Kamis, 09 Juni 2011

Bandung, Kata Para Penyair



Judul : Di Atas Viaduct (Bandung dalam Puisi Indonesia)

Editor : Ahda Imran

Penerbit : Forum Sastra Bandung

Terbit : I, Mei 2009

Halaman : 293 Halaman

Harga : Rp. 60.000


Bagi seniman, kunjungan ataupun kehadiran di sebuah kota, seringkali bukanlah sekadar menempatkan dirinya secara geografis dalam sebuah wilayah kota, namun seringkali secara spritual.

Artinya, kehadiran dirinya di dalam sebuah kota selalu melibatkan dimensi-dimensi spiritual, emosional hingga psikologis. Dimensi-dimensi inilah yang mendorong seniman untuk melakukan sebuah refleksi--baik tentang dirinya maupun tentang lingkungan di sekitarnya.

Hasil refleksi inilah yang kemudian dapat dituangkan ke dalam sebuah karya seni, misalnya saja puisi.

Begitu juga dengan antologi puisi Di Atas Viaduct ini. Di dalam buku ini termuat puisi-puisi dari sejumlah penyair. Saya sangat percaya, kehadiran puisi-puisi ini merupakan buah relasi penyairnya dengan lingkungan, atmosfer, dinamika masyarakat dan segala hiruk pikuk Kota Bandung.

Sebagian penyair mengungkapkan keprihatinannya terhadap Kota Bandung yang terus mengalami perubahan. Perubahan sosial yang berimbas kepada perubahan-perubahan lingkungan dan sosial, telah membuat penyair merasa roh dan wajah Bandung hilang.

Lihat saja puisi Juniarso Ridwan berjudul Ahoaho Bandung. Dalam puisi ini Juniarso menegaskan bahwa lingkungan kota Bandung tengah mengalami perubahan. Dalam saja tersebut Juniarso menulis, jajaran tiang beton, ya nenekku/tlah gantikan pohon kenari/ sepintas wajah penghuni kota/ tak kenal wajah sendiri//.

Kegelisahan yang sama tampak juga dalam puisi Diro Aritonang berjudul Braga Sky, ..deru bising kota/ melumpuhkan otakku/ jantung kota yang tak menentu/membuat kosong pandangan mataku/ di setiap trotoar jalana/...

Dari sajak ini terlihat bagaiman Diro Aritonang merasakan Bandung tidak lagi ramah. Braga Sky, yang menjadi judul sajak ini, adalah sebuah pusat belanja yang berada di kawasan Jalan Braga. Braga yang klasik, bangunan berarsitektur unik, kini terganggu dengan hingar bingar pusat belanja tersebut.

Selain sajak yang menyesalkan perubahan-perubahan negatif dalam Kota Bandung, sejumlah penyair pun menuliskan kegelisahan-kegelisahan personal saat mereka berada di Bandung. Hal ini tampak jelas pada sajak-sajak yang ditulis oleh Fadjroel Rachman dan Acep Zamzam Noor.

Dari kumpulan puisi ini kita dapat melihat bahwa Bandung pada dasarnya tidak dapat statis. Ia akan berubah. Persoalannya adalah bagaimana perubahan itu tidak membawa implikasi negatif, baik secara sosial ataupun ekologis.

Bagi mereka yang rindu kota Bandung, kumpulan sajak ini bisa menajdi pengobat rindu. Bagi mereka yang ingin mengetahui Kota Bandung lebih jauh, mungkin antologi inilah salah satu media yang bicara jujur mengenai Paris Van Java itu.