Kamis, 21 Juli 2011

Pram Angkat Bicara



Judul : Pram Melawan!

Penyusun : P Hasudungan Sirait dkk

Penerbit : Nalar

Terbit : I, 2011

Halaman : xxxviii + 502 Halaman

Harga : Rp. 135.000

Pramoedya Ananta Toer memang kontroversial hingga akhir hayatnya. Tidak banyak literatur yang mengungkapkan pemikian sastrawan yang dicap sebagai "kiri" itu secara komprehensif.

Hal itu membuat sosok Pramoedya sulit ditangkap secara utuh. Kecurigaan serta stigma yang melekat padanya, semakin membuat tokoh yang diwacanakan sebagai penerima hadiah Nobel untuk bidang sastra itu, terlupakan.

Padahal menjelang akhir hayatnya, sejumah karyanya mengalami cetak ulang. Di sejumlah forum, karyanya tidak pernah sepi dibicarakan dan diapresiasi. Bahkan tidak sedikit remaja mulai tergila-gila dengan karya Pramodya.

Oleh sebab itu, terbitnya Pram Melawan!, merupakan sebuah titik pijakan baru yang dapat mengantarkan para peminat karya Pram--demikian panggilan pendek Pramoedya--, pemerhati sejarah, maupun peneliti sastra menuju pemahaman semesta Pramoedya secara lebih lengkap.

Buku ini merupakan kumpulan sejumlah wawancara yang dilakukan oleh penyusunnya dengan Pram. Topiknya beragam, dari soal politik, sastra, kebudayaan, keluarga, sosial hingga pengalaman pribadinya ketika dibuang ke pulau Buru.

Dari sinilah pembaca dapat melihat banyak sisi lain dari Pram. Ia seakan ingin orang mengetahui duduk persoalan masa lalunya secara jernih terkait dengan kekuasaan. Ia juga ingin meluruskan siapa yang sebenanya layak disebut sebagai orang yang merampas kebebasan orang lain.

Sementara itu, untuk pihak-pihak yang berseberangan dengannya di masa lalu, Pram seakan ingin mereka melihat alasan-alasan mengapa lelaki pendukung Soekarno itu melakukan sesuatu yang dianggap keliru.

Salah satu pertanyaan yang sering mengusik tentang Pram adalah, apakah ia seorang anggota Partai Komunis Indonesia ketika itu? Ia menjawab, anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) tidak otomatis menjadi anggota PKI.

Bagi Pram, Lekra adalah kiri. Namun, kiri tidak berarti komunis. Kiri adalah orang yang tertindas dan tersingkirkan. Golongan seperti inilah yang harus dibela. Merekalah yang harus dimanusiakan. Jadi, keliru jika golongan ini yang harus diperlakukan tidak adil.

Itu juga yang menjadi roh dalam realisme sosial di dalam sastra. Mereka yang tertindas harus dibebaskan, diberi kesadaran. Jadi, realisme sosial akan tetap relevan hingga kapan pun selama rakyat yang tertindas masih ada.

Hal menarik lain yang diungkapkan oleh Pram adalah permusuhan Lekra dengan Manikebu. Menurut pengakuannya, Pram memang melawan orang-orang golongan Manikebu. Alasannya, ia hanya berusaha mencegah demokrasi liberal ala Barat dan melawan orang-orang yang anti terhadap Soekarno.

Menariknya, dalam wawancara yang dilakukan, Pram selalu berbicara terbuka, tanpa tedeng aling-aling. Seluruh gelora emosi, kekesalan, serta kekecewaannya, tertumpah tanpa beban dalam buku ini.

Buku ini bagaikan sebuah medium bagi Pram untuk menunjukkan realitas dirinya. Sebuah realitas yang berkorespondensi dengan berbagai gejala yang ada di sekitarnya. Realitas ini bagi Pram bukan hanya sesuatu yang hadir dari bawah alam sadar, namun juga sesuatu yang terinternalisasi dari lingkungan.

