Minggu, 27 Februari 2011

Mohamad Hatta di Balik Kemerdekaan



Judul : Untuk Negeriku (Autobiografi Mohammad Hatta)

Penulis : Mohammad Hatta

Penerbit : Penerbit Buku kompas

Terbit : I, Januari 2011

Harga : Rp.125.000.


Pemikiran ekonomi maupun politik Mohammad Hatta telah ikut menentukan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Jika itu semua berasal dari sebuah situasi mental dan kultural tertentu, maka buku inilah yang dapat menggambarkan bagaimana pemikiran itu terbentuk.

Dari buku yang merupakan autobiografi Mohammad Hatta ini, pembaca dapat melihat bahwa karakter Hatta ternyata tidak lepas dari latar belakang budaya, keluarga, pendidikan, dan pengalaman politiknya.

Latar pendidikan Hatta yang bercorak Barat, latar belakang budaya yang Islami dan menghargai pendidikan, telah membantu Hatta yang selalu ingin kritis terhadap apa yang dilihatnya. Jika memang hal itu memerlukan perbaaikan, maka itulah yang harus dilakukan tanpa kompromi.

Untuk Negeriku dibagi menjadi tiga buah judul buku yakni Buktitinggi-Rotterdam Lewat Betawi, Berjuang dan Dibuang, serta Menuju Gerbang Kemerdekaan. Masing-masing buku menandai perioode dalam kehidupan Hatta.

Buktitinggi-Rotteredam Lewat Betawi (buku 1) mengisahkan masa kecil Hatta di Padang. Dalam buku ini Hatta juga menceritakan pengalamannya ketika melanjutkan pendidikannya di Batavia, serta bagaimana ia mulai memasuki dunia pergerakan mahasiswa di Belanda.

Buku kedua, Berjuang dan Dibuang (buku 2), berisi kisah Hatta ketika ia sudah kembali ke Indonesia. Di sinilah Hatta menghadapi berbagai rintangan dalam perjuangan menuju kemerdekaan. Pada periode waktu inilah ia bertemu dengan Soekarno.

Sedangkan dalam buku Menuju Gerbang Kemerdekaan (buku 3), Hatta mengisahkan berbagai peristiwa yang mewarnai saat-saat menjelang kemerdekaan Republik Indonesia. Di sini pembaca dapat melihat bagaimana para pendiri bangsa berada dalam situasi yang tidak mudah membuat pernyataan kemerdekaan. Perbedaan pendapat antara Syahrir, Hatta dan Soekarno adalah penyebabnya.

Sebagai sebuah autobiografi seseorang yang ikut membidani kelahiran sebuah bangsa yang merdeka, buku ini menjadi sebuah sumber sejarah yang sangat penting. Sejumlah peristiwa yang sebelumnya menjadi kontroversi, akan memperoleh perspektif lain.

Sebut saja peritiwa penculikan Soekarno yang dilakukan sekelompok pemuda. Apakah benar hal itu dipicu oleh keengganan Soekarno dan Hatta untuk menunda-nunda kemerdekaan? Jawabanya, Soekarno dan Hatta justru memiliki alasan yang rasional. Mereka ingin proklamasi kemerdekaan dilakukan oleh panitia yang sudah dibentuk yakni Panitia Persiapan Kemerdekaan Indoenesia.

Kala itu Soekarno merasa tidak memiliki hak untuk mengatasnamakan rakyat Indonesia. Tindakan yang ia lakukan harus dengan persetujuan panitia yang diketuainya sendiri. Inilah yang menyulut kenekatan para pemuda membawa Soekarno dan Hatta ke Regasdengklok.

