Jumat, 19 Agustus 2011

Mochtar Lubis dalam Perspektif Kritis



<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

Judul : Jurnalisme dan Politik di Indonesia

Penulis : David T Hill

Penerbit : Yayasan Obor Indonesia

Terbit : I, Agustus 2011

Tebal : 362 halaman

Harga : Rp. 75.000

Mochtar Lubis adalah ikon pers Indonesia. Keberaniannya mengritik penguasa terus menjadi buah bibir hingga kini. Karena kritikan tersebut, pemerintah acap kali merasa jengah. Buntutnya, Mochtar dijebloskan ke penjara.

Buku ini tampaknya ingin memperlihatkan bagaimana sepak terjang Mochtar Lubis di jagat pers dan kaitannya dengan dinamika politik nasional. Tidak hanya karena posisinya sebagai pemimpin Indonesia Raya yang bertiras besar dan berpengaruh, namun karena Mochtar memiliki garis moral perjuangan yang sulit digeser, yang tercermin lewat gaya jurnalistiknya.

Garis moral tersebut kira-kira, selalu kritis terhadap kecenderungan negatif penguasa seperti korupsi, penyalahgunaan wewenang, penyelewengan jabatan, serta kemerosotan moral pemangku kekuasaan.

Ketika Presiden Soekarno menikahi Hartini misalnya, Indonesia Raya jelas-jelas mengritiknya. Bahkan Mochtar terang-terangan menyerang Soekarno (Hal. 57). Soekarno pun gerah dengan "ulah" Mochtar tersebut..

Krtik keras Mochtar tak berhenti di situ, melainkan juga ketika Konferensi Asia-Afrika berlangsung pada tahun 1955. Saat itu ia mengritik panita "keramahtamahan" yang "menyediakan" perempuan untuk menyenangkan para delegasi.

Ketika Indonesia Raya berada di Orde Baru, orientasi perlawanannya tidak berubah. Meskipun pada awalnya harian ini mendukung garis kebijakan Suharto, namun ia tetap kritis. Misalnya saja kritik kasus korupsi Pertamina oleh Ibno Sutowo yang memiliki kedekatan dengan Presiden Suharto.

Namun, sikap keras Mochtar Lubis tidak selalu menuai pujian dari orang-orang yang mendukung perjuangannya. Sebaliknya, ia memperoleh kritik. Keberpihakannya membuat pemberitaannya menjadi tidak seimbang.

Pernyataan antikomunis di Indonesia Raya misalnya, selalu memperoleh ruang yang besar. Sebaliknya, pemberitaan atau statement yang mendukung komunis, selalu memperoleh porsi yang lebih sedikit.

Bahkan pada peristiwa berikutnya, Mochtar Lubis menolak penyelenggaraan Pekan Film Rusia pada tahun 1969. Soe Hok Gie mengritik halini. Soe Hok Gie menuduh Mochtar sebagai orang yang berpandangan sempit sekaligus seorang pelacur intelektual.

Selain itu, buku ini juga menyinggu Mochtar Lubis sebagai seorang sastrawan. Protesnya terhadap pemerintah, deskripsi sebuah situasi moral, ataupun eksplanasi kondisi saat menjalankan tugas jurnalistik, ia ungkapkan lewat karya-karya sastranya.

Ini yang membuat Mochtar Lubis menonjol sebagai sastrawan. Sejumlah pengakuan internasional ia peroleh karena karya-karya sastranya tersebut. Kepiawainnya tidak hanya teruji di bidang jurnalistik, namun juga di dunia kepengarangan.

Sebagai sebuah biografi kritis, buku ini memberikan perspektif yang lebih luas mengenai Mochtar. David T Hill tidak berpretensi memuji-muji Mochtar, namun juga memperlihatkan sisi manusiawi Mochtar. Pada buku ini Mochtar beberapa kali digambarjan sebagai sosok yang dapat juga meletupkan kebencian, kesumat, hingga kekeraskepalaan.

Itulah Mochtar Lubis, meskipun perjuangannya tak sepi kritik, namun ia selalu memegang teguh nilai-nilai yang diyakininya.***

dimuat di harian Koran Jakarta, 2 Sepetember 2011

Rabu, 17 Agustus 2011

Wajah Tertindas Perempuan



Judul : Wajah Terakhir

Penulis : Mona Sylviana

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Terbit : I, Agustus 2011

Tebal : 143 halaman

Harga : Rp. 35.000


Perlawanan terhadap dominasi laki-laki lewat karya sastra, tidak harus mencuatkan sosok heroik perempuan yang memberontaki nilai kultural yang dinilai mengekang. Namun hal itu dapat juga dilakukan dengan mendeskripsikan wajah ketertindasan yang ekstrem.

Itulah yang dilakukan oleh Mona Sylviana dalam antologi cerita pendek Wajah Terakhir. Dalam kumpulan cerpen ini, Mona tidak lagi memunculkan perempuan yang secara ideologis melawan peran-peran tradisional yang disuarakan dunia partriarkal.

Sebaliknya, Mona menyodorkan sebuah perlawanan dengan memperlihatkan marjinalisasi perempuan pada titik paling inti dan eksterm, yakni penderitaan perempuan lewat deskripsi-deskripsi yang menghenyakkan. Di sini perempuan tidak muncul sebagai sosok yang menggapai-gapai kesetaraan dengan laki-laki, namun membiarkannya tampil sebagai sosok yang menderita.

Strategi ini boleh jadi jitu. Sebab dengan memfokuskan cerita pada ketertindasan seperti itu, pembaca akan ikut merasakan luka-luka yang dialami perempuan akibat marjinalisasi tersebut. Pembaca seakan diajak untuk memberikan makna lain sebuah penderitaan.

Seperti pada cerpen Mata Andin. Lewat mata seorang anak perempuan, pembaca ditarik untuk melihat penderitaan tokoh ibu tanpa meghadirkan keluhan-keluhan kemisikinan yang melankolis. Kemiskinan seolah-olah bukan persoalan pokok oleh istri yang disia-siakan oleh suaminya, namun ia punya solusi untuk mempertahankan hidupnya, dengan menjual ginjalnya.

Dalam cerpen ini, perempuan tidak digambarkan sebagai sosok yang mempertimbangkan ini-itu, namun memiliki penyelesaian konkret. Keputusan menjual ginjal tersebut ia eksekusi tidak beda dengan ketika ia menjual perabotan rumah.

Lihat juga cerpen Ba(o)rok. Dalam cerpen ini perempuan yang menjadi korban perkosaan seakan menjadi sosok yang tidak berharga di mata calon suaminya. Seakan sang calon suami adalah seseorang yang paling suci hingga memiliki hak untuk meninggalkan perempuan yang akan dinikahinya.

Tokoh Barok dalam cerpen Ba(o)rok, si pemerkosa, mencoba menghindar dari tanggung jawab. Anak hasil pemerkosaan itu mendesak sang ibu untuk meminta pertanggungjawaban dari sang ayah biologis. Namun sang ibu menolak. Si anak berinisiatif mencari Barok. Namun di ujung cerita, si anaklah yang tidur bersama Barok.

Hal lain yang unik dari cerpen-cerpen Mona adalah kejutan-kejutan yang ia sampaikan di belakang cerita. Awal cerita yang lambat karena memang tidak langsung menuju inti persolan, diakhiri dengan kejutan yang mengguncangkan.

Sebut saja pada cerpen Wajah Terakhir. Pada cerpen ini at, tokoh Maria--korban pemerkosaan etnis minoritas--berkesempatan menjadi penerjemah seorang pasien kanker stadium empat. Maria tahu, pasien itu adalah ayah dari lelaki yang pernah memerkosanya.

Awalnya pembaca akan menduga kesediaan Maria untuk menolong pasien itu karena alasan-alasan kemanusian. Namun sebenarnya ia ingin mempercepat kematian sang pasien.

