Di Jakarta berbagai hal dapat terjadi, mulai dari hal yang masuk akal, sampai hal-hal yang membalik-balikan logika. Hal inilah yang kemudian menjadi ciri manusia Jakarta atau yang dalam buku ini diistilahkan sebagai Homo Jakartensis.
Secara umum manusia Jakarta memang tidak beda dengan manusia yang hidup di kota-kota lain. Jika manusia Jakarta minum kopi, manusia di Wonosari juga tidak sedikit yang gemar ngopi. Jika manusia Jakarta mandi memakai sabun, toh manusia di Ciranjang pun mandi memakai sabun.
Namun yang membedakan manusia Jakarta dengan manusia di kota lain adalah cara dalam memaknai kegiatan fungsional tadi, ngopi misalnya. Bagi manusia Jakarta, minum kopi tidak sekadar menyeruput minuman berwarna hitam kecoklatan itu, tetapi di sana juga terdapat selera, cara memilih dan jugasoal citra
Salah satu contoh yang dikedepankan oleh Seno untuk menandai fenomena ini adalah hal makan. Makan bukan sekadar makan enak sesuai selera dan sekaligus mengenyangkan, tetapi juga memiliki makna simbolik. Makan di warung tenda yang menyajikan masakan Sunda, jelas berbeda dengan makan di restoran Dapur Sunda yang ber-AC dengan pelayan-pelayan yang ramah.
Akibatnya, kalau mau pamer, mengajak seluruh keluarga untuk pesta makan, siapkanlah uang sebanyak-banyaknya. Tetapi, kalau ingin makan dengan selera sendiri, meskipun masih memakai dasi, berpanas-panas di warung tenda pun jadi.
Kemudian soal mobil. Mobil ternyata tidak melulu alat transportasi, namun juga merupakan prestise, sebuah identitas bagi pemiliknya. Kehormatan pun diterjemahkan pada simbol mobil tersebut. Tidak heran jika bemper mobil tersebut lecet atau penyok karena terserempet, maka seakan-akan ikut lecet dan penyok pula harga diri dan kehormatan pemiliknya.
Padahal itulah fungsi bemper, yakni untuk menahan agar benturan dari mobil lain tidak langsung mengenai body mobil. Bukankah sebaiknya bemper yang penyok dari pada body mobil yang penyok.
Dari beberapa contoh peristiwa di atas tampak bagaimana citra, nilai dan gaya menjadi hal yang penting bagi manusia Jakarta. Uniknya proses ini terus menerus berputar selama manusia Jakarta itu ada. Dengan citra dan gaya inilah berbagai persoalan dapat diselesaikan dengan mudah.
Dalam dunia bisnis misalnya, memperlihatan citra bonifide perusahaan menjadi elemen yang sangat penting. Tidak heran jika sebuah kantor dengan sengaja membeli lukisan berharga ratusan juta rupiah untuk dipasang di lobby kantor agar timbul kesan direktur perusahan tersebut adalah orang yang tahu banyak soal seni.
Di dalam buku ini Seno memang seolah ingin menelanjangi manusia-manusia Jakarta. Ia seperti ingin menunjukkan di balik penampilan manusia Jakarta yang bekesan megah, mewah, dan gemerlap justru terdapat kekacauan, keanehan, dan disoreintasi yang kronis.
Kumpulan kolom ini adalah mengenai absurditas manusia Jakarta. Apakah absurditas ini adalah sesuatu yang salah atau keliru? Seno tidak secara terang-terangan mengatakannya, namun paling tidak ia mengajak pembaca untuk melihat sebuah gejala sosiologis yang terjadi pada manusia Jakarta.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar