Judul : Hati Sinden
Penulis : Dwi Rahayuningnsih
Penerbit : DIVA Press
Terbit : I, Januri 2011
Tebal : 404 halaman
Harga : Rp. 50.000
Perempuan Jawa adalah wajah ketertindasan. Ia tidak memiliki posisi yang sejajar dengan laki-laki. Sebaliknya, ia menjadi korban dominasi laki-laki. Di sini ada persekongkolan kultural kekuasaan yang menguatkan posisi dan peran tradisional perempuan.
Itulah yang dihadirkan oleh Dwi Rahayuningnsih lewat novel ini. Ia menghadirkan sosok perempuan Jawa dengan problem-problem budaya yang mengungkung. Namun, demi harmoni, mereka lebih memilih untuk “berdamai” dengannya.
Sayem, tokoh sentral dalam Hati Sinden, adalah simbolisasi perempuan Jawa tersebut. Ia berasal dari keluarga miskin. Dua kali ia diceraikan oleh suaminya. Pada perceraian ke dua, alasan yang digunakan ialah Sayem tidak dapat memberikan keturunan.
Perceraian itu ternyata tidak menghancurkan mentalnya. Meskipun dukanya mendalam, Sayem berusaha untuk bangkit. Ia tidak mau tenggelam dalam kesedihan. Ia terus mencoba untuk kembali menata hidupnya.
Ketertarikan Sayem kepada syair-syair Jawa klasik mendorongnya untuk menjadi sinden. Namun bukan uang ataupun popularitas yang dicarinya, melainkan ketenangan yang merasuk ke dalam hati saat ia melantunkan syair-syair Jawa yang penuh makna.
Sayem kemudian bergabung dengan sebuah grup karawitan. Di sini pun ia berhadapan dengan berbagai masalah, mulai dari perseteruan dengan sinden lain, hingga keinginan Priyo, pemimpin grup karawitan tempat ia bergabung, untuk menikahinya.
Hubungan Sayem dengan Priyo mengantarkan Sayem kepada pernikahannya yang ke tiga. Tetapi badai lagi-lagi melanda. Priyo tidak hanya ketahuan sebagai pria yang telah memiliki istri, namun juga terbongkar sebagai lelaki yang tergila-gila kepada perempuan lain.
Sayem akhirnya pasrah. Ia tidak bercerai dengan Priyo namun memutuskan untuk hidup berpisah dengan suaminya itu. Tanpa banyak bantuan dari Priyo, Sayem berusaha untuk membesarkan anak-anaknya.
Di titik inilah tampak Sayem tampil sebagai perempuan Jawa yang memiliki kekuatan. Meskipun ia berada dalam posisi yang terkalahkan, namun ia tidak melakukan pemberontakan dengan melawan kekuasaan. Sebaliknya, Sayem mencoba “bermain” dalam lingkar kekuasaan Priyo sehingga berhasil mengantarkan anak-anaknya ke dalam kehidupan yang lebih baik.
Lewat peran-peran dan nilai-nilai tradisional, Sayem berhasil menjadi pribadi yang kuat dan mengalahkan realitas dalam wilayah subordinasi yang mengepungnya. Seperti yang diungkapkan oleh Sayem sendiri bahwa hidup adalah kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan peran yang dijalankan (hal. 388).
Novel ini seperti mengingatkan bahwa perempuan Jawa yang secara stereotip berada di bawah bayang-bayang kuasa dunia matriarki, memiliki potensi untuk menggeser hegemoni. Ia seakan mendekonstruksi struktur tanpa harus merevolusi konsepsi budaya yang telah mapan.
Kritik terhadap novel ini ialah, hingga separuh buku masih belum tampak dunia sinden seperti yang “dijanjikan” lewat judul. Jika saja Sayem dan dunia kesindenannya dikisahkan lebih awal, maka akan semakin banyak seluk-beluk dunia sinden yang menarik yang dapat disampaikan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar