Kumpulan resensi buku berbahasa Indonesia, baik yang sudah maupun belum dimuat di media massa cetak. Beragam resensi buku ada di sini, sastra, kebudayaan, politik, filsafat, sosiologi dan sebagainya. Semua resensi ditulis oleh pemilik blog ini.
Minggu, 21 Maret 2010
Kemanusiaan dan Kebermaknaan dalam Obituari
Judul : Mengenang Hidup orang Lain, Sejumlah Obituari
Penulis : Ajip Rosidi
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Januari 2010
Halaman : vii + 489 Halaman
Membaca obituari selalu membawa seseorang kepada dua konsekuensi. Pertama, mengingat kembali jasa-jasa, kebaikan, ide-ide, bahkan kekurangan tokoh yang telah tiada. Kedua, mengingatkan bahwa manusia tidak abadi, ada saatnya ia harus berpulang ke alam baka.
Paling tidak, itulah yang dapat ditangkap dari kumpulan obituari yang ditulis oleh Ajip Rosidi ini. Dalam setiap obituari yang ditulisnya, Ajip secara lugas mengisahkan kelebihan-kelebihan dari tokoh-tokoh yang sedang dibicarakannya. Ia seperti ingin memperlihatkan bahwa tokoh-tokoh itu memang layak untuk dikenang, dihormati dan dihargai. Paling tidak, di mata Ajip, mereka bukanlah orang biasa, tetapi orang-orang yang mempunyai visi, integritas, berkepribdian, konsisten, serta setia terhadap idealisme.
Penghargaan Ajip terhadap tokoh yang ia kisahkan bukanlah sekadar asal sebut, tetapi didasarkan atas pengalaman pribadinya dengan tokoh bersangkutan. Hal ini terlihat dari cerita Ajip yang menyatakan bahwa ia kerap berkorespondensi, bergaul akrab bahkan berpolemik dengan mereka. Ini terjadi baik ketika Ajip masih mengajar di Jepang maupun ketika ia berada di Indonesia.
Inilah yang membuat obituari tokoh-tokoh dalam buku ini menjadi lebih kaya dan bernas. Ajip tidak hanya mengisahkan secara umum ketokohan mereka, tetapi juga menyampaikan hal-hal kecil yang bersifat human intersest dari para tokoh tersebut yang mungkin tidak diketahui secara umum.
Sebut saja ketika Ajip mengisahkan Suhamir, seorang arsitek dan ahli purbakala asal Bandung. Dalam tulisannya Ajip mengatakan bahwa tokoh ini adalah arsitek Taman Makam Pahlawan Cikutra di Bandung. Ironisnya, tidak banyak masyarakat Kota Kembang itu yang mengenal Suhamir. Padahal jasanya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Bandung. Menurut Ajip, Suhamir ikut pula merestorasi Candi Prambanan.
Catatan menarik dari Ajip mengenai Suhamir adalah, ia salah satu orang turut merencanakan pembuatan kampus Universitas Gadjah Mada (hal.254) yang honorariumnya dari pemerintah Republik Indonesia belum dibayarkan, setidak hingga tulisan tersebut dibuat pada tahun 1967.
Menurut Ajip, alasan Suhamir tidak mau menerima bayaran tersebut karena sejumlah petugas yang tidak malu-malu meminta komisi jika honorarium tersebut dicairkan. Dengan alasan tidak mau ikut-ikutan “bermain kotor”, Suhamir akhirnya memilih untuk tidak mengambil uang yang kala itu jumlahnya sangat besar.
Keluasan pergaulan Ajip dengan orang-orang yang berpengaruh dan disegani dari berbagai kalangan, juga ikut membuat obituari yang ditulisnya semakin berwarna. Apalagi ia sanggup merangkai kisah dari tokoh yang ditulisnya dengan tokoh-tokoh lain sehingga obituari yang ditulisnya sanggup mengajak pembaca melihat dan menelusuri ketokohan seseorang dengan lebih luas.
Inilah yang membuat sebuah obituari tidak melulu menjadi sebuah kisah yang bersifat individual, tetapi juga menjadi sebuah kenangan tentang banyak orang. Dengan begitu obituari menjadi lebih hidup dan sarat makna karena di dalamnya terdapat kisah interaksi antara manusia yang mencirikan kemanusiaan itu sendiri. Obituari seperti ini tidak hanya inspiratif tetapi juga menyadarkan arti kemanusiaan siapa saja yang membacanya.
Meksipun obituari yang ditulis oleh Ajip dalam buku lebih bersifat penghormatan, namun Ajip tidak segan untuk melakukan kritik terhadap tokoh yang ditulisnya. Ajip seperti tidak memiliki beban untuk melulu mengatakan hal yang manis terkait dengan seorang tokoh. Sebaliknya, dengan lugas Ajip menyampaikan kritiknya terhadap seorang tokoh.
Lihat saja ketika Ajip menulis obituari Pramoedya Ananta Toer. Dalam tulisannya Ajip tidak hanya menyayangkan Pramoedya yang tidak kunjung memperoleh penghargaan Nobel kendatipun sudah dicalonkan sebagai penerimanya, namun juga ia mengritik aksi Pramoedya yang menguliti seniman penandatangan Manifesto Kebudayaan lewat ruang Lentera dari surat kabar Bintang Timur.