Dari buku ini kita dapat melihat bagaimana Hatta dan orang-orang yang terlibat dalam usaha kemerdekaan Indonesia, adalah orang-orang yang berjuang tanpa pamrih. Apa yang mereka lakukan adalah untuk mengakhiri penindasan yang dilakukan oleh kaum imperialis. Tidak sedikit pun terbesit keinginan untuk menduduki jabatan tertentu. Inilah yang harus dijadikan contoh oleh para calon pemimpin bangsa sekarang ini.****


Rabu, 16 Februari 2011

Seruan Sikap Toleransi


Judul : Maluku Kobaran Cintaku
Penulis : Ratna Sarumpaet
Penerbit : Komodo Books
Terbit : I, Desember 2010
Halaman : 512 halaman
Harga : Rp. 72.000

Aksi kekerasan atas nama agama kembali terjadi. Hal ini memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia tengah menghadapi tantangan kebangsaan yang besar. Persoalannya, apa akar persoalan dari semua peristiwa tersebut.

Harus diakui, akar masalahnya tidak tunggal, melainkan multidimensional. Tidak mudah untuk mengambinghitamkan satu faktor saja. Setiap faktor dapat saja terkait dengan faktor-faktor lainnya.

Novel Maluku Kobaran Cintaku yang ditulis oleh Ratna Sarumpaet ini memperlihatkan bahwa pertikaian antar umat beragama, sering kali bersumber pada faktor eksternal. Faktor-faktor itu tidak insidental, melainkan sudah menahun.

Salah satu faktor eksternal yang diidentifikasi oleh Ratna dalam novel ini adalah kebijakan pemerintah yang dirasa tidak adil. Salah satunya adalah undang-undang kelautan yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat Maluku.

Di samping itu, Ratna juga memperlihatkan bahwa kekerasan yang kian melebar di Maluku tidak lepas dari kepentingan banyak pihak. Ada kekuatan yang dengan sengaja terus membakar suasana untuk keuntungan pihat tertentu.

Bagi Ratna, tidak masuk akal bila saling pengertian antar umat beragama yang sudah dibina sejak lama di Maluku dapat hancur dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini tidak akan terjadi apabila tidak ada usaha atau skenario yang sengaja disusun untuk memanaskan suasana di sana.

Itu sebabnya Ratna tidak putus-putusnya mengingatkan adanya pihak-pihak yang "bermain" di belakang setiap gesekan yang timbul dalam masyarakat. Oleh sebab itu, penting untuk menyaring setiap isu yang berkembang dalam masyarakat.

Lebih dari itu semua, Ratna menyerukan pentingnya sikap toleransi antar umat beragama. Sejak bab pertama, ia secara tegas menyerukan hal ini. Baginya, toleransi adalah kunci perdamaian.

Di Maluku sendiri komunikasi yang baik, hubungan timbal balik yang kuat antar umat beragama sebenarnya sudah lama terjadi. Bahkan tokoh-tokoh agama, baik dari kalangan Kristen maupun Islam, digambarkan memiliki toleransi yang tinggi. Mereka pun menjalin dialog ketika terjadi krisis kepercayaan antar umat. Sayangnya, hal itu tidak mengalir ke tingkat bawah.

Sejumlah tokoh muda--demikian dikisahkan dalam novel ini--dengan latar belakang agama yang berbeda-beda kemudian muncul. Mereka berusaha membangun kembali kepercayaan antar umat beragama. Mereka mendirikan organisasi independen yang berusaha mengembalikan perdamaian di Maluku.

Anak-anak muda tersebut sadar, jika keadaan tidak segera dibenahi, maka kehancuran yang lebih hebat bakal terjadi. Sayangnya cita-cita luhur mereka dihadang oleh berbagai konflik yang pelik.

Lewat novel ini Ratna juga ingin mengatakan bahwa permusuhan antar umat beragama hanya dapat direhabilitasi dengan membangun kembali semangat saling pengertian. Hal itu tidak hanya tugas pemerintah, namun juga tokoh-tokoh agama.

Di sini tokoh agama harus dapat mengembangkan sebuah dakwah yang menyejukkan dan membawa kebaikan bagi seluruh umat manusia. Sudah seharusnya tidak ada lagi tempat di negeri ini bagi mereka yang memonopoli kebenaran.***