Judul : Antara Jimbaran dan Lovina
Penulis : Sunaryono Basuki Ks
Penerbit : Cakra Press, Denpasar
Tahun : Oktober 2011
Tebal : x + 158 halaman
Harga : Rp. 35.000
Jika sastra adalah asbtraksi realitas, rasanya Antara Jimbaran dan Lovina adalah salah satu karya yang sanggup melakukan hal tersebut. Pasalnya, cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen ini berhasil menguak sebagian realitas masyarakat Bali kontemporer.
Dalam kumpulan cerpen ini, Sunaryono Basuki Ks, mencoba untuk mengidentifikasi dan merepresentasikan kompleksitas dan problem kultural masyarakat Bali. Pergeseran nilai dan krisis identitas, adalah tema-tema yang acap kali diangkat dalam cerpen-cerpen dalam antologi ini.
Dalam konteks Bali, masalah-masalah ini menjadi menarik. Hal ini disebabkan Bali sebagai salah satu tujuan wisata favorit, terbuka untuk hadirnya masalah-masalah tersebut. Perjumpaan dengan berbagai budaya, yang dibawa oleh wisatawan dari berbagai penjuru dunia, memungkinkan terjadinya benturan kultural dalam masyarakat.
Dalam sejumlah cerpen, hubungan seks yang dianggap tabu bagi pasangan belum menikah serta perselingkuhan misalnya, digambarkan telah menjadi hal yang lumrah terjadi di kalangan anak muda. Hal ini menjadi sebuah paradoks ketika masyarakat Bali dikenal sebagai masyarakat yang taat menjalankan ritus agama.
Sunaryono memang tidak menuliskan hal tersebut dengan nuansa gugatan atau protes. Ia juga tidak menggurui sehingga terkesan menjadi polisi moral. Namun, penggambaran ini menunjukkan adanya kegelisahan terhadap fenomena tersebut. Wajah masyarakat Bali yang sederhana dan taat beragama, seakan tergantikan dengan lukisan muram moralitas.
Cerpen-cerpen ini seakan mempertanyakan, apakah Bali memang telah mengalami perubahan. Jika jawabannya “ya”, tentu ini sebuah harga yang mahal yang harus dibayar untuk komodifikasi budaya yang sedang terjadi di Pulau Dewata itu.
Selain itu, benturan nilai budaya lokal dengan rasionalitas, tergambar pula dalam sejumlah cerpen dalam kumpulan ini. Sebut saja cerpen Gung Ayu Ariani. Dalam cerpen ini digambarkan seorang perempuan bernama Gung Ayu Ariani yang berani melawan tradisi sehingga disisihkan dari kehidupan bangsawan Bali.
Dalam cerpen tersebut digambarkan secara jelas sebuah perlawanan terhadap konservatisme dan feodalisme. Perlawanan ini bukan perkara mudah. Kerasnya adat membuat Ayu Ariani benar-benar tidak mendapat tempat dalam keluarga besarnya. Alhasil ia berjalan sendirian dengan keyakinan atas apa yang telah ditempuhnya.
Menyimak cerpen ini, pembaca seperti diajak untuk merenungkan kembali, apakah adat harus dipertahankan meskipun di satu sisi terjadi dehumanisasi. Ataukah harus dilakukan reinterpretasi agar tradisi tetap kontekstual?
Kumpulan cerpen ini semakin kaya dengan hadirnya tema-tema spiritual seperti reinkarnasi serta moksa. Ini terlihat dalam cerpen Dadong, Respati Telah Mati, Rajah, ataupun Sebuah Pura di Air Terjun Gigit.
Dalam cerpen-cerpen tersebut seakan diprlihatkan adanya dimensi metafisika yang misterius. Kemisteriusan ini yang mendorong manusia untuk merenungkan kembali adanya kehidupan lain setelah kematian. Bahkan Sunaryono seperti ingin menyadarkan pembaca bahwa hakikat kehidupan di dunia adalah misteri.***
1 komentar:
Wahh bagus2 bukunya.
kunjung balik ya...
www.berkahmuslim.com
Posting Komentar