Kamis, 09 Desember 2010

Kenangan Seorang Wartawan Nekad



Judul : Keliling Indonesia, Dari Era Bung Karno sampai SBY

Penulis : Gerson Poyk

Penerbit : Libri

Terbit : I, 2010

Halaman : xiii + 307Halaman

Harga : Rp. 55.000

Wartawan selalu memiliki kisah-kisah menarik selama menjalankan profesinya. Sayangnya, hal itu tidak selalu dapat dituangkan ke dalam kolom-kolom di media tempat ia bekerja. Sebagai alternatif dipilihlah media lain, baik blog pribadi ataupun buku.

Cara terakhir inilah yang dipililih olah Gerson Poyk, wartawan senior sekaligus sastrawan yang acap kali menerima penghargaan baik di bidang jurnalistik maupun sastra. Gerson memilih buku sebagai media untuk menampilkan apa yang tersisa dalam ingatannya berkaitan dengan karirnya di dunia jurnalistik.

Buku ini berisi sejumlah catatan kenangan Gerson saat itu bekerja sebagai wartawan. Lelaki yang sudah bekerja sebagai wartawan sejak tahun 1960 itu, mengisahkan kembali berbagai pengalaman yang terekam dalam kenangan ketika menjalankan tugas jurnalistik.

Hal yang menarik, Gerson sengaja mengemas semua yang masih ada dalam kenangan itu dengan cara yang jenaka. Itulah yang membuat tulisan dalam buku ini terasa begitu segar. Humor di sana-sini membuat apa yang ditulisnya enak untuk dibaca dan lebih dari sekadar menuliskan sebuah kisah lama.

Tengok saja ketika ia berpura-pura menjadi anggota rombongan pengantar Bung Karno ketika Sukmawati, putrinya, menikah. Saat itu Gerson dan wartawan lain dilarang masuk ke dalam rumah Fatmawati oleh petugas. Padahal para kuli tinta sudah tidak sabar untuk melihat Soekarno yang sudah ditahan selama sekitar satu tahun.

Namun gagasan nekat Gerson muncul. Ia berpura-pura menjadi pendamping dua penghulu yang masuk ke dalam rumah Fatmawati lewat gang belakang. Ia pun berhasil masuk ke dalam.

Lalu, Gerson pun berhasil "mengobok-obok" suasana di dalam rumah Fatmawati, mulai dari kehadiran anggota keluarga, ranjang pengantin, seprai, kelambu, meja yang penuh dengan kue, hingga para ibu yang tengah mencabuti bulu ayam.

Bahkan ketika itu Gerson sempat menyaksikan dengan jelas bagaimana kondisi Soekarno. Ia mendeskripsikan lutut Soekarno yang gemetar ketika presiden pertama Republik Indonesia itu menaiki tangga.

Kegemaran Gerson pada alam terbuka dan kesederhanaan, juga tampak dalam tulisan-tulisannya. Tidak mengherankan jika ia memilih jalan darat dengan bus ketika pulang meliput kegiatan presiden ketimbang menumpang pesawat terbang.

Menurutnya, perjalanan di darat bersama rakyat kecil banyak memberikan pemandangan yang mengasyikkan, mulai dari pemandangan para mbok yang menggendong bungkusan batik, penjaja seks pinggiran yang miskin, sampai petani garam di pesisir utara Jawa dengan kulit yang berwarna tembaga.

Sayang, tidak diketahui secara pasti kapan tulisan-tulisan ini dibuat. Jika keterangan itu ada, maka jarak waktu antara saat penulisan dan ketika Gerson mengalami peritiwa yang diceritakannya itu, akan menjadi hal yang menarik.

Beragamnya kisah manusia yang dikisahkan oleh Gerson, menjadikan buku ini menjadi semacam tulisan sosiologis. Dari situ setiap orang dapat belajar bagaimana seharusnya membangun dan memperlakukan manusia.

Dari sudut pandang profesi wartawan, dari buku ini dapat juga dipetik pelajaran, bahwa keterbatasan fasilitas wartawan di masa lalu, justru mencetus kesempatan--dan kenekadan--untuk melihat Indonesia dan keindonesiaan.***