Selasa, 31 Mei 2011

Duka Aceh dalam Sejarah



Judul: Lampuki
Penulis: Arafat Nur
Penerbit: Mizan
Terbit: Mei 2011
Halaman:433 halaman

Konflik di Aceh menyisakan luka. Bukan hanya untuk warga Aceh, namun juga untuk mereka yang diterjunkan ke daerah konflik dengan dalih meredam pemberontakan.

Dendam dan nafsu pembalasan seperti menjadi nafas bagi kubu yang saling bertikai. Kedamaian menguap, menyisakan amarah, kepal tangan serta kesumat. Hampir tidak ada jeda untuk memikirkan kemajuan-kemajuan riil di masa depan.

Kemajuan, kemerdekaaan serta kesejahteraan pun diterjemahkan secara berbeda-beda oleh pihak-pihak yang ekstrem berseberangan. Akhirnya, tidak ada pihak yang menang atau kalah. Keduanya mengalami kerugian yang sia-sia.

Arafat Nur secara jelas mengungkapkan hal-hal itu dalam Lampuki. Di dalam novel ini ia mengisahkan segala problema, dinamika serta gejolak masyarakat Aceh, ketika para pemberontak Aceh dan serdadu pemerintah saling mengarahkan senjatanya.

Menariknya, Arafat Nur tidak mengetengahkan kesemuanya dengan amarah ataupun emosi keberpihakan. Sebaliknya, ia mengungkapkannya dengan satir, sindiran, sinisme, sampai olok-olok.

Inilah yang membuat Lampuki terasa berbeda jika dibandingan dengan novel-novel lain dengan latar belakang konflik lokal lainnya. Lampuki tidak hadir untuk memihak, melainkan melakukan protes keras kepada semua pihak.

Ia ingin menelanjangi bahwa pihak-pihak yang bertikai hanyalah orang-orang yang justru menambah beban dan penderitaan rakyat biasa. Justru rakyat biasalah yang menanggung segala akibatnya.

Oleh sebab itu, Arafat tidak segan untuk mengatakan bahwa orang yang mengaku pemimpin perjuangan rakyat Aceh--yang dalam novel ini diwakili oleh Ahmadi--adalah seorang pengecut.

Ketika kampungnya disatroni oleh serdadu misalnya, wajah Ahmadi digambarkan tiba-tiba menjadi kecut. Ia seperti raja malang yang kehilangan kuasa dan martabat. Sinar matanya meredup dan kumisnya terkulai tiada daya.

Padahal Ahmadi mencitrakan dirinya sebagai sosok yang angker. Namun semua itu hanya kulit belaka. Sesungguhnya Ahmadi adalah orang tanpa perhitungan, tidak peduli kepada orang lain dan juga pengecut.

Arafat mendeskripsikan Ahmadi sebagai sosok yang membosankan, dengan kumis tebal yang memuakkan. Menghadapi fakta itu, tokoh "aku" dalam novel ini hanya bisa diam karena ia sendiri dalam posisi terintimidasi.

Sementara itu, Arafat menjuluki serdadu, alias tentara yang ditugaskan untuk meredam kaum separatis, sebagai pasukan beringas yang sering melakukan pembantai dan kekejian terhadap rakyat kecil.

Selain itu, di sana-sini Arafat kerap melemparkan kisah-kisah jenaka dari tokoh-tokoh yang "berseliweran" di dalamnya. Ini bukan sekadar humor, melainkan sebuah komedi masyarakat yang di dalamnya hadir kritik maupun gugatan.

Secara keseluruhan, tampak Arafat ingin mengajak pembaca melihat konflik Aceh dengan cara yang berbeda. Ia tidak ingin memerangkap pembacanya pada pengutuban "salah-benar" atau "Jakarta-Aceh".

Sebaliknya ia ingin pembaca melihat konflik dengan perspektif yang lebih luas. Di sini bukan hanya sisi politis yang diungkap, tetapi juga sisi sosiologis dan ekonomis masyarakat Aceh. Di sanalah persoalan-persoalan kemasyarakatan menggantung.***

Duka Aceh


Minggu, 08 Mei 2011

KIsah Cinta Seorang Wartawan



Judul : Belahan Jiwa

Penulis : Rosihan Anwar

Penerbit : Kompas

Terbit : I, April 2011

Tebal : 234 halaman

Harga : Rp. 48.000



Di antara puluhan buku maupun kumpulan tulisan yang pernah ditulisnya, Belahan Jiwa adalah buku yang paling memperlihatkan sisi romantis Rosihan Anwar. Buktinya, kata-kata seperti "sayang", "cinta" dan "salam manis" untuk Zuraida Sanawi, istrinya, bertebaran dalam buku ini.

Rosihan mengenal Ida, begitu panggilan akrab Zuraida, ketika keduanya bekerja di surat kabar Asia Raja. Awalnya hubungan mereka sebatas menyangkut pekerjaan. Tetapi garis tangan telah membawa mereka pada hubungan cinta.

Menurut Rosihan, keseriusannya membina hubungan dengan Ida tidak terlalu mulus. Pasalnya, ibu Ida mempertanyakan kesiapan Ida menerima Rosihan yang kala itu bekerja "hanya" sebagai wartawan.

Rosihan mahfum dengan pendapat calon mertuanya itu. Ia yakin, kebimbangan itu bukan didasarkan pada ketidaksukaan terhadap Rosihan, namun karena ia ingin Ida hidup bahagia. Ini wajar, sebab secara finansial, profesi wartawan saat itu tidaklah menjanjikan.

Dalam sebuah suratnya Ida menegaskan bahwa ia mau menerima Rosihan. Ia tahu benar konsekuensi-konsekuensi menjadi istri wartawan. Namun, dalam pandangan Ida, Rosihan adalah wartawan yang istimewa, itu alasannya ia mau menjadi istrinya.

Dalam buku ini memang dilampirkan sejumlah surat yang menunjukkan bagaimana korespondensi Ida dengan Rosihan. Kata-kata cinta yang sederhana plus cerita lain mengenai sahabat, kerabat dan lingkungan kerja, adalah ciri-ciri surat yang ditulis mereka.

Menariknya, dalam buku ini Rosihan tidak semata mengisahkan perjalanan cintanya, namun juga menuliskan sejumlah peristiwa sejarah. Inilah yang agak sulit untuk dihindari oleh Rosihan yang "berdarah" wartawan itu.

Dalam buku ini misalnya, Rosihan menuliskan peristiwa di kediaman AH Nasution pada saat terjadi G30S tahun 1965. Hal ini diceritakannya karena ia melihat sendiri kejadian tersebut secara “live”. Untuk diketahui, kediaman Rosihan kala itu berada di depan rumah AH Nasution. Baru keesokan harinya ia mengetahui secara lengkap apa yang sebenarnya telah terjadi.

Buku ini disusun oleh Rosihan setelah Ida tutup usia pada 5 September 2010. Dari buku ini terlihat bagaimana terpukulnya Rosihan setelah Ida meninggal dunia.

Bahkan anggota keluarga Rosihan harus berkali-kali memperingatkannya untuk tidak terus-menerus tenggelam dalam duka. Life must go on, begitu selalu disampaikan oleh anak-anaknya kepada Rosihan.

Lalu apa yang mendorong Rosihan menuliskan memoar ini. Bagi Rosihan menuliskan memoar adalah sebuah permohonan maaf sekaligus koreksi atas kesalahannya kepada Ida di masa lalu.

Seingat Rosihan, stres, tekanan pekerjaan, ancaman breidel, hingga situasi politik yang tidak menentu, kerap membuat dirinya ogah bicara kepada Ida. Ini yang diselali Rosihan. Tetapi Ida tidak melakukan protes, sebaliknya ia diam dan mengurus pekerjaan rumah seperti biasa. Itulah ekspresi cinta Ida yang besar terhadap Rosihan.

