Jumat, 25 November 2011

Mengenang Romo Bowo


 

Judul: Liber Amicorum I Wibowo

Penyusun: Natalia Soebagjo (editor)

Penerbit: Komunitas Bambu, November 2011

Tebal: 224 halaman

Harga: Rp. 45.000

 

Buku ini berisi sejumlah tulisan kenangan mengenai Romo Ignatius Wibowo. Penulisnya adalah sahabat, kerabat, kakak, adik, mahasiswa hingga koleganya. Siapakah I Wibowo hingga orang perlu menulis semacam obituari untuknya?

I Wibowo adalah salah satu dari sedikit ahli China di Indonesia. Tidak mengherankan jika ia menjadi salah satu “kamus berjalan” tentang China. Ia bahkan sering menjadi “rujukan” jika seseorang ingin melakukan kajian atauy penelitian tentang China.

Saya sendiri tidak pernah mengenal secara pribadi I Wibowo. Saya hanya mengenal ia dari tulisan-tulisannya di harian Kompas dan buku-bukunya tentang China.

Dari buku ini saya dapat lebih “mengenal”—sedikit tahu—sosok rohaniawan tersebut. Ia ternyata seorang pengajar yang banyak dikenang oleh mahasiswanya, paling  tidak, karena kedisiplinannya. Soal keilmuan, jangan ditanya. Dari kesaksian para penulis dalam buku ini, kepakaran I Wibowo tidak dapat dipungkiri lagi.

Beberapa kenangan tentang I Wibowo dalam buku ini sempat saya catat, misalnya saja pria yang “gila” membaca ini adalah seorang guru yang dikagumi. Ia memang ketat dan keras dalam mendidik, namun ia dapat saja begitu cair saat berada di luar kelas. Bahkan ada kesaksian yang menyebutkan bahwa dosen ini  rela memberikan bantuan kepada mahasiswa yang memerlukan bantuannya.

Romo Bowo, begitu sebagian orang memanggilnya karena ia seoran pastor, memang bersikap terbuka, cair, penuh toleransi. Ia tidak segan atau sungkan bergaul dengan siapa saja. Bahkan dengan orang-orang dengan orientasi relijius yang berbeda pun ia masih dapat bergaul dengan akrab.

Dari buku ini kita dapat lebih tahu banyak sisi tentang I Wibowo. Sebagian dari cita-citanya, gagasan, bahkan kegelisahannya. Bahkan kecemasan menghadapi kematian hingga kepasrahannya kepada Sang Khalik pun ia sempat ungkapkan. Ini  dapat kita lihat dari ungkapan beberapa penulis dalam buku ini.

Kehadiran buku ini membuktikan, “gema” mereka yang berarti bagi orang banyak, tak hilang bahkan ketika ia telah tiada.***

 

 

 

 

 

Kamis, 17 November 2011

Di Balik Klab Para Jawara Bulutangkis





Judul: Baktiku Bagi Indonesia


Penulis: Broto HAppy W


Penerbit: Penerbit Buku Kompas, 2011


Halaman: 498 halaman


Harga: Rp. 150.000



Kamis, 10 November 2011

Senja Peradaban Citarum




Judul : Ekspedisi Citarum
Penulis : Tim Kompas
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Terbit : I, September 2011
Halaman : xxiii + 358 Halaman
Harga : Rp. 48.000.


Deforestasi atau pengurangan lahan hutan di hulu sungai sudah menjadi persoalan lama di Indonesia. Sungai-sungai besar di pulau-pulau utama di Indonesia mengalami hal yang sama.

Jika otoritas terkait tidak mengambil langkah cepat, maka masa depan sungai bakal terancam. Jika wilayah sekitar sungai disebut awal peradaban, maka peradaban manusialah yang terancam.

Buku ini mengetengahkan persoalan-persoalan yang tengah dihadapi oleh Citarum. Sungai yang mengalir sepanjang 269 kilometer itu, ternyata telah telah lama mengidap "penyakit" kronis.

Air yang terkontaminasi bahan kimia berbahaya, adalah sebagian kecil penyakit kronis yang diderita oleh sungai dengan berbagai mitos itu. Belum lagi limbah rumah tangga maupun industri yang terus mengalir menuju Citarum.

Di bagian hulu saja misalnya, masih sekitar 700 meter dari danau Situ Cisanti, sungai yang menggerakkan turbin bendungan Jatiluhur, Saguling dan Cirata tersebut, sudah tercemar oleh limbah kotoran ternak sapi. Padahal aliran air sungai masih jernih di situ.

Hal ini diperparah dengan semakin berkurangnya vegetasi yang dapat menahan resapan hujan di sepanjang Citarum. Salah satu penyebabnya ialah berubahnya fungsi hutan, dari penahan resapan air menjadi lahan pertanian yang dikelola tanpa memerhatikan perubahan fungsi ini.

Di bagian lebih ke hilir, kondisinya lebih parah. Limbah industri tekstil, mengalir sepanjang siang dan malam menuju Citarum. Tidak mengherankan jika warna air sungai ini berubah di bagian hilir karena zat kimia. Hal ini jelas-jelas akan mengancam keberadaan ekosistem sungai.

Penyebabnya, pengelola industri tekstil tidak peduli terhadap lingkungan. Ini terbukti dengan dilanggarnya peraturan untuk melakukan pengolahan air limbah sebelum dialirkan ke sungai.

Tak ayal, sekitar 270 ton air limbah memasuki Citarum setiap harinya. Ini belum terhitung pabrik tekstil yang secara sembunyi-sembunyi membuang limbahnya pada malam hari lewat saluran air menuju sungai. Selain mencemari sungai, limbah ini telah mengganggu lingkungan sepanjang saluran air.

Dengan demikian beban Citarum kian berat. Limbah dan sampah yang dibawa anak-anak sungai Citarum menambah beban ini. Akibatnya, sungai yang seharusnya dapat memberikan kehidupan bagi penduduk Jawa Barat hingga Jakarta, terancam punah.

Persoalan paling mendasar dari semua ini adalah kurangnya pemahaman masyarakat terhadap arti penting Citarum. Sosialisasi setengah hati dari pihak terkait telah mendorong percepatan disfungsi sungai.

Pemulihan Citarum tidak dapat dilakukan dalam semalam. Butuh proses yang panjang untuk membenahi kerusakan yang terjadi merata dari hulu ke hilir. Hanya kemauan kuat dari pemegang otoritas yang dapat mengubah keadaan ini.

Selain laporan mengenai kondisi Citarum, buku ini juga mengungkapkan sejumlah potensi daerah. Sebut saja usaha comring (comro kering) di Cimahi yang dapat memberdayakan perempuan di wilayah tersebut.

Ekspedisi Citarum bukan sekadar laporan mengenai kondisi lingkungan hidup, melainkan juga sebuah renungan mengenai mengenai peradaban yang eksistensinya terancam.***

Dimuat di HU Koran Jakarta, 17 November 2011

Jumat, 04 November 2011

Pengalaman Unik dan Jenaka Wartawan Bandung



Judul: Pistol dan Pembalut Wanita (trik dan Pengalaman Liputan)
Penyunting: Enton Supriyatna dan Taufik Abriansyah
Penerbit: Forum Diskusi Wartawan Bandung (2007)
Halaman: xi + 300 halaman

Sosok wartawan sering terkesan “serius” dan “kritis”. Tidak heran jika banyak orang yang “alergi” terhadap wartawan, terutama pejabat yang punya masalah tertentu, sebut saja masalah hukum.

Namun di buku ini, kesan tersebut sedikit-banyak, ditepis. Pasalnya lewat kumpulan pengalaman wartawan di Bandung ini, wartawan tampak sebagai pribadi yang cair, terbuka, bahkan jenaka tanpa kehilangan sikap kritisnya.

Buku berujudul Pistol dan Pembalut Wanita ini berisi puluhan catatan pengalaman ringan mengenai tugas-tugas jurnaliastik mereka di lapangan. Penulisnya wartawan dari berbagai media, baik elektronik maupun cetak, yang bertugas di Kota Kembang tersebut.

Pengalaman-pengalaman yang mereka ceritakan memang unik, menarik, penuh romantisme, berbau mistis, bahkan lucu. Dari situ pembaca dapat belajar bagaimana seorang wartawan sebaiknya melakukan tugas sebagai pewarta.

Salah satu kisah menarik yang disampaikan dalam buku ini adalah Interview Sambil Hajat Kecil yang ditulis oleh Taufik Abriansyah, wartawan Majalah Nebula.

Dalam tulisannya Taufik mengisahkan wawancaranya dengan Sofyan Lubis yang saat itu menjabat sebagai Ketua PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Menariknya, wawancara itu terjadi terjadi di tempat khusus, namun di kamar kecil.

Ceritanya, ketika menunggu Sofyan Lubis memberikan seminar, Taufik masuk ke dalam kamar mandi untuk melepaskan hajat kecilnya. Pada saat yang bersamaan ia juga melihat sosok yang sedang mengambil posisi yang sama untuk buang air kecil. Sosok itu adalah Sofyan Lubis.

Tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, Taufik pun langsung menanyakan pendapat Sofyan Lubis mengenai “wartawan bodrex” (wartawan tanpa surat kabar yang jelas dan berkecenderungan mengambil keuntungan pribadi) yang marak bermunculan. Alhasil wawancara dilakukan dalam posisi tersaebut.

Lain lagi dengan cerita Irfan, wartawan harian Republika. Ketika tengah melepas kepenatan bersama istri dengan kendaraan roda duanya di jalanan kota BANDUNG, ia dikejutkan oleh raungan ambulan yang diikuti oleh dua buah bus.

Instingnya sebagai wartawan mencium sesuatu. Ia menduga ada pejabat yang meninggal dunia. Demi mendapatkan berita, ia mengikuti rombongan ambulan yang melaju kencang tersebut hingga akhirnya memasuki halaman Gedung Sate. Begitu ambulan terhenti Irfan langung menanyakan siapa yang telah meninggal kepada sopir ambulan.

Dari sopir ambulan terdapat keterangan bahwa tidak ada pejabat yang meninggal. Lalu kenapa ia membunyikan sirinenya? Menurut si sopir ambulan, sirine ambulan dibunyikan untuk menggantikan pengawalan polisi yang hari itu tidak dapat mengawal.

Saat itu ambulan memang tengah “mengawal” rombongan teladan dari berbagai kota dan kabupaten untuk mengikuti gladi bersih upacara peringatn 17 Agustus. Gagal sudah Irfan memperoleh berita eksklusif tentang pejabat yang meninggal.

Ada banyak kisah yang menarik untuk diikuti oleh pembaca dalam buku ini. Memang kisah ringan, namun dari sini pembaca bisa mengetahui banyak hal yang terjadi di balik sebuah berita.***