Jumat, 29 Mei 2015

Sepeda dan Nostalgia


Judul: Simplex Nganggo Berko
Penyusun : Hermanu
Penerbit: Bentara Budaya, Yogyakarta, 2013
Tebal: 264 Halaman

Penggila sepeda onthel pasti bangga dengan koleksi sepeda yang dimilikinya. Tak jarang mereka  unjuk kegandrungan terhadap sepeda jenis ini dengan cara yang unik. Mengenakan seragam tentara tempo doloe, atau bahkan mengenakan pakaian khas pejabat Hindia Belanda masa lampau, adalah cara yang lazim dilakukan untuk menunjukkan kegemaran mereka terhadap sepeda onthel.

Sepeda onthel sendiri punya kisah yang unik. Benda ini tak sekadar alat transportasi, melainkan juga menjadi bagian dari budaya masyarakat. Salah satu buktinya adalah hadirnya syair atau gending yang berjudul Kring Kring karangan Raden Cajentus Hardjasoebrata (1905-1986) yang tinggal di Yogyakarta.

Hal-hal seperti itulah yang dapat kita temui dalam buku ini. Dapat dikatakan, buku ini merupakan salah satu upaya pendokumentasian keberadaan onthel (walaupun hanya sebagian kecil saja) di masyarakat. Dari catatan-catatan tersebut kita dapat melihat bahwa sepeda onthel menjadi salah satu ikon masyarakat masa lalu yang kini kembali dicari. Dicari kembali karena 26-40 tahun memang memiliki daya tarik yang membawa kita ke masa lalu, alias nostalgia.

Selain itu, di buku ini kita tak hanya melihat sejarah onthel, namun bagaiman onthel juga menginspirasi banyak seniman untuk menciptakan karya. Hal itu dapat kita lihat pada bab Cerita Tentang Sepeda yang berisi sejumlah cerita pendek bertema onthel.

Buku ini memang menyuguhkan kisah-kisah menarik seputar onthel. Penggemar onthel sebaiknya membaca buku ini. Sayangnya buku ini tak dijual luas, hanya dicetak sekitar 1.500 eksemplar saja. Memang, buku ini diterbitkan dalam rangka pameran onthel yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta, 2013 lalu.***

Absurditas Korea Utara



Judul: Jejak Mata Pyongyang
Penulis: Seno Gumira Adjidarma
Penerbit: Mizan Media Utama, 2015
Harga: Rp. 89.000

Buku ini merupakan catatan perjalanan Seno Gumira Adjidarma selama menjadi juri Festival Film Pyongyang ke-8 pada tahun 2002. Meskipun begitu, tak banyak catatan mengenai film yang ikut dalam festival tersebut. Apa yang Seno sampaikan dalam buku ini adalah kesan-kesan atau pun pengalaman dirinnya ketika berada di negeri komunis itu.

Sebut saja pengalaman ketika ia ditempatkan di hotel  yang berada jauh dari keramaian kota. Hotel yang hanya memiliki sedikit tamu itu berada di sebuah delta. Di delta itu Seno hanya melihat orang-orang yang tengah memancing, lain tidak. Belakangan Seno yakin, bahwa orang-orang yang tengah memancing itu adalah orang-orang yang bertugas untuk mengintai apa yang dilakukan Seno setiap kali berada di luar hotel.

Selain itu Seno juga mengisahkan bagaimana sikap orang Korea Utara ketika berhadapan dengan orang asing.  Kecenderungan orang Korea Utara yang enggan difoto, dan secara tegas memperlihatkan ketidaksukaan itu, sekali lagi memperlihatkan ketertutupan yang menjadi aroma khas di negeri itu.

Dalam pandangan Seno, tak ada kebebasan di Korea Utara, apalagi bagi seniman. Jadi, kita tak bakal melihat kritik tajam yang ditujukan kepada pemerintah oleh para seniman tersebut. Mungkin ada kebebasan bagi mereka, namun hanya kebebasan untuk memuji dan mendukung semua yang dilakukan oleh pemerintah.

Buku ini memberikan gambaran kepada kita kesuraman dan absurditas  Korea Utara.