Buku ini bagaikan sebuah epilog dalam perjalanan hidup Rosihan. Sebuah epilog tentang cinta dan kesetiaan. Di sini Rosihan telah menyampaikannya dengan sangat indah ***


Kisah Pengabdian Inggit Garnasih



Judul : Kuantar ke Gerbang

Penulis : Ramadhan KH

Penerbit : Bentang

Terbit : I, Maret 201

Halaman : x + 431 Halaman


Banyak keberhasilan tokoh besar justru didukung oleh perempuan hebat dan kuat di belakangnya. Perempuan itu tidak lain adalah para istri yang selalu setia. Pengorbanan dan dedikasi istrilah yang mengantarkan para suami ke gerbang kebesaran.

Namun sayang, kiprah perempuan-perempuan luar biasa itu sering terlupakan. Penyebabnya, para tokohlah yang lebih mendapat perhatian maupun ekspos ketimbang istri mereka.

Para perempuan ini memang tidak mengharapkan balasan. Namun, penghargaan patut mereka terima atas apa yang telah mereka sumbangkan bagi para tokoh yang mereka dampingi.

Begitu juga dengan roman sejarah Kuantar ke Gerbang yang mengisahkan perjalanan Inggit Garnasih dan Soekarno. Dari buku ini dapat terlihat bagaimana pengorbanan maupun sumbangsih Inggit terhadap Soekarno.

Dikisahkan dalam novel ini, bagaimana Inggit telah melakukan banyak hal untuk mendukung aktivitas Soekarno, dimulai dari ketika Soekarno masih menjadi mahasiswa di Bandung, hingga ketika ia mengalami masa-masa sulit di bawah tekanan pemerintah Hindia Belanda.

Pengorbanan Inggit Garnasih ini dideskripsikan oleh Ramadhan KH, penulis buku ini, misalnya ketika Inggit harus mencari nafkah untuk keluarga. Maklum, ketika masih menjadi mahasiswa, Soekarno belum memiliki pekerjaan. Padahal saat itu ia telah menikah dengan Inggit.

Hal yang sama juga terjadi ketika Soekarno dijebloskan ke dalam penjara oleh pemerintah Belanda karena dituduh telah merencanakan kejahatan. Ketika itu Inggit tetap setia mendampingi Soekarno.

Inggit menutup-tutupi kesulitan dirinya agar Soekarno tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya. Ia ingin Soekarno tetap merasa tenang dan tidak diganggu pikiran tentang dirinya.

Bahkan ketika Inggit terpaksa berjalan bersama anaknya kaki dari Bandung menuju penjara Sukamiskin, Ujung Berung, Bandung, untuk menjenguk Soekarno, hal itu tidak diceritakannya. Ini menunjukkan bahwa Inggit ingin Soekarno tidak dibebani hal yang "tidak penting" selama berada di penjara.

Kesetian Inggit teruji kembali ketika Soekarno diasingkan ke Ende maupun ke Bengkulu. Ketika itu Inggit menyatakan akan mengikuti Soekarno ke pengasingan. Hal ini tentu bukan perkara mudah, apalagi kedua daerah itu merupakan wilayah yang belum pernah didatangi oleh Inggit sebelumnya.

Tetapi Inggit tidak memedulikan hal itu. Keputusannya untuk mengabdi kepada sang suami sudah bulat. Bagi Inggit, mendampingi suami dalam susah maupun senang sudah menjadi kewajiban seorang istri.

Hal yang paling melukai Inggit adalah ketika Soekarno mengemukakan keinginananya untuk memiliki anak. Itu berarti Soekarno harus menikah dengan perempuan lain karena Inggit kecil kemungkinanya untuk bisa memberikan anak.

Namun toh Inggit pasrah. Sebab ia tahu, dengan memberikan kesempatan kepada Soekarno untuk menikah dengan perempuan lain, berarti ia telah memberikan kesempatan kepada lelaki itu untuk berbuat banyak untuk Indonesia.

Itulah potret pengorbanan dan totalitas perempuan para pendamping tokoh besar negeri ini. Sekecil apapun, selalu ada yang diberikan demi sukses sang suami. Apa yang diterima, mereka tidak peduli.***

Dimuat di HU Koran Jakarta