Kelebihan lain dari cerpen-cerpen Mona ialah penggambaran yang detil lewat pemilihan diksi yang begitu selektif. Ini membuat pembaca benar-benar terlibat dalam situasi-situasi yang digambarkannya.***


Minggu, 07 Agustus 2011

Suara Kritis dari Twitter



Judul : Percikan (Kumpulan Twitter @gm_gm)

Penulis : Goenawan Mohamad

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tahun : 2011

Tebal : ix + 320

Harga : Rp. 65.000

Dunia virtual merupakan media alternatif yang demokratis. Artinya, ia hadir dengan terlepasnya pakem-pakem seperti yang melekat pada media tradisional seperti surat kabar maupun televisi.

Dengan begitu, setiap individu yang memiliki akses ke jaringan internet, dapat menjadikannya medium komunikasi. Setiap hal dapat dikomunikasikan secara bebas, mulai dari ide, gagasan, opini, sindiran ataupun kecaman.

Twitter, sebagai media sosial di dunia virtual, memiliki karakter yang sama. Tidak mengherankan jika Twitter terpilih juga sebagai medium komunikasi. Twitter tak hanya terbuka, melainkan resisten terhadap intervensi.

Tidak salah jika Goenawan Mohammad memilih Twitter untuk melemparkan pecahan gagasannya. Ia seakan dapat melihat bahwa media ini punya kekuatan tersendiri, apalagi akunnya memiliki puluhan ribu pengikut (followers).

Kumpulan celetukhan--demikian Goenawan mengistilahkannya--merupakan tweet Goenawan yang dimulai pada akhir tahun 2009. Hingga Agustus 2011 jumlah tweet yang ia sampaikan hampir mendekati 18.000 buah.

Keseluruhan tweet ini dikumpulkan menjadi beberapa kategori. Kategori tersebut antara lain media dan informasi, politik dan demokrasi, ekonomi dan konsumerisme, bangsa dan negara, hingga tokoh dan sejarah.

Adalah usaha yang pantas untuk dihargai untuk mengumpulkan tweet Goenawan dalam sebuah antologi. Pasalnya, memang banyak ide, pernyataan ataupun pemikiran yang layak didokumentasikan.

Semua itu disampaikan secara beragam oleh Goenawan, ada yang bernada pedas, penuh sindiran, bahkan humor. Ini yang membuat kumpulan tweet ini lebih bercitarasa, ringan, namun tetap perlu dikulum agar "manisnya" terasa.

Meskipun demikian, Goenawan tetap kritis. Sesuatu yang busuk akan tetap ia katakan busuk. Ia bahkan tidak segan untuk keras menunjuk "orang-orang di Senayan" sebagai hipokritan yang rakus kekuasaan dan doyan fulus.

Kategorisasi ini menjadi cara yang pas untuk memahami satu per satu tweet Goenawan. Pasalnya, jika tweet ini dibaca secara terpisah dalam medium yang berbeda-beda, maka tweet ini menjadi "tidak" berbunyi apa-apa.

Hal yang kurang dari buku ini adalah tidak adaanya latar belakang dari tweet yang ditulis oleh Goenawan. Padahal latar hal ini akan mengembalikan ingatan seseorang pada peristiwa yang dimaksud oleh Goenawan.

Pembaca mutakhir mungkin dapat memahami tweet Goenawan. Namun jika buku ini kelak dibaca oleh mereka yang saat ini masih berusia belasan tahun, barangkali apa yang disampaikan oleh Goenawan tak lagi punya makna.

Lihat saja tweet Goenawan pada halaman 132 tentang "cicak dan buaya". Bayangkan, pada saat itu makna "cicak" dan "buaya" mungkin sudah tidak lagi sama dengan saat ini.

Atau tweet mengenai Nurdin Halid yang disindir akan membuat pakaian ala pemimpin Libya M Khadafi. Tweets ini tidak akan punya makna jika pembaca tidak paham sejarah Libya.

Tetapi tweet memang sebuah celetukhan spontan yang dapat ditulis dari manapun dan dalam kondisi apapun. Tweet bukanlah sebuah esai yang ditulis dengan persiapan, referensi atau bahan khusus.

