Judul : A Magic Gecko
Penulis : Horst Henry Geerken
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Terbit : I, Februari 2011
Tebal : 407 halaman
Harga : Rp. 86.000
Pengalaman menginjakkan kaki di negeri-negeri Timur selalu menyisakan pertanyaan bagi mereka yang terbiasa dengan alam pikiran Barat. Kosomologi, cara berpikir, gaya hidup, serta sistem nilai Timur yang berbeda dengan Barat, adalah faktor yang membuat "perjumpaan" dengan Timur terkesan selalu bertumbukan.
Padahal jika saja semua perbedaan itu dapat dikompromikan, pertemuan itu akan menjadi lebih indah. Tidak harus ada gejolak ataupun penolakan yang berarti. Sebaliknya keselarasanlah yang terjadi.
Keberhasilan itulah kira-kira telah dicapai oleh Horst Henry Geerken selama menjalankan tugasnya di Indonsia. Ia tidak hanya dapat memahami semesta pemikiran orang-orang Indonesia, namun juga menerimanya sebagai bagian budaya.
Geerken yang berkebangsaan Jerman adalah pegawai telekomunikasi Jerman yang tengah menjalankan tugasnya di Indonesia. Ia datang ke Indonesia pada tahun 1963 untuk membantu membangun jaringan telekomunikasi yang sangat dibutuhkan pada saat itu.
Kehadirannya di Indonesia menjelang kejatuhan Presiden Soekarno telah membawa Geerken ke dalam sebuah pengalaman menarik sekaligus menegangkan. Menarik karena ia menjadi saksi sebuah peristiwa sejarah Indoneisa. Menegangkan karena Geerken melihat sendiri kekacauan politik yang berakhir dengan pertumpahan darah.
Dalam buku ini Geerken menyajikan berbagai catatan tentang Indonesia dan keindonesiaan. Catatatan-catatan ini seperti sebuah upaya untuk memotret realitas masyarakat Indonesia secara umum.
Sebut saja kecenderungan masyarakat Indonesia untuk memercayai hal-hal yang bersifat suparantural, mistik dan serta tahayul. Bagi Geerken hal-hal tersebut bertolak belakang dengan rasionalitas Barat.
Namun Geerken tidak menolak hal tersebut. Malah dalam beberapa kasus ia membiarkan pembantunya melakukan praktik itu di lingkungannya. Hal ini menunjukkan bahwa Geerken tidak alergi dengan perbedaan-perbedaan yang ada.
Meskipun begitu, Geerken juga mencatat sejumlah masalah budaya yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Bagi Geerken hal itu tidak lepas dari latar belakang yang rumit. Inferioritas terhadap bangsa berkulit putih misalnya, adalah wujud keberhasilan pemerintah kolonial dalam menanamkan ketakutan yang berlebihan terhadap bangsa penjajah. Akibatnya, dalam jangka waktu panjang, orang-orang berkulit putih dianggap sebagai orang dengan derajat yang lebih tinggi.
Namun Geerken mencatat juga, sepak terjang Soekarno dalam politik internasional adalah bentuk pemberontakan dan usaha untuk lepas dari inferioritas tersebut. Soekarno yang terang-terangan melawan imperialisme Amerika Serikat dan Inggris adalah simbol perlawanan itu.
Lewat catatannya Geerken ingin menegaskan bahwa bangsa yang terjajah pun memliki potensi untuk melakukan perlawanan serta pemberontakan. Penolakan terhadap intervensi negara-negara Barat adalah sebuah pesan bahwa banyak masalah di negara berkembang tidak selalu dapat diselesaikan dengan formualsi Barat.
Tidak mengherankan apabila kemudian Soekarno dekat dengan Blok Timur. Namun inilah yang memicu kegerahan Amerika Serikat. Dari sinilah berhembus isu bahwa dinas rahasia Amerika Serikat, CIA, memiliki peran yang strategis dalam menjatuhkan Presiden Soekarno.
Bahkan ada indikasi bahwa lembaga yang sama juga berperan dalam pembasmian orang-orang yang dianggap berhaluan komunis. Mengenai hal tersebut Geerken menegaskan, bukti-bukti yang ada mengarah kepada keterlibatan Amerika Serikat.
Namun Amerika Serikat tidak mau mengakuinya. Padahal ada bukti bahwa Kedutaan Besar Amerika Serika di Jakarta memiliki daftar nama orang-orang komunis dalam tubuh militer Indonesia. Orang-orang ini kemudian disingkirkan secara sistematis (hal. 264).
Kedekatan Geerken dengan Soekarno tidak hanya menguak sejumlah aktivitas politik Soekarno, namun juga kehidupan pribadi presiden pertama Republik Indonesia tersebut. Di sinilah sisi lain Soekarno terungkap. Ia tidak hanya seorang presiden, namun juga seorang seniman dengan citarasa yang tinggi. Sebagian kecil kisah cintanya pun diungkapkan Geerken dalam buku ini.
Meskipun buku ini memiliki sub judul Peran CIA di Balik Jatuhnya Soekarno, tetapi tidak seluruh bab dalam buku ini mengulas hal tersebut. Sebagian besar isi buku ini adalah pengalaman Geerken bertemu dengan banyak orang Indonesia, baik secara kultural maupun filosofis. Dari sinilah ia mengenal "kekayaan" keindonesiaan.
Semua itu diungkapkan Geerken secara objektif, lugas, bahkan dengan sangat cair. Inilah yang membuat buku ini tidak membosankan ketika dinikmati.***
2 komentar:
Saya melihat buku ini cukup menarik dan juga sebagai pembuka mata saya tentang sejarah Indonesia yang selama ini tidak saya ketahui. Ceritanya menarik dan mengalir sehingga tidak membosankan. Namun yang saya sayangkan adalah sub Judulnya "Peran CIA di balik jatuhnya Soekarno" yang saya rasa tidak tepat karena buku ini sangat minim sekali membahas mengenai hal itu, sehingga sub judul tersebut saya anggap menyesatkan pembeli buku.
Mas Tjakrabirawa, terima kasih atas kunjungan ke blog saya. Saya setuju dengan pendapat Anda, Sub Judul "Peran CIA....." tidak sesuai dengan isi buku secara keseluruhan.
Terima kasih...
Posting Komentar