggalkannya tanpa pengawalan untuk berjalan-jalan dan berbelanja di  Bloomingdale Department Store.

Joop Ave yang saat itu ditugasi menemani Sultan tidak dapat berbuat banyak. Ia pun meninggalkan Sultan sendirian dengan cemas.

Buku yang diterbitkan untuk  mengenang 100 tahun Sultan Hamengku Buwono IX ini kembali mengingatkan kita, bahwa pemimpin sejati adalah pemimpin yang mengayomi dan mendengarkan rakyat. Hanya dengan cara itu ia dicintai dan selalu memiliki tempat di hati rakyat.***

Seni dan Benda Seni di Mata Seorang Kolektor

Judul  : Seni dan Mengoleksi Seni
Penulis  : Oei Hong Djien
Penerbit  : Kepustakaan Populer Gramedia dan
Terbit   : I, April 2012
Halaman    :  xli + 537 Halaman
Harga    : Rp. 150.000.



Menilai sebuah benda seni dapat dilakukan oleh siapa saja, baik oleh seniman ataupun kritikus seni. Sebab, karya seni sebagai sebuah artifak, adalah objek yang “terlepas” dari kreatornya, dan setiap orang bebas untuk memaknai.

Namun, bagaimana pencinta ataupun kolektor benda seni memandang sebuah karya seni? Apakah semata untuk kepuasan pribadi, status sosial, atau komoditi investasi? Buku ini menjawab pertanyaan tersebut.

Adalah Oei Hong Djien, salah satu kolektor benda seni terkemuka Indonesia yang reputasinya diakui dunia.  Saat ini ia tidak hanya “gandrung” mengoleksi benda seni,  melainkan ikut “menyelamatkan” sejarah seni rupa modern Indonesia.

Saya katakan “menyelamatkan” karena selain menyimpan ribuan lukisan karya maestro Indonesia dan sejumlah karya kontemporer, ia juga ikut melestarikannya dengan merestorasi benda-benda seni tersebut sepanjang diperlukan.

Bahkan ia juga telah “mengembalikan” karya pelukis legendaris Indoneisa yang sudah berada di tangan kolektor di luar negeri. Cara-cara seperti ini tentu bukan gaya seorang kolektor yang menganggap karya seni sebagai komoditi, melainkan kolektor yang sungguh-sungguh mencintai karya seni, sekaligus memiliki tanggung jawab terhadap “aset” bangsa.nilai koleksinya kemudian bertambah, itu hanya sekadar keuntungan lain. Apalagi ia tidak berniat untuk menjual kembali koleksinya.

Mengenai pasar, Hong Djien memiliki sejumlah catatan. Hasil pengamatannya menunjukkan, kadang-kadang  pasar bereakasi tidak rasional. Di sini ia mempersoalkan harga pasar yang dapat melambung tinggi secara tidak wajar.

Lukisan seniman yang belum memiliki pengalaman misalnya, dapat terjual dengan harga yang sangat tinggi. Padahal kreativitas dan konsistensinya belum teruji. Hal ini dapat membawa kerugian tidak hanya bagi seniman itu sendiri melainkan juga bagi dunia seni Indonesia secara umum.

Pada kondisi  demikian, akan muncul seniman yang selalu berusaha memenuhi selera pasar. Dengan begitu, makna sebuah karya akan tereduksi, sebab ia tidak ada bedanya dengan craft yang harus diproduksi secara masal agar dapat terserap pasar.

Hong Djien sendiri menyadari, pasar adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan begitu saja. Tanpa pasar,  seniman memang tidak bisa hidup. Tanpa transaksi  atau kegiatan jua-beli karya seni rupa tidak akan dapat berkembang. Keduanya harus saling bersinergi. Namun, kualitas sebuah karya seni harus menjadi yang utama.

Itu sebabnya Hong Djien selalu mengingatkan kepada para kolektor untuk bereaksi wajar terhadap karya seni. Menjadikan karya seni sebagai komoditi yang hanya dilihat dari sisi untung-rugi tidak akan membawa dampak positif kepada dunia seni.

Lewat buku ini Hong Djien juga berbagi pengalaman selama berinterkasi dengan seniman, mulai yang legendaris seperti Affandi hingga seniman yang jauh lebih muda seperti Made Sukadana.  Kedekatan dengan seniman dan memahami proses kreatifnya membuat ia semakin mengerti bagaimana menilai, menikmati dan menghargai sebuah karya seni.***