Kita tungu saja apakah akan ada yang menjawab isi buku ini. Jika pun ada, semoga itu diletakkan dalam keranga sejarah kebudayaan dan kesenian, bukan politik yang tidak berujung.***



Selasa, 12 Juli 2011

Keluasan Pemikiran Gus Dur


Judul : Sekadar Mendahului

Penulis : Abdurrahman Wahid

Penerbit : Nuansa

Terbit : I, 2011

Halaman : 343 Halaman

Harga : Rp. 55.000


Pemikiran Abdurrahmad Wahid selalu aktual. Meskipun dilontarkan lebih dari dua dekade lalu, gagasannya selalu dapat menjawab--sedikitnya relevan--dengan pesoalan-persoalan utama umat Islam, kebangsaaan maupun nasionalisme dalam bingkai kekinian.

Hal ini memperlihatkan bahwa Gus Dur adalah nasionalis yang sanggup melihat ke depan. Ia tidak menawarkan jawaban dari sebuah persoalan dalam jangka pendek, namun memilki spektrum yang melompat ke depan. Artinya, ada gagasan fundamental yang terkandung di salamnya.

Kumpulan tulisan Sekadar Mendahului ini, merupakan kumpulan kata pengantar yang ditulis oleh Gus Dur untuk sejumah buku. Tidak hanya buku-buku beragam Islam dan ke-Islaman, melainkan juga buku-buku dari bidang lain seperti politik, kebudayaan, hingga biografi.

Dipilihnya Gus Dus untuk memberikan pengantar pada buku-buku tersebut dapat dipastikan dengan satu asalan bahwa tokoh pluralisme ini memang memiliki wawasan serta pemahaman yang luas tentang berbagai bidang. Ini yang menjadikannya seorang kiai sekaligus seorang intelektual sejati.

Dalam tulisan-tulisannya, Gus Dur juga konsisten untuk membela orang-orang yang termarjinalisasi secara sitematis. Baginya, orang-orang seperti inilah yang seharusnya dibela dan diberi kesempatan yang sama untuk berbagai akses, termasuk akses politik.

Hal ini tampak dari tulisan Gus Dur yang terkait dengan diskriminasi. Gus Dur melihat bahwa sikap diskriminasi politis secara negatif masih terjadi, terutama dengan keturuan etnis Tionghoa di Indonesia. Ia melihat, kelompok ini selalu dibedakan dan tidak diperlakukan secara adil.

Padahal, dari perspektif sejarah, Gus Dur melihat bangsa Indonesia sudah lama menerima pluralitas etnis dan budaya. Hal inilah yang harus dibina agar kedamaian antar umat maupun golongan di bumi Nusantara ini dapat dicapai.

Sementara itu, dalam pemikian agama, Gus Dur selalu menekankan pentingnya nilai-nilai Islam yang membebaskan dan mendamaikan. Lihat saja tulisan pengantar untuk buku buku Menjadi Islam Liberal yang ditulis oleh Ulil Abshar-Abdalla.

Menurut Gus Dur gagasan Ulil yang ditentang oleh banyak tokoh Islam seharusnya direspon secara baik. Sebab pada dasarnya Ulil ingin adanya kebebasan berpikir dalam Islam sebagai syarat meluasnya cakrawala ke-Islaman untuk menjawab persoalan-pesoalan jaman. Namun gagasan ini banyak ditentang.

Benang merah pemikiran ke-Isalaman Gus Dur dalam buku ini adalah penolakannya terhadap formalisasi dan ideologisasi. Ia menekankan pentingnya kulturalisasi untuk mengembalikan kejayaan Islam.

Bagi Gus Dur, ideologisasi Islam hanya menghadirkan tindakan atau upaya politis yang mengarah kepada penafsiran tekstual radikal terhadap teks-teks keagamaan. Inilah yang terus menggejala pada masyarakat dewasa ini.

Catatan lain untuk buku ini adalah, kumpulan tulisan Gus Dur ini semestinya telah terbit jauh sebelum ia wafat. Buktinya Romo Mangunwijaya--yang wafat beberapa tahun sebelumnya--telah menyaiapkan kata pengantar untuk kumpulan tulisan ini. Ini menunjukkan bahwa buku ini sudah disiapkan lama.

Persahabatannya dengan rohaniawan Katolik tersebut menunjukan bahwa Gus Dur adalah tokoh yang lebih banyak diterima oleh berbagai golongan di negeri ini. Tokoh sepeti inilah yang selalu dinantikan.***