Judul : Garis Batas
Penyusun : Agustinus Wibowo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : I, 2011
Halaman : xiii + 510 Halaman
Harga : Rp. 95.000
Misteri yang menutupi wilayah Asia Tengah bagai terkuak. Tirai kehidupan masyarakat yang minim diterpa kamera media, kini tersobek. Sekarang jelas terlihat bagaimana nasib penduduk negeri-negeri yang pernah tergabung dalam Uni Sovyet itu.
Perjalanan Agustinus Wibowo ke negeri-negeri di Asia Tengah melewati darat mengantarkan pembaca untuk mengalami langsung suasana ataupun atmosfer di wilayah itu. Pembaca pun akan dikejutkan dengan berbagai fakta yang mungkin tidak pernah diduga sebelumnya.
Apa yang dipaparkan oleh penulis dalam buku ini bukanlah feature perjalanan wisata yang kring, namun sebuah laporan mendalam tentang masyarakat dan kulturnya. Mungkin dapat dikatakan setengah tulisan sosiologi dan antropologi meski tanpa pelibatan teori-teori yang ketat.
Pada perjalanannya ke Tajikistan, misalnya, berkali-kali Agustinus menuliskan peran Uni Sovyet ketika menduduki negeri itu. Uni Sovyet tidak hanya memudarkan identitas bangsa, melainkan juga telah berhasil memengaruhi kebiasaan-kebiasaan yang berkaitan dengan nilai dan aktivitas relijius.
Tak hanya itu, buku ini juga memberikan banyak segi maupun perspektif berkaitan dengan masalah-masalah di negeri di Asia Tengah. Hal ini membuat pembaca dapat melihat persoalan-persoalan yang ada secara menyeluruh, baik dari sisi geoekonomi, geoplitik, sampai sosiohistoris.
Meskipun demikian, buku ini tidak serta-merta menjadi sebuah kajian yang kelewat kaku. Sebaliknya penyampaian fakta-fakta itu dilakukan secara cair, segar dan enak untuk diikuti.
Ada beberapa persoalan di sebuah negara mendapat perhatian khusus. Hal ini bukan karena Agustinus moemang tertarik kepada masalahnya, namun juga karena persoalan yang ia maksud menyangkut hal mendasar seperti diskriminasi.
Lihat saja paparan Agustinus ketika ia tiba di Bishkek, ibukota Kirgiztan. Di sini Ia tidak hanya bicara mengenai sebuah kuali adukan atau pertemuan antar bangsa, namun juga menyoal ketidakadilan bagi kaum minoritas.
Dari kota ini Agustinus bercerita mengenai diskriminasi di tingkat birokrasi terhadap kaum Dungan, suku pendatang dari Cina. Suku ini acap kali diperlakukan secara tidak adil. Suku maupun kebangsaan menjadi sekat atau garis batas yang membedakan. Ini mengingatkan kita kepada perlakuan terhadap etnis yang sama di Indonesia di masa lalu.
Apa yang disampaikan oleh Agustinus dalam buku ini memang penuh warna. Kelebihan inilah yang membuat pembaca seakan sedang mengikuti kisah-kisah petualangan. Sebut saja tak jauh berbeda debgab membaca novel-novel yang ditulis oleh Karl May seperti Winnetou atau Dan Damai di Bumi. Bedanya, apa yang ditulis oleh Agustinus merupakan fakta yang dialami sendiri di lapangan.
Pertemuannya dengan sejumlah warga yang ia temui dalam perjalanan, juga membawa pembaca ke banyak sudut persoalan.Cara ini membuat wajah negeri-negri di Asia Tengah itu tampil secara "telanjang", tenpa bedak, alias jujur.
Tidak mengherankan jika kisah-kisah mengenai kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, penyelewengan kekuasaan, dan birokrat korup, kerap tampil lewat buku ini. Inilah yang membuat buku ini dapat dijadikan sebagai sebuah literatur sekaligus laporan mengenai Asia Tengah yang menarik untuk dibaca.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar