Jumat, 20 Januari 2012

Menengok Akar Pemberontakan Bersenjata



Judul : Rakyat dan Senjata

Penulis : Imam Soedjono

Penerbit : Resist Book

Terbit : I, November 2011

Halaman : x + 352 Halaman

Harga : Rp. 52.000.

Pemberontakan bersenjata acap kali dipicu oleh ketidakpuasan rakyat yang berlangsung menahun. Ketidakadilan, perasaan tertindas, hingga diskriminasi adalah faktor-faktor yang menyulut pemberontakan tersebut.

Hal di atas biasanya diperparah oleh ketidakmampuan rejim untuk memenuhi tuntutan rakyat. Rakyat yang tidak melihat titik terang penyelesaian persoalan, akhirnya merasa harus berbuat sesuatu. Mereka akhirnya mengangkat senjata untuk melakukan perlawanan.

Lewat buku inilah akar sejumlah peristiwa pemberontakan yang terjadi di negara-negara Asia, yakni Tiongkok, Filipina dan Vietnam, dibongkar. Tidak hanya petikan sejarah, buku ini juga mencoba untuk memperlihatkan bagaimana konflik berkembang di tengah kelompok yang saling berseberangan. Kelompok tersebut misalnya saja kaum borjuis dan kaum proletar.

Seperti yang terjadi di Tiongkok. Lahirnya PKT (Partai Komunis Tiongkok) pada tahu 1921, didasari atas pertentangan kelas antara kaum buruh dengan kaum borjuis. Bahkan dalam kongres pertama PKT dideklarasikan bahwa organisasi itu harus menggulingkan kaum borjuis dengan menggunakan tentara revolusioner proletar.

Sedangkan yang terjadi di Filipina, salah satu faktor pemicu pemberontakan bersenjata adalah kekuasaan asing yang dominan, yakni kekuasaan Jepang. Hal ini tidak saja terjadi di Filipina, namun juga di sejumlah negara Asia lainnya seperti Indonesia.

Selain itu, masih di Filipina, pemberontakan rakyat juga terjadi melawan para tuan tanah. Pemberontakan ini pecah ketika kaum Sakdal yang menginginkan reformasi nasional menuntut pembagian tanah dari para tuan tanah.

Karena keinginan tersebut dianggap mengganggu, maka gerakan kaum Sakdal dinyatakan dilarang. Sebagai reaksi, terjadi pemberontakan bersenjata yang dilakukan oleh puluhan ribu petani. Namun pemberontakan tersebut berhasil diredam oleh tentara pemerintah.

Pemberontakan lain yang tercatat dari Filipina adalah pemberontakan untuk menggulingkan presiden Ferdinand Marcos pada tahun 1986. Kediktatoran Marcos yang tidak dapat ditolerir oleh berbagai elemen masyarakat, telah menyudutkan presiden itu ke jurang kehancuran.

Berbagai janji Marcos yang tidak sepenuhnya dipenuhi, serta semakin merajalelanya korupsi para pejabat, telah memperkuat sikap anti Marcos. Oposisi bermuculan dari berbagai arah. Marcos akhirnya tidak dapat menahannya lagi dan ia harus menyerahkan kekuasaannya

Buku ini mengingatkan, mencuatnya pemberontakan bersenjata tidak semata-mata terjadi demi perebutan kekuasaan. Pemberontakan, yang kadang-kdang menjadi gerakan revolusi, selalu memiliki akar historis yang panjang.

Akar historis itu adalah tidak tercapainya keadilan dari lembaga-lembaga ataupun otoritas yang seharusnya dapat memberikannya. Merosotnya kemampuan lembaga pemerintahan dalam memenuhi kebutuhan rakyat juga memperparah kondisi ini.

