Kamis, 29 Desember 2011

Potret Benturan Kultural





Judul : Antara Jimbaran dan Lovina
Penulis : Sunaryono Basuki Ks
Penerbit : Cakra Press, Denpasar
Tahun : Oktober 2011
Tebal : x + 158 halaman
Harga : Rp. 35.000





Jika sastra adalah asbtraksi realitas, rasanya Antara Jimbaran dan Lovina adalah salah satu karya yang sanggup melakukan hal tersebut. Pasalnya, cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen ini berhasil menguak sebagian realitas masyarakat Bali kontemporer.

Dalam kumpulan cerpen ini, Sunaryono Basuki Ks, mencoba untuk mengidentifikasi dan merepresentasikan kompleksitas dan problem kultural masyarakat Bali. Pergeseran nilai dan krisis identitas, adalah tema-tema yang acap kali diangkat dalam cerpen-cerpen dalam antologi ini.

Dalam konteks Bali, masalah-masalah ini menjadi menarik. Hal ini disebabkan Bali sebagai salah satu tujuan wisata favorit, terbuka untuk hadirnya masalah-masalah tersebut. Perjumpaan dengan berbagai budaya, yang dibawa oleh wisatawan dari berbagai penjuru dunia, memungkinkan terjadinya benturan kultural dalam masyarakat.

Dalam sejumlah cerpen, hubungan seks yang dianggap tabu bagi pasangan belum menikah serta perselingkuhan misalnya, digambarkan telah menjadi hal yang lumrah terjadi di kalangan anak muda. Hal ini menjadi sebuah paradoks ketika masyarakat Bali dikenal sebagai masyarakat yang taat menjalankan ritus agama.

Sunaryono memang tidak menuliskan hal tersebut dengan nuansa gugatan atau protes. Ia juga tidak menggurui sehingga terkesan menjadi polisi moral. Namun, penggambaran ini menunjukkan adanya kegelisahan terhadap fenomena tersebut. Wajah masyarakat Bali yang sederhana dan taat beragama, seakan tergantikan dengan lukisan muram moralitas.

Cerpen-cerpen ini seakan mempertanyakan, apakah Bali memang telah mengalami perubahan. Jika jawabannya “ya”, tentu ini sebuah harga yang mahal yang harus dibayar untuk komodifikasi budaya yang sedang terjadi di Pulau Dewata itu.

Selain itu, benturan nilai budaya lokal dengan rasionalitas, tergambar pula dalam sejumlah cerpen dalam kumpulan ini. Sebut saja cerpen Gung Ayu Ariani. Dalam cerpen ini digambarkan seorang perempuan bernama Gung Ayu Ariani yang berani melawan tradisi sehingga disisihkan dari kehidupan bangsawan Bali.

Dalam cerpen tersebut digambarkan secara jelas sebuah perlawanan terhadap konservatisme dan feodalisme. Perlawanan ini bukan perkara mudah. Kerasnya adat membuat Ayu Ariani benar-benar tidak mendapat tempat dalam keluarga besarnya. Alhasil ia berjalan sendirian dengan keyakinan atas apa yang telah ditempuhnya.

Menyimak cerpen ini, pembaca seperti diajak untuk merenungkan kembali, apakah adat harus dipertahankan meskipun di satu sisi terjadi dehumanisasi. Ataukah harus dilakukan reinterpretasi agar tradisi tetap kontekstual?

Kumpulan cerpen ini semakin kaya dengan hadirnya tema-tema spiritual seperti reinkarnasi serta moksa. Ini terlihat dalam cerpen Dadong, Respati Telah Mati, Rajah, ataupun Sebuah Pura di Air Terjun Gigit.

Dalam cerpen-cerpen tersebut seakan diprlihatkan adanya dimensi metafisika yang misterius. Kemisteriusan ini yang mendorong manusia untuk merenungkan kembali adanya kehidupan lain setelah kematian. Bahkan Sunaryono seperti ingin menyadarkan pembaca bahwa hakikat kehidupan di dunia adalah misteri.***

Rabu, 28 Desember 2011

Suara Guru Muda dari Pelosok Indonesia





Judul : Indonesia Mengajar
Penyunting : Ikhdah Henny dan Retno Widyatuti
Penerbit : Bentang
Tahun : November 2011
Tebal : xviii + 322 halaman
Harga : Rp. 54.000



Keharuan dan kekaguman. Itulah yang terasa jika pembaca menyimak kisah-kisah dalam buku ini. Bagaimana tidak, para guru muda yang ditempatkan untuk mengajar di daerah-daerah terpencil di Indonesia, telah menemukan berbagai pengalaman yang memberikan makna lain pendidikan.

Mereka tidak lagi bicara soal teori pedagogi ataupun jargon-jargon yang diungkapkan oleh otoritas terkait mengenai pendidikan. Sebaliknya, mereka melakukan sebuah tindakan konkret dalam dunia pendidikan. Inilah yang sebetulnya dibutuhkan oleh Indonesia pada saat ini.

Lewat program Indonesia Mengajar yang digagas oleh orang-orang yang ingin melakukan tindakan nyata untuk kemajuan Indonesia, para sarjana dari berbagai perguruan tinggi, diundang untuk menjadi guru di berbagai pelosok daerah di Indonesia.

Rasanya, hanya “keterpanggilan” saja yang membawa para sarjana dari berbagai disiplin keilmuan itu mau berada di tempat-tempat jauh dari tempat berdiskusi para pemegang otoritas pendidikan. Mereka tidak sekadar mencari pengalaman apalagi uang, melainkan datang untuk berbuat sesuatu yang nyata bagi Ibu Pertiwi.

Sulit rasanya mengatakan bahwa mereka adalah sekelompok anak muda yang sekadar mengisi waktu sebelum bekerja di instansi tertentu. Sebab pada dasarnya anak-anak muda ini memiliki prestasi serta pencapaian di atas rata-rata. Jadi sesungguhnya tidak sulit bagi mereka untuk bekerja di lembaga atau instansi yang "menjanjikan".

Lalu, apa yang mereka dapatkan selama satu tahun berada tempat mereka ditugaskan? Apalagi kalau bukan sebuah pengalaman batin, pengalaman kemanusiaan dan pengalaman keindonesiaan.

Pengalaman-pengalaman itu sering kali bukan didapat dari peristiwa-peristiwa besar atau bernuansa heorik. Pengalaman semacam itu justru dari hal-hal sederhana, terutama dari hasil interaksi mereka dengan murid-murid dan orang-orang yang ada di sekitar mereka.

Kisah mengenai “anak nakal” yang ternyata pandai dalam mata pelajaran matematika (hal. 55) misalnya, menunjukkan bahwa anak-anak yang dianggap sebagai “preman” di kelas, terkadang memiliki kemampuan di atas rata-rata di bidang lain.

Di sinilah tugas seorang pendidik sesungguhnya. Pendidik bukanlah memberikan label buruk pada si anak, justru harus menemukan cara agar kemampuannya dapat berkembang, sekaligus mengubah perilaku yang secara umum dianggap “mengganggu”.

Hal yang serupa juga terjadi dalam kisah Syahrul Si Asisten Guru (hal. 61) yang ditulis oleh Intan nuni wahyuni, Munarsih (hal. 64) yang ditulis oleh Bayu Adi Persada, Ibu Guru Laini (hal.69) yang ditulis oleh Junarih, maupun Semua Tentang Rizky (hal. 85) yang dikisahkan oleh Dwi Gelegar G Ramadhan.

Tidak semua pengalaman yang dikisahkan dalam buku indah. Kekesalan, tekanan, bahkan rasa hampir frustrasi juga dialami oleh para pendidik muda ini. Itu semua karena berhadapan dengan siswa dan lingkungan baru selalu memunculkan masalah. Tidak mulusnya proses adaptasi adalah salah satu sumbernya.

Hal ini memperlihatkan bahwa pendidik muda tersebut memiliki titik lemah. Itulah sisi kemanusiaan. Persoalannya, apakah meraka sanggup melewatinya? Perjalanan selama setahun membuktikan bahwa mereka sanggup. Ini membuktikan bahwa integritas dan mentalitas mereka sudah teruji.