Seniman lain yang juga terkena kritik oleh Ajip adalah Dodong Djiwapradja. Penyair Sunda yang pernah dianggap memiliki haluan politik yang kekiri-kirian. Bagi Ajip, di satu sisi Dodong bukanlah sastrawan yang produktif. Malah ia dikatakan sebagai penulis yang tidak punya motivasi untuk menulis sehingga ilmunya tidak dapat diamalkan saecara maksimal. Padahal Ajip berulang kali mencoba memotivasinya untuk menulis. Kritik ini tentu saja bukan bentuk ketidaksukaan Ajip kepada Dodong, tetapi cerminan Ajip yang menyayangkan kemampuan dan potensi dari sahabatnya itu.
Pada tulisan lain, Ajip juga tidak segan mengritik Prof.Dr. Fuad Hassan yang ketika menjadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan memecat dengan tidak hormat Riyono Pratikto dari Universitas Padjadjaran, Bandung, karena dituduh terlibat Gestapu. Dalam tulisan tersebut, dengan sedikit sinis, Ajip mengritik bagaimana mungkin Fuad Hassan yang katanya memiliki minat yang besar terhadap sastra, kesenian, filsafat serta berkawan dengan para seniman dapat dengan mudahnya menandatangani surat pemecatan Riyono, yang juga seorang penulis produktif, tanpa melihat kembali secara baik latar belakang yang sesungguhnya (hal. 398).\
Ajip memang seorang yang lepas bila mengemukakan pendapatnya. Ia berbicara langsung apa adanya tanpa ada yang ditutup-tutupi. Ketidaksukaannya pada seseorang ataupun perilaku seseorang selalu ia tuliskan apa adanya, tanpa dilebih-lebihkan ataupun “bumbu-bumbu” lain.
Sebagai budayawan, Ajip tampaknya mempunyai perhatian khusus terhadap dunia sastra ataupun budaya. Tidak mengherankan jika dalam kumpulan obituari ini berkali-kali Ajip mempersoalkan masalah-masalah yang berkaitan dengan sastra maupun kebudayaan. Tengok saja tulisannya yang berjudul Arenawati, Sasterawan Negara (hal.414). Dalam tulisan ini secara tidak langsung ia ingin mengatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak terlalu peduli dengan dunia sastra ataupun sastrawannya.
Dalam tulisan itu Ajip memuji pemerintah Malaysia yang justru mengangkat Arenawati, sastrawan asal Indonesia, menjadi Sasterawan Negara di negeri itu. Kata Ajip, beruntung Arenawati menjadi warga negara Malaysia. Pasalnya, walaupun Arenawati berhasil menulis karya yang lebih hebat dari La Galigo, belum tentu ia mendapat penghargaan dari pemerintah Indonesia.
Pengalaman Ajip yang sangat kaya, juga membuat obituari yang ditulisnya memiliki spketrum yang meluas. Obituari yang ditulisnya tidak hanya bicara soal seseorang, tetapi juga sanggup menyentuh persoalan-persoalan lain, baik itu di bidang kebudayaan, ekonomi maupun politik. Tidak heran jika satu dua kali kita akan terhenti sejenak untuk merefleksikan tulisan Ajip (bahkan ada yang ditulis 40 tahun lalu) dan memproyeksikannya dengan kondisi riil yang ada pada masa kini. Pendek kata, obituari yang ditulis oleh Ajip berdimensi ke masa depan, dalam arti sanggup untuk memotret realitas masa lalu dan memproyeksikannya pada kekinian.
Kekurangan kecil tentang buku ini adalah, beberapa kali ditemukan sejumlah singkatan pada beberapa artikel, seperti “al.” dan “kl”, mungkin artinya “antara lain” dan “kurang lebih”. Tidak jelas apakah singkatan itu dibiarkan untuk mempertahanakan orisinalitas, atau karena memang terlewat begitu saja oleh editor.
Pertanyaan ini muncul karena banyak dari obituari dalam buku ini ditulis pada tahun 1960-an ketika penggunaan Bahasa Indonesia di surat kabar belum terlalu mendapat perhatian seperti sekarang. Singkatan tersebut sesekali membuat pembaca terhenti sejenak untuk mencoba mengartikannya. Meskipun demikian, hal itu tidak mengganggu substansi dari tulisan yang ada.
Hal yang pasti, obituari yang disampaikan oleh Ajip diformulasikan sedemikian rupa sehingga pembaca ditarik ke sebuah ujung yang mempertanyakan eksistensi dirinya di dalam dunia. Eksistensi ini boleh dikatakan bersifat paradoks. Di satu sisi eksitensi manusia diperhitungkandan diperjuangan, namun di sisi lain eksistensi seakan menjadi semu karena pada akhirnya manusia harus mati.
Namun tentu saja Ajip tidak ingin menawarakan pesimisme terhadap kehidupan. Sebaliknya, ia ingin mengajak setiap orang untuk berbuat lebih banyak agar hidupnya lebih bermakna, bagi diri sendiri maupun orang lain.***
Langganan:
Postingan (Atom)