Namun, paling tidak, kekritisan Goenawan mengingatkan kepada pembaca bahwa negeri ini masih berjubel dengan masalah yang nyata-nyata menuntut penyelesaian.***




Senin, 01 Agustus 2011

Catatan dari Asia Tengah



Judul : Garis Batas

Penyusun : Agustinus Wibowo

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Terbit : I, 2011

Halaman : xiii + 510 Halaman

Harga : Rp. 95.000

Misteri yang menutupi wilayah Asia Tengah bagai terkuak. Tirai kehidupan masyarakat yang minim diterpa kamera media, kini tersobek. Sekarang jelas terlihat bagaimana nasib penduduk negeri-negeri yang pernah tergabung dalam Uni Sovyet itu.

Perjalanan Agustinus Wibowo ke negeri-negeri di Asia Tengah melewati darat mengantarkan pembaca untuk mengalami langsung suasana ataupun atmosfer di wilayah itu. Pembaca pun akan dikejutkan dengan berbagai fakta yang mungkin tidak pernah diduga sebelumnya.

Apa yang dipaparkan oleh penulis dalam buku ini bukanlah feature perjalanan wisata yang kring, namun sebuah laporan mendalam tentang masyarakat dan kulturnya. Mungkin dapat dikatakan setengah tulisan sosiologi dan antropologi meski tanpa pelibatan teori-teori yang ketat.

Pada perjalanannya ke Tajikistan, misalnya, berkali-kali Agustinus menuliskan peran Uni Sovyet ketika menduduki negeri itu. Uni Sovyet tidak hanya memudarkan identitas bangsa, melainkan juga telah berhasil memengaruhi kebiasaan-kebiasaan yang berkaitan dengan nilai dan aktivitas relijius.

Tak hanya itu, buku ini juga memberikan banyak segi maupun perspektif berkaitan dengan masalah-masalah di negeri di Asia Tengah. Hal ini membuat pembaca dapat melihat persoalan-persoalan yang ada secara menyeluruh, baik dari sisi geoekonomi, geoplitik, sampai sosiohistoris.

Meskipun demikian, buku ini tidak serta-merta menjadi sebuah kajian yang kelewat kaku. Sebaliknya penyampaian fakta-fakta itu dilakukan secara cair, segar dan enak untuk diikuti.

Ada beberapa persoalan di sebuah negara mendapat perhatian khusus. Hal ini bukan karena Agustinus moemang tertarik kepada masalahnya, namun juga karena persoalan yang ia maksud menyangkut hal mendasar seperti diskriminasi.

Lihat saja paparan Agustinus ketika ia tiba di Bishkek, ibukota Kirgiztan. Di sini Ia tidak hanya bicara mengenai sebuah kuali adukan atau pertemuan antar bangsa, namun juga menyoal ketidakadilan bagi kaum minoritas.

Dari kota ini Agustinus bercerita mengenai diskriminasi di tingkat birokrasi terhadap kaum Dungan, suku pendatang dari Cina. Suku ini acap kali diperlakukan secara tidak adil. Suku maupun kebangsaan menjadi sekat atau garis batas yang membedakan. Ini mengingatkan kita kepada perlakuan terhadap etnis yang sama di Indonesia di masa lalu.

Apa yang disampaikan oleh Agustinus dalam buku ini memang penuh warna. Kelebihan inilah yang membuat pembaca seakan sedang mengikuti kisah-kisah petualangan. Sebut saja tak jauh berbeda debgab membaca novel-novel yang ditulis oleh Karl May seperti Winnetou atau Dan Damai di Bumi. Bedanya, apa yang ditulis oleh Agustinus merupakan fakta yang dialami sendiri di lapangan.

Pertemuannya dengan sejumlah warga yang ia temui dalam perjalanan, juga membawa pembaca ke banyak sudut persoalan.Cara ini membuat wajah negeri-negri di Asia Tengah itu tampil secara "telanjang", tenpa bedak, alias jujur.

Tidak mengherankan jika kisah-kisah mengenai kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, penyelewengan kekuasaan, dan birokrat korup, kerap tampil lewat buku ini. Inilah yang membuat buku ini dapat dijadikan sebagai sebuah literatur sekaligus laporan mengenai Asia Tengah yang menarik untuk dibaca.***