Oleh sebab itu, siapa pun yang tengah memegang tampuk kekuasaan sebaiknya memerhatikan hal ini. Lalai dalam memenuhi rasa keadilan rakyat, pembiaran terhadap penindasan, dan ketidakberpihakan kepada rakyat, adalah awal dari perlawanan yang dampaknya panjang.

dimuat di HU Koran Jakarta 27 januari 2012

Selasa, 10 Januari 2012

Wajah Hubungan Pers dan Kekuasaan






Judul : Cerita di Balik Dapur Tempo
Penulis : Tim Tempo
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun : Desember 2011
Tebal : 334 halaman
Harga : Rp. 65.000



Tidak pernah ada gelombang protes yang besar atas pembungkaman media, selain ketika majalah Tempo, beserta dua media lain, Editor dan Detik dilarang terbit oleh pemerintah pada tahun 1994. Kenyataan ini menujukkan bahwa Tempo telah memiliki tempat tersendiri dalam perjalanan sejarah pers Indonesia.

Namun, ada hal yang lebih penting dari pembreidelan itu sendiri, yakni gambaran pola hubungan antara pers dan pemerintah yang terjadi kala itu. Pembreidelan terhadap pers saat itu tidak hanya menjadi parameter prkatik demokrasi, malainkan juga watak kekuasaan pemerintah pada masa itu.

Dengan menyimak kisah Tempo seperti yang terekam dalam buku Cerita di Balik Dapur Tempo ini, kita dapat melihat tak hanya perjalanan sejarah majalah tersebut, melainkan juga keberadaan pers di masa Orde Baru.

Pada masa Orde Baru, hubungan pers dan pemerintah dapat dikatakan tidak terlalu harmonis. Di buku ini disebutkan bahwa majalah ini acap kali mendapatkan serangan balik dari pemerintah karena liputan investigatif yang dijalankan.

Menurut buku ini, hal yang sering dialami oleh media yang menjalani jurnalisme investigatif biasanya ancaman, teror, intimidasi, hingga pelarangan terbit. Hal ini biasanya ditujukan kepada wartawan secara pribadi, maupun kepada media tempat ia bekerja.

Sekadar mengambil contoh, pelarangan terbit majalah Tempo dilakukan setelah media ini menurunkan laporan mengenai pembelian kapal perang Asal Jerman Timur oleh pemerintah.

Kasus berikutnya adalah pelemparan bom molotov kantor redaksi setelah Tempo. Ini terjadi setelah media ini menurunkan laporan mengenai rekening milik sejumlah perwira tinggi kepolisian.

Kasus di atas ditambah dengan usaha untuk "mengalahkan" Tempo di pengadilan oleh sejumlah perusahaan besar. Perusahaan-perusahaan tersebut yang terlibat dalam skandal yang merugikan negara, misalnya skandal pajak.

Berbagai jenis tindakan represif di atas dilakukan untuk memberikan efek jera, chilling effect. Namun toh hal itu tidak serta-merta menghilangkan semangat maupun idealisme pers. Justru, kesadaran terhadap pentingnya keberadaan pers dalam masyarakat, pers mencoba untuk menghadapi "badai" seperti di atas.

Hal yang menarik dari pengalaman Tempo adalah mengenai independensi. Bagi pers, independensi menjadi hal mutlak. Independensi akan membat pers seimbang dalam menyampaikan fakta maupun kebenaran.

Dalam buku ini disampaikan kisah Tempo ketika untuk mencoba independen, yakni ketika perumahan Pantai Indah Kapuk tergenang banjir. Tempo menurunkan tulisan berjudul Janji-janji Ciputra. Karuan saja Ciputra berang. Pasalnya, selain memimpin perusahaan pengembang yang membangun perumahan tersebut, Ciputra juga komisaris perusahaan penerbit majalah Tempo.

Tetapi itulah "jalan" yang dipilih Tempo. Ia terus independen meksipun harus melawan "orangtuanya" sendiri. Jalan yang mungkin tidak mudah diambil oleh pers dalam era industri.

Buku ini memberikan gambaran bahwa pers sebaiknya konsisten dengan idelismenya. Meskipun tekanan terus datang, pantang surut untuk menyuarakan kebenaran.***