Kamis, 06 Desember 2007

Eksklusi Sosial Petani China




KEMAJUAN ekonomi China memang pesat dan mencengangkan. Tidak mengherankan jika di Asia,secara ekonomi, China bukan lagi anjing lucu, tetapi telah berubah menjadi serigala menggetarkan banyak negara.

Hal inilah yang acap menjadi inspirasi bagi sejumlah negara di Asia untuk menggenjot kemajuan ekonomi mereka untuk memperoleh pencapaian yang sama dengan negeri tirai bambu itu. Namun di balik kemajuan itu, banyak cerita memilukan terjadi.Hal ini terjadi terutama pada para petani.

Dalam buku ini dikisahkan bagaimana para petani di China mendapat tekanan yang luar biasa dari para pejabat lokal.Tekanan tersebut dilakukan dengan cara yang bahkan tidak berperikemanusiaan.

Akibatnya, para petani tersebut menghadapi penderitaan yang hebat. Salah satu bentuk tekanan yang dilakukan pejabat lokal adalah pemungutan pajak atas para petani dengan jumlah yang jauh di luar batas kemampuan. Pungutan pajak tersebut tidak lagi memandang kemampuan petani, para pejabat lokal hanya mau tahu para petani tersebut melunasi pajaknya sesegera mungkin.

Ironisnya, para pejabat itu menggunakan hasil pungutan pajak untuk kepentingan dan kekayaannya sendiri Akibat dari tekanan ini, sering kali terjadi pertikaian antara para petani dengan pejabatpejabat lokal. Tidak jarang pertikaian tersebut berujung pada tindak penyiksaan dan pembantaian.

Kejadian seperti di atas bukan hal baru di China. Salah satu kisah penyiksaan itu terjadi di desa Zhang, Provinsi Anhui. Kejadian ini bermula ketika Deputi Kepala di desa tersebut mulai bosan dan kian geram dengan para petani yang selalu mengadukan perbuatannya menyalahgunakan dana warga.

Ketika kekesalan sang Deputi Kepala memuncak,diajaknya petugas keamanan dan anakanaknya untuk mengunjungi salah seorang warga desa bernama Zhang Guiyo. Zhang Guiyo adalah warga desa yang sering menyarangkan tuduhan masalah keuangan desa Kepala Deputi. Namun kunjungan itu bukanlah kunjungan biasa, melainkan bertujuan untuk menganiaya Zhang Guiyo.
Menyikapi hal ini warga desa pun bereaksi.Mereka mengadukan perbuatan Deputi Kepala tersebut kepada Kepala Partai di tingkat desa.Hasilnya,aparat partai di tingkat kecamatan menginstruksikan audit umum yang menyangkut keuangan di seluruh desa. Hal ini tentu saja membuat Deputi Kepala meradang. Bersama anaknya ia kembali menyambangi rumah Zhang Guiyo.

Kericuhan kembali terjadi di rumah ini. Buntutnya, dalam hitungan menit, empat orang tewas di tangan Kepala Deputi dan komplotannya. Kejadian ini membuktikan bagaimana arogansi kekuasaan dan korupsi masih menjangkiti banyak pejabat lokal di China.

Hal seperti di atas terjadi di hampir seluruh wilayah pertanian di China. Tanah pertanian yang harusnya memberikan penghidupan bagi para petani akhirnya menjadi beban bagi mereka sendiri, terutama karena pajak. Hal semacam inilah yang kemudian mendorong para petani China untuk bergerak menuju kota dan menjadi ”migran kota”.

Jumlah migran kota ini sangat besar.Pada tahun 2005 saja di Shanghai terdapat 1, 25 juta migran dari Anhui. Belum lagi dari provinsi-provinsi lainnya. Di kota mereka melakukan pekerjaan yang justru ditampik oleh penduduk lokal.Namun karena kerja keras yang luar biasa, banyak dari migran ini yang berhasil menduduki jabatan manajerial dan membawahi pekerja-pekerja lokal.

Eksklusi Sosial
Sayangnya, nasib migran kota tidak seindah kedengarannya Ada beberapa masalah yang dikemukakan penulis buku ini. Salah satunya adalah eksklusi sosial yang dikenakan oleh pemerintah kota. Kendati pun para migran ini telah memberikan sumbangan besar bagi perkembangan ekonomi, namun pemerintah kota tidak akan pernah memberikan status permanen di kota.

Akibatnya, mereka tidak akan mendapatkan asuransi kesehatan, keuntungan perumahan yang diperoleh warga kota lain. Perlakukan diskriminatif ini tentu sangat merugikan para migran kota. Tampak di sini adanya sebuah garis pembatas yang jelas antara penduduk kota dan para migran kota.

Pembatasan ini juga sekaligus membatasi migran kota dalam soal status, kesempatan, pendapatan, populasi, dan pemberian izin kerja. Sayangnya wewenang pembatasan ini diserahkan kepada badan-badan keamanan umum. Konsekuensinya, migran kota diperlakukan sebagai penjahat yang potensial. Hal ini menciptakan kesenjangan antara penduduk lokal dengan kaum migran.

Tentu saja stabilitas sosial menjadi terancam. Masalah berikutnya adalah menurunnya jumlah sumber daya manusia di desa. Hal ini disebabkan migrasi masyarakat desa ke kota.Akibatnya, investasi di desa menjadi berkurang. Ekonomi di pedesaan pun akan terkena imbasnya.
Dari tahun 1985 hingga tahun 1994 misalnya, tercatat 300 miliar yuan tersedot dari desa ke kota. Ini artinya desa perlahan-lahan tengah kehilangan potensinya dan kemiskinan mulai membayang di ambang pintu. Solusi dari persoalan terakhir ini, menurut buku ini, adalah mengembalikan potensi para petani. Du Runsheng, salah satu pakar ekonomi yang pernah menduduki posisi penting di partai dan pemerintahan China berpendapat, penting untuk menciptakan sebuah sistem maupun lingkungan yang menguntungkan dan dapat memotivasi para petani.

Misalnya saja mengundang- undangkan hak penggunaan tanah untuk para petani, termasuk di dalamnya hak mengontrak, hak mengelola, hak memakai, hingga hak untuk menggunakannya sebagai jaminan (halaman 337). Buku yang pernah dilarang terbit di China ini menunjukkan bahwa di balik kemajuan China terdapat begitu banyak persoalan, mulai dari persoalan sosiologis, pembangunan sosial,hingga ekonomi.

Dari sini pembacanya bisa belajar bahwa pembangunan bukanlah hal yang mudah. Karena itulah, pembangunan menuntut kesungguhan berbagai pihak. Disain pembangunan pun tidak dapat diserahkan begitu saja pada teknokrat atau ekonom, tetapi partisipasi masyarakat itu sendiri. Pembangunan juga bukan melulu persoalan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan industri yang melaju pesat, tetapi juga pembangunan yang berorientasi pada manusia.(*)
Nigar Pandrianto
Dimuat di Harian Seputar Indonesia, 18 Nopember 2007