Senin, 24 Oktober 2011

Revolusi Proletar di Negara Marxis



Judul: Negara Marxis dan Revolusi Proletariat
Penulis: Nur Sayyid Santoso Kristeva
Penerbit: Pustaka Pelajar Yogyakarta
Harga: Rp. 175.000



Tewasnya diktator Muammar Qadhafi disebut-sebut sebagai puncak dari revolusi Libya. Benarkah ini revolusi sosial, ataukah sebuah gerakan yang didorong oleh kekuatan eksternal tertentu.

Teori-teori dalam buku ini dapat dijadikan pisau analisa untuk menjawab pertanyaan di atas. Dengan berbagai teori yang digagas oleh Karl Marx, pembaca dapat melihat bagaimana sesungguhnya anatomi revolusi.

Bagi Karl Marx, negara adalah lembaga yang reperesif. Lembaga ini ditungganggi oleh kelas menengah dan kaum borjuis demi kapital. Akhirnya, negara menjadi penindas yang efektif untuk melanggengkan kekuasaan kaum borjuis.

Oleh sebab itu, menurut Marx, negara merupakan penjelmaan pertentangan kekuatan ekonomi. Negara digunakan oleh pemilik alat-alat produksi, untuk menindas golongan yang lemah secara ekonomi.

Oleh sebab itu, perlu sebuah revolusi sosial untuk mengubah hal tersebut. Revolusi ini merupakan sebuah cara yang untuk mengubah tendensi eksploitatif negara. Hanya dengan revolusi saja perubahan mengakar dapat terjadi.

Lalu, apakah hakikat revolusi? Menurut Marx, revolusi sendiri tidak semata-mata perubahan yang terjadi secara cepat. Revolusi, sebagai perubahan sosial yang sangat mendasar, tidak menyisakan apa pun dari keadaan sebelumnya.

Revolusi harus menyangkut perubahan yang sangat fundamental, menyeluruh dan bersifat multidimensional. Di sini, seluruh sendi politik, hukum hingga pemerintahan, digantikan secara radikal.

Persoalannya, siapa yang harus melakukan revolusi sosial? Bagaimana revolusi itu harus berjalan? Apa saja syarat-syarat revolusi? Buku ini menggambarkan hal ideal mengenai hal-hal tersebut.

Dalam buku in disampaikan bahwa kelas proletarlah yang harus melakukan revolusi. Kelas proletar adalah kelompok yang tersingkirkan, termiskinkan oleh sistem ataupun organisasi kontemporer dan produksi industri (hal. 515).

Revolusi menjadi pilihan karena Marx yakin bahwa perbaikan kelas tertindas tidak dapat dilakukan hanya dengan kompromi. Hal yang dapat dilakukan adalah melakukan perjuangan kelas.

Lalu bagaimana kesadaran kolektif kelas dapat terakumulasi untuk mencapai kondisi matang untuk revolusi? Buku memberikan jawabannya. Hal itu terjadi manakala kaum buruh proletar berada dalam keadaan kondisi yang kurang manusiawi secara kolektif.

Jika kekuatan ini terkonsentrasi dengan jaringan komunikasi yang memadai, maka ia akan menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Kata Marx, semakin menderita dan tertekan kaum proletar, semakin cepat pula masyarakat kapitalis menemukan ajalnya
.
Namun buku ini menyampaikan pula kritik terhadap pemikiran Marx. Penulis buku menyampaikan pemkiran Tom Bottomore. Menurutnya, ada dua faktor yang telah dilupakan Marx dalam kaitannya dengan revolusi, yakni faktor non-kelas.

Faktor non-kelas tersebut diantaranya ialah agama dan nasionalisme. Menurut Bottomore kedua faktor ini potensial menimbulkan revolusi. Ia mencontohkan Revolusi Islam di Iran yang terjadi pada tahun 1977-1979.

Buku ini telah memberikan sebuah cakrawala baru mengenai hakikat serta sisi filsafati revolusi. Bukan untuk membakar revolusi, namun untuk memahami peta dan roh dari revolusi itu sendiri.***

Rabu, 19 Oktober 2011

Melacak Jejak Kebudayaan Lewat Komik



Judul: Panji Tengkorak, Kebudayaan dalam Perbincangan
Penulis: Seno Gumira Adjidarma
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun: 2011

Dari sebuah artifak budaya dapat dilihat bagaimana sebuah kebudayaan berlangsung. Artinya, kompleksitas budaya dapat dilihat dengan melakukan pembacaan terhadap artifak ataupun teks. Berbagai kekuatan maupun kekuasaan yang melatari sebuah budaya dapat ditelusuri lewat proses ini.

Begitu pula dengan komik. Komik sebagai sebuah artifak yang lahir dalam sebuah masyarakat, diyakini merepresantasikan kedalaman sebuah budaya. Ia tidak hanya sebuah karya seni, melainkan juga sebuah sejarah panjang ideologis, termasuk komik Indonesia.

Dikatakan sejarah panjang karena tidak ada satu pun komikus Indonesia, terutama komikus di tahun 1960-an hingga tahun 1970-an. yang membuat komik tanpa mempelajari gagasan, cara bertutur, gaya maupun teknik menggambar dari berbagai macam komik yang memasuki Indonesia, misalnya saja komik Amerika.

Hal ini memperlihatkan bahwa komik-komik asing memengaruhi perkembangan komik Indonesia. Jika ini dikaitkan dengan dinamika pemasaran, ataupun tarikan ideologi maupun politik identitas kekuasaan, maka komik Indonesia menjadi sebuah wilayah pertarungan ideologi.

Dalam buku ini, Seno Gumira ingin membuktikan hal itu lewat risetnya atas komik Indonesia. Untuk itu ia mengambil pilihan komik Panji Tengkorak. Panji Tengkorak karya Hans Jaladara pernah populer di tahun 1960-an.

Komik ini kemudian mengalami perubahan dalam setiap penerbitan ulangnya, baik dari segi visual maupun tekstual. Perubahan itu terjadi pada tahun 1985 dan tahun 1996. Dengan begitu, komik Panji Tengkorak yang ditampilkan sebagai perbandingan ialah komik dengan tahun terbitan 1968, 1985 dan 1996.

Kajian budaya yang dilakukan oleh Seno ini adalah sebuah strategi untuk membongkar aneka tarikan ideologi yang terdapat di dalamnya. Bahkan pergulatan sang autor pun dapat ditelusuri dengan metode kajian budaya ini.

Dari “pembacaan” terhadap ketiga komik tersebut, ada sejumah catatan yang dihasilkan Seno. Pertama komik adalah sebuah konstruksi realitas. Artinya dalam Panji Tengkorak terdapat tanda-tanda yang mengacu pada realitas, yakni jejak kebudayaan itu sendiri.

Komik juga berusaha melepaskan diri pembebanan wacana dominan dan pengalamiahan kebudayaan. Sebab pada dasarnya kebudayan adalah proses yang dirancang, dan bukan terjadi dengan sendirinya.

Selain itu, yang menarik, dari komik Panji Tengkorak adalah, dapat diketahuinya identitas serta kompleksitas sang pengarang, yakni Hans Jaladara, yang bernama asli Liem Tjong Han.

Dalam komik Panji Tengkorak, Hans Jaladara memang terkesan anonimistik, enggan menyebutkan identitasanya sebagai keturunan Tionghoa. Barangkali ini diakibatkan iklim diskriminatif tethdap kaum keturunan Tionghoa.

Namun, ditemukannya istilah maupun penamaan terhadap jurus silat tertentu, tampaklah isyarat bahwa pembuat komik Panji Tengkorak dekat dengan kultur Tionghoa.

Dari buku ini dapat terlihat bahwa pelacakan jejak budaya lewat kajian budaya, dapat diketahui bagaimana sebuah budaya terbetuk, serta bagaimana ideologi serta kepentingan saling bertarung di dalamnya.***


Minggu, 09 Oktober 2011

Pemaknaan Hidup Jakob Oetama



Judul: Syukur Tiada Akhir
Penulis: St. Sularto
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Terbit: September 2011
Halaman: 669

Kepekaan terhadap realitas, ketajaman menganalisa, kekritisan melihat fenomena, dan kejernihan dalam berpikir, merupakan hal yang harus dimiliki wartawan. Jika tidak, ia tidak dapat berbuat banyak untuk kemanusiaan.

Itulah yang berkali-kali ditekankan oleh Jakob Oetama. Bagi tokoh pers yang lebih dari setengah abad membuktikan kesetiaannya terhadap profesi jurnalistik itu, tugas wartawan adalah kesetiaan pada obyektivitas, kebenaran dan pembangunan manusia.

Bagaimana idealisme itu terbentuk? Dalam buku ini dijelaskan, latar belakang pendidikannya di seminari, persentuhan dengan sastra Barat, serta pertemuan dengan filsafat telah menjadi ladang persemaian kepekaan dan orientasi nilainya dalam menjalankan profesi wartawan.

Bagi Jakob, pers harus bertindak bijaksana dalam masyarakat yang terus berubah. Pers harus dapat melihat gejala-gejala dan kecenderungan-kecenderungan yang terjadi dalam masyarakat.

Dengan begitu, pers dapat memberikan sumbangan yang maksimal bagi masyarakat. Sebab, esensi pers ataupun media massa adalah manusia dan peristiwa kemanusiaan. Jadi, pilihan orientasinya pun harus kemanusiaan.

Baginya, pers juga harus menjadi wahana dialog antara pemerintah dan masyarakat. Tujuannya, agar pembangunan terus bergerak maju, serta dapat menjaga terselenggaranya demokrasi yang sehat.

Terkait hubungan antara pers dan kekuasaan, Jakob sempat diancam oleh pemerintah untuk menghentikan kegiatan surat kabar yang dipimpinnya. Ini terjadi pada 5 Februari 1978. Harian itu, Kompas, boleh terbit kembali jika Jakob mau menandatangani surat permintaan maaf dan kesetiaan terhadap pemerintah.

Butir yang termasuk dalam kesetiaaan tersebut diantaranya adalah tidak mempersoalkan Dwi Fungsi ABRI, tidak menurunkan berita yang memperuncing konflik, dan tidak menulis tentang asal-usul kekayaan Presiden Soeharto (hal. 24). Dengan berat hati, Jakob menandatangani surat tersebut. Hal ini mengundang pro dan kontra.

Namun Jakob punya alasan. Pertama, dengan sikap yang terkesan kompromistis itu, ia masih dapat berbuat sesuatu untuk masyarakat. Jika media sudah menjadi mayat, ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi, begitu ia mengistilahkan.

Kedua, saat itu ia memikirkan hidup 2.000 karyawannya yang bergantung kepada harian itu Belum lagi mereka yang secara tidak langsung memperoleh berkah dari terbitnya harian Kompas seperti agen koran ataupun pengecer koran.

Jika saja hari itu Jakob mengikuti kehendak PK Ojong, salah satu pendiri Kompas, untuk tidak menandatangani surat itu, mungkin sejarah pun berbeda. Barangkali harian itu kini tinggal sejarah.

Namun, bagi sosok yang lebih senang disebut wartawan ketimbang pengusaha itu, apa yang ia lakukan saat itu bukanlah semata-mata hasil keputusannya, namun karena penyelenggaraan Allah (providentia dei). Itu sebabnya Jakob menekankan perlunya untuk bersyukur tiada henti untuk semua yang telah terjadi.

Buku ini tidak hanya berisi bagaimana wartawan harus menjalankan profesinya, namun juga bagaimana setiap orang harus memaknai segala peristiwa dan pencapaian dalam hidupnya sebagai anugerah dan berkat dari yang di Atas.***