Dari setiap pengalaman yang disampaikan oleh para guru yang terlibat dalam program ini, terlihat bahwa mendidik bukan sekadar mengajarkan materi-materi pelajaran yang telah digariskan dalm kurikulum, melainkan juga menjadikan murid menemukan dirinya sendiri.

Selain itu, hal yang lebih penting adalah, usaha untuk terus menumbuhkan optimisme kepada para murid. Di tengah fasilitas serta ketersediaan dana yang terkadang serba terbatas dan tidak mencukupi, guru harus menumbuhkan semangat dan optimisme kepada para murid untuk berbuat sesuatu bagi diri maupun masa depannya.

Buku ini seharusnya menjadi inspirasi bagi guru-guru di daerah lainnya. Mendidik bukan sekadar menabungkan ide atau gagasan secara sistematis, melainkan memberikan bekal kepada mereka untuk menemukan dan mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya.***

Selasa, 13 Desember 2011

Sejarah Virtual dan Virtualitas




Judul: Virtual

Penulis: Rob Shield

Penerbit: Jalasutra

Tebal: 270 halaman

Ketika jaman menyeret setiap orang ke dunia digital, terminologi yang sering disebut adalah "virtual". Kata itu pun sering dipadukan dengan kata benda seperti "organisasi virtual", "kantor virtual", ataupun "kota virtual".

Namun kemudian terjadi kesalahkaprahan dalam memaknai virtual. Virtual seakan-akan menjadi sesuatu yang selalu terkait dengan teknologi maupun kemajuan. Padahal makna virtual tidak selalu seperti itu.

Dalam buku ini disebutkan, virtual adalah sesuatu yang riil namun tidak konkret. Ia hanya sebuah kualitas dan bukan sesuatu yang aktual. Virtual bahkan berbeda dengan abstrak.

Penulis buku ini, Rob Shields, mengungkapkan bahwa virtual merupakan sebuah kualitas yang merupakan efek dari sesuatu, namun ia bukan "sesuatu" dari yang dimaksud. Ia adalah sebuah simulasi, semacam penyimpangan dari yang aktual.

Dalam sejarahnya, virtual sudah hadir dalam lukisan-lukisan Barok yang menggambarkan sebuah peristiwa historis. Lukisan-lukisan tersebut bukanlah sebuah peristiwa historis, namun ia menghadirkannya kembali di masa kini. Oleh sebab itu, masa lalu pun digolongkan sebagai sesuatu yang virtual.

Kemudian, virtualitas pun muncul dalam peristiwa-peristiwa relijius. Dalam buku ini dicontohkan sakramen ekaristi dalam ritus agama Katolik. Roti yang digunakan dalam ritus ini adalah roti biasa. Namun di sana terjadi transubtansiasi sehingga keberadaan Kristus dipercaya hadir di situ.

Pada perkembangannya, seiring dengan perkembangan dunia komputer, virtualitas semakin mendapatkan tempat. Namun istilah virtual menjadi tumpang tindih, yakni antara yang merujuk pada skematisasi realitas atas sebuah artifak, dengan suatu ruang yang dihasilkan oleh digital oleh teknologi virtual (halaman 59). Oleh sebab itu perlu pembedaan antara realitas virtual (virtual reality) dan lingkungan virtual (virtual environment).

Buku ini juga menjelaskan sejumlah konsekuensi ataupun dampak dari virtualitas, terutama virtual environment yang dimediasikan oleh teknologi komputer dan digital. Salah satu yang disebutkan dalam buku ini adalah pekerjaan yang tervirtualisasi.

Pekerjaan yang tervirtuliasasi teleh menciptakan dehumanisasi hubungan. Ini disebabkan terjadinya pergerseran diskursif tempat bekerja. Hal ini dapat berujung pada menurunnya komunikasi antar manusia, dan bermuara pada situasi alienasi atau keterasingan.

Buku pertama-tama adalah sebuah usaha untuk meluruskan perjalananan sejarah virtualitas. Dari situ terdapat sebuah pemahaman utuh mengenai virtualitas beserta konsekuensi-konsekuensinya di era kontemporer.

Selain itu, buku ini juga mempertanyakan apakah virtualitas akan membawa masyarakat kepada sebuah halusinasi konsensual yang mengawali dehumanisasi. Atau sebaliknya, akan membawa kita pada sebuah tatanan masyarakat senantiasa inovatif dan adapatif pada penciptaan virtualitas digital global.***


Rabu, 07 Desember 2011

Satire Turisme Bali








Judul : Jangan Mati di Bali
Penulis : Gde Aryantha Soethama
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun : I, 2011
Halaman : 316 halaman
Harga : Rp. 54.000


Industrialisasi selalu membawa perubahan pada kehidupan sosial. Begitu juga dengan industri pariwisata di Bali. Di pulau nan elok itu, kesakaralan, kearifan lokal, dan pemaknaan atas spiritualitas, telah mengalami perubahan.

Apakah hal itu semata-mata karena pariwisata di Bali digenjot habis-habisan demi keuntungan. Atau karena masyarakat Bali kini lebih realistis, dalam arti mereka lebih memilih uang ketimbang nilai-nilai lokal yang sebelumnya sulit untuk diusik.

Inilah yang dipertanyakan oleh Gde Aryantha Soethama dalam kumpulan tulisannya, Jangan Mati di Bali. Tidak hanya mempertanyakan, Gde Aryantha juga melakukan kritik atas perubahan-perubahan sosial yang terjadi di Bali.

Banyak sisi mengenai Bali yang "disentuh" oleh Gde Aryantha, mulai dari adat, kesenian, makanan, wisata, hikayat, hingga polah orang Bali. Semuanya ia sajikan dalam tulisan yang ringan, santai, sesekali dibumbui humor, tanpa kehilangan daya kritisnya.

Dari apa yang diungkapkan oleh Gde Aryantha, pembaca akan melihat bahwa perubahan-perubahan dalam masyaratak telah terjadi secara memprihatinkan. Ironisnya, perubahan itu tidak disadari oleh masyarakat Bali itu sendiri.

Salah perubahan yang tertangkap oleh Gde Aryantha adalah pengabaikan kesakaralan tampat-tempat tertentu, sebut saja pantai. Dalam kosmologi masyarakat Bali, pantai adalah tempat pertemuan dengan Sang Pencipta.

Tetapi turisme telah mengubah semuanya. Keindahan pantai tempat seseorang merenungkan keagungan Sang Pencipta telah menjadi komoditi. Tidak mengherankan jika sebuah upacara suci menjadi tontonan bagi turis asing yang tengah berbikini setengah telanjang.

Ironisnya lagi, tidak jarang satpam yang membentak orang Bali yang hilir mudik di pantai dekat hotel. Padahal dia adalah orang asli Bali yang mewarisi keindahan pantai di Bali.

Kemudian soal desakralisasi kesenian Bali, misalnya saja tarian. Demi memperkenalkan tarian Bali ke publik secara luas, tarian sakral Bali dikemas dengan cara yang berbeda. Alhasil, tarian sakral penuh makna menjadi "tarian pop" yang lebih mudah dicerna dan dikonsumsi oleh publik.

Perubahan sosial karena persentuhan dengan budaya luar secara teoritis sulit untuk dihindari. Namun ini bukanlah justifikasi untuk membiarkan Bali berubah. Apalagi trend perubahan itu menjurus ke arah lenyapnya lokalitas Bali. Padahal, lokalitas tersebut merupakan daya tarik wisata.

Lewat buku ini Gde Aryantha seolah ingin mengingatkan bahwa masyarakat Bali harus mewaspadai kecenderungan-kecenderungan negatif akibat komodifikasi budaya Bali. Menyerahkan diri kepada permintaan pasar turisme jutru akan membuat persoalan kian pelik
.
Secara umum buku ini sesungguhnya menjadi peringatan bagi kawasan potensial wisata lain di Indonesia. Kekeliruan dalam menerjemahkan kebutuhan industri wisata bukan tidak mungkin akan memunculkan masalah sosial dan budaya yang kian pelik.

Sudah saatnya semua pihak yang berkepentingan memajukan wisata nasional harus memiliki strategi yang tepat. Sebuah strategi yang dapat menjawab kebutuhan persaingan wisata, tanpa mengorbankan identitas lokal yang potensial mencabut masyarakat dari akar